Kadiroen
Kolonialisme melibatkan banyak orang, baik Belanda sebagai penjajah maupun elite feodal pribumi yang menjadi kaki tangannya.
Kadiroen masih muda, baru berusia 20 tahun. Dia lulusan Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA, Sekolah Pamongpraja Pribumi) Probolinggo. Anak lurah yang berhasil jadi bintang di sekolahnya dan kemudian meniti karier sebagai pegawai negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kariernya melesat cepat: dari juru tulis, melompat jadi mantri polisi, asisten wedana dan berakhir sebagai patih.
Kadiroen adalah tokoh utama novel Hikayat Kadiroen yang ditulis Semaoen, tokoh Sarekat Islam afdeling Semarang dan kelak jadi ketua Partai Komunis Indonesia yang pertama. Hikayat Kadiroen ditulis pada 1919, saat Semaoen dipenjara karena kasus persdelict. Dimuat bersambung di koran Sinar Hindia sejak 5 Mei-22 September 1920, kemudian diterbitkan dalam bentuk novel.
Semaoen mengisahkan Kadiroen sebagai amtenar muda idealis yang sangat peduli pada nasib rakyat. Dia tak betah berlama-lama duduk di balik mejanya karena lebih suka berkeliling desa menyaksikan kehidupan masyarakat. Kian lama bertugas, dia makin bertanya mengapa begitu banyak rakyat hidup melarat sedangkan para pejabat hidup bergelimang harta dan kehormatan.
Sistem pemerintahan Hindia Belanda bertumpu pada dua kaki kekuasaan: Binneland Bestuur (pemerintahan dalam negeri) yang dijalankan oleh pejabat Belanda dan Inlandsche Bestuur (pangreh praja) dijalankan oleh elite feodal pribumi. Sistem ini diberlakukan sejak masa tanam paksa demi mempermudah eksploitasi tanah jajahan.
Multatuli dalam Max Havelaar menulis bahwa untuk menguasai orang-orang Jawa, paling mudah dengan jalan menguasai kepala-kepalanya. Menjadikan mereka bagian dari sistem kolonialisme itu sendiri. Dengan cara itu jutaan gulden bisa dihasilkan dari keringat rakyat jajahan tanpa harus repot berhadapan langsung dengan mereka.
Kadiroen adalah pengecualian. Dia bukan sosok pejabat pribumi yang mudah menindas demi jabatan dan menghamba di hadapan tuan-tuan Belandanya. Pada masa itu, Hindia Belanda sedang gempar oleh kehadiran Sarekat Islam, yang mengajarkan bahwa setiap orang setara, tiada peduli apa warna kulitnya. Setelah Sarekat Islam, muncul pula Partai Komunis, yang bahkan lebih berani lagi mengajak orang untuk melawan kesewenangan penguasa.
Kadiroen kepincut gerakan itu. Dia tak tahan lagi untuk berlama-lama hidup sebagai pejabat yang harus bekerja dalam sistem birokrasi yang mengungkung dirinya. Sementara itu banyak pejabat lain yang justru gerah dengan kehadiran organisasi pergerakan mengancam keistimewaan posisi mereka di hadapan rakyat. Bahkan mereka menuduh kalau semua itu adalah upaya menggantikan tradisi asli pribumi dengan adat Belanda (barat).
Tak ada jalan lain bagi Kadiroen kecuali “bunuh diri kelas”, terjun ke dalam pergerakan politik dan menanggalkan semua hak istimewanya sebagai pejabat. Kisah Kadiroen mencerminkan situasi yang terjadi pada masa kolonial di Hindia Belanda, di mana kolonialisme digambarkan sebagai sistem yang melibatkan banyak orang, baik Belanda sebagai penjajah maupun elite feodal pribumi yang menjadi kaki tangannya.
Penjajahan seringkali dipahami dalam cara pandang yang bias rasisme: penjajah selalu merujuk kepada orang Belanda berkulit putih sementara pribumi berkulit coklat selalu dilihat sebagai obyek penjajahan. Padahal penjajahan yang terjadi di sini merupakan kerja sama antara tuan kulit putih dengan tuan kulit sawo matang untuk sama-sama menindas rakyatnya dalam sistem kolonialisme.
Dan yang terjadi dalam sejarah seringkali anomali-anomali: tentang tokoh pribumi dan kulit putih yang melawan apapun yang merendahkan derajat kemanusiaan. Dari sanalah kita mengenal kisah Kadiroen dalam novel yang ditulis Semaoen atau Max Havelaar yang ditulis Multatuli alias Douwes Dekker. Dua kisah tentang mereka yang menjalankan tugasnya sebagai manusia, demi dan atas nama kemanusiaan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar