top of page

Sejarah Indonesia

Jeritan Petani Di Tanah Sendiri

Jeritan Petani di Tanah Sendiri

Gerakan Rakjat Kelaparan (Gerajak) berangkat dari penderitaan petani. Tumbuh jadi radikal dan tak berumur panjang.

Oleh :
24 September 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ilustrasi petani di Bantul, Yogyakarta. Foto: Fernando Randy.

PACEKLIK panjang mendera Jawa Tengah pada pergantian tahun 1963. Hama tikus serta penyakit tanaman pun merajalela. Akibatnya, para petani gagal panen. Penderitaan mereka akibat kelaparan dan busung lapar masih ditambah lagi dengan kasus tepung geplek beracun yang merenggut nyawa banyak warga Gunung Kidul.


Buruknya kondisi hidup serta kekecewaan pada pemerintah daerah yang tak bisa mengatasi kasus tepung geplek beracun, menyulut kemarahan masyarakat desa.


“Gunung Kidul memang gersang. Tahun-tahun itu kekeringan juga melanda Jawa Tengah. Di Klaten sampai Boyolali kondisinya cukup parah. Belum lagi serangan hama tikus. Kebetulan secara politik Gunung Kidul juga tidak lepas dari pengaruh PKI terutama lewat BTI,” kata Kuncoro Hadi, dosen sejarah UNY dan penulis buku Kronik 65, pada Historia.


Di tengah kondisi kelaparan tersebut, Partai Komunis Indonesia (PKI) membersamai Barisan Tani Indonesia (BTI) membuat sebuah komite yang menuntut pemberlakuan reforma agraria. Sejak disahkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, PKI menjadi partai yang paling gencar mendorong pelaksanaan reforma agraria. Maka dibentuklah komite yang dinamai Gerakan Rakjat Kelaparan (Gerajak). Anggota Gerajak terdiri dari pamong desa, guru, petani, dan buruh tani.


Gerajak muncul pertama kali pada Januari 1964 saat melakukan demonstrasi di depan kantor Bupati Gunung Kidul. Demonstrasi ini diikuti oleh 150 orang dan dipimpin oleh kepala desa Ponjong. Aksi yang didorong rasa lapar ini tidak hanya mengajukan protes pada bupati Gunung Kidul melainkan juga bertujuan mengganyang setan desa.


Lebih jauh, Gerajak juga melakukan intimidasi terselubung untuk meminta barang milik orang kaya. Mereka menduduki lahan milik tuan tanah di berbagai daerah, seperti Yogyakarta, Klaten, Boyolali, Kaliwungu, Rembang, Sukaraja, dan Gringsing untuk dibagikan kepada petani.


“Gerajak memang bagian rentetan gerakan aktif melawan tuan-tuan tanah yang ada di wilayah Jawa Tengah,” kata Kuncoro.


Di Wonosari, Gunung Kidul, salah satu tuan tanah yang jadi sasaran ialah Darmawijata. Sebanyak 70 petani menduduki lahan milik Darmawijata. Niatnya, untuk dibagikan kepada para buruh tani.


Namun, makin lama aksi Gerajak makin intens pun makin radikal. Menurut Fadjar Pratikno dalam Gerakan Rakyat Kelaparan: Gagalnya Politik Radikalisasi Petani, aksi-aksi Gerajak ditunggangi Gerajak yang sifatnya kriminil. Imbasnya, sulit membedakan dengan aksi-aksi Gerajak yang sifatnya politis. PKI pun jadi setengah hati mendukung. Hal inilah yang menurut Fajar jadi faktor kegagalan Gerajak sebagai gerakan kelas yang tumbuh di pedesaan.


Setelah beberapa kali melakukan penggedoran ke rumah warga yang dianggap kaya, para penggerak Gerayak ditangkap di Gunung Kidul, Yogyakarta. “Dukungan (moral) PKI juga dihentikan dan kemudian seperti dianggap gerakan kriminal. Entah kenapa gerakan ini seperti mengulang kembali kasus Grayak awal tahun 50-an,” kata Kuncoro.


Umur gerakan ini tak panjang. Gerayak kemudian dibubarkan oleh PKI pada awal Februari 1964 meski tidak lenyap sepenuhnya. Buktinya pada 26 Februari 1964 sepuluh orang anggota Gerajak menggedor rumah Sokromo, tuan tanah desa Tritisan, Gunung Kidul. Anggota Gerajak meminta bahan makanan untuk dibagikan kepada mereka yang kelaparan meski tidak menggunakan ancaman kekerasan.


Meski telah beraksi di berbagai tempat, para petani miskin dan buruh tani anggota Gerajak mengalami kebimbangan sikap. Di satu sisi, mereka terikat pada politik PKI dan BTI untuk mengganyang tujuh setan desa dan mendorong pelaksanaan reforma agrarian. Di sisi lain, mereka masih bergantung secara ekonomi kepada tuan tanah dan petani kaya lain. Akibatnya, serangan Gerajak pada tuan tanah jahat tidak bisa menyeluruh atau menjadi gerakan petani yang terpadu melainkan hanya terjadi di beberapa desa saja dan hanya didukung oleh sedikit orang.


Belum lagi, 6 partai politik protes pada 10 Desember 1964. Dalam deklarasi 6 partai yang terdiri atas PNI, NU, Parkindo, Partai Katholik, PSII, dan IPKI menyatakan bahwa aksi pendudukan tanah sepihak yang dilakukan oleh PKI dan golongannya dianggap menimbulkan perpecahan dan mengganggu keamanan sehingga membuat Presiden Sukarno memarahi Ketua PKI Aidit. Bersamaan dengan itu, mobilisasi massa untuk kampanye Trikora dan dilanjutkan Ganyang Malaysia sedang digencarkan oleh Sukarno. Isu tersebut dianggap lebih menarik dibanding persoalan politik agraria. Gerakan ini pun tidak mendapat banyak dukungan meski di akhir tahun 1964, Sukarno buka suara.


Pada 12 Desember 1964 Sukarno menggelar pertemuan bersama pimpinan partai politik di Istana Bogor bertujuan membahas mengenai persoalan agraria di samping melakukan kondolidasi partai. Dalam rapat tersebut hadir perwakilan dari PNI, NU, PKI, Perti, Partai Indonesia (Partindo), PSII, Murba, IPKI, Parkindo, dan Partai Katolik. Suar Suarso dalam Akar dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karnomenyebut rapat tersebut menghasilkan Ikrar 4 Pasal yang dikenal dengan Deklarasi Bogor yang salah satunya membahas sengketa tanah yang harus diselesaikan dengan musyawarah dan pelaksanaan UUPA.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page