Jenderal Yani Menolak Nasakomisasi
Kisah seorang jenderal anti komunis yang ada dalam situasi sulit secara politik. Berhadapan dengan musuh yang berkudung kulit harimau.
Jakarta, awal 1965. Slogan “Nasakom Jaya” yang berada di bilangan Jalan M.H. Thamrin tetiba menjadi “cacat”. Entah siapa yang melakukannya, Nasakom yang merupakan kepanjangan dari Nasionalis Agama Komunis, imbuhan “kom”-nya ada yang mencoret. Maka tinggalah kata “Nasa”.
Peristiwa itu sampai ke telinga Presiden Sukarno. Tjtju Tresnawati (74) masih ingat bagaimana Si Bung Besar menjadi berang. Dalam suatu pidato-nya yang disiarkan langsung oleh Radio Republik Indonesia (RRI), Tjutju yang saat itu tinggal di wilayah Mayestik, Jakarta Selatan masih sempat merekam dalam benaknya kemarahan tersebut.
“Siapa itu yang berbuat nakal mencoret kata “kom”? Bawa ke hadapan saya, biar saya jewer!,” ujar Bung Karno seperti didengar oleh Tjutju dalam siaran RRI itu.
Nasakom memang menjadi kata yang suci selama berlangsung-nya era Demokrasi Terpimpin (1956—1967). Penyatuan kekuatan politik yang berbeda ideologi (nasionalisme, islamisme dan komunisme) untuk kepentingan revolusi, bagi Sukarno adalah suatu keniscayaan. Itu ditegaskannya saat berpidato dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke-16.
“Siapa yang setuju kepada Pancasila, harus setuju kepada Nasakom; siapa yang tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Pancasila,” ujar Sukarno seperti diungkapkan Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia.
Mau tidak mau, seluruh elemen politik mendukung ide Sukarno itu. PKI termasuk pihak yang mendukung habis-habisan konsep Nasakom. Sementara pihak Angkatan Darat (AD), terkesan ogah-ogahan. Namun demi menghindari konflik langsung dengan Bung Karno, AD lewat Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani terpaksa “mendukung” Nasakom.
“Bagaimana pun, Pak Yani adalah Menteri/Panglima Angkatan/ABRI yang paling akhir menyatakan dukungannya terhadap Nasakom,” ungkap Yayu Rulia Sutowiryo alias Ibu A. Yani dalam Ahmad Yani, Suatu Kenang-kenangan.
Baca juga: Yani yang Flamboyan, Nasution yang Puritan
Menurut Yayu, suaminya itu sebenarnya tidak setuju dengan konsep Nasakom. Bagi sang jenderal, Nasakom tak lebih upaya orang-orang komunis di Indonesia guna memuluskan tujuan politiknya. Yani juga percaya Nasakom sejatinya adalah gagasan yang sudah dimiliki PKI sejak 1954. Namun untuk menyatakan ketidaksetujuan itu, sangatlah sulit karena menentang Nasakom dianggap penguasa saat itu adalah sama dengan menentang Pancasila.
Memasuki 1965, PKI semakin agresif dengan manuver-manuver politiknya. Berdalih mendukung ide-ide Bung Karno, mereka semakin gencar meniupkan kewajiban Nasakomisasi di semua bidang kehidupan. Yani yang paham maksud gerakan PKI itu tentu saja berupaya mengimbangi-nya. Secara tegas, dia menolak upaya Nasakomisasi di tubuh AD.
“Yang diterima ABRI (Angkatan Darat) adalah “Nasakom jiwaku” bukan Nasakomisasi. Pak Yani mendukung Nasakom. Tapi bukan sebagai ideologi. Sebab ideologi negara adalah Pancasila,” ungkap Yayu.
Baca juga: Loyalis Sukarno Bernama Ibrahim Adjie
Keyakinan Yani itu menabalkan dirinya sebagai salah satu musuh politik PKI. Sikap itu semakin terllihat ketika PKI merayakan Hari Ulang Tahun-nya yang ke-45 pada 1965. Kendati diundang untuk menghadiri peringatan tersebut, Yani menolak untuk hadir.
“…Nasution dan Ahmad Yani tidak datang. Entah apa sebabnya…” ungkap Siswoyo dalam otobiografinya, Siswoyo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri, Memoar Anggota Sekretariat CC PKI (disusun oleh Joko Waskito).
Alih-alih memilih untuk merapat ke grup pendukung Nasakom, Yani malah aktif “bergerilya” ke daerah-daerah guna membendung pengaruh PKI. Salah satu wilayah yang kerap dia kunjungi adalah Jawa Barat, yang secara militer saat itu menjadi tanggungjawab Mayor Jenderal Ibrahim Adjie (Pangdam Siliwangi).
Laiknya Yani, Ibrahim Adjie adalah perwira tinggi yang termasuk dekat dengan Bung Karno. Kendati demikian, Adjie termasuk orang yang hubungannya sangat jauh dengan PKI. Wajar jika di antara Yani dan Ajie memiliki hubungan yang sangat dekat sejak awal 1960-an.
"Yani dan MBAD secara berangsur-angsur menyadari potensi korps perwira Siliwangi dalam perjuangan melawan komunis..." ungkap Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI.
Baca juga: Kisah Adjie dan Supersemar
Salah satu saksi gencarnya Yani mengkampanyekan gerakan anti PKI adalah Priyatna Abdurrasyid. Menurut mantan tentara dan jaksa di Bandung itu, Yani kerap didapuk Adjie untuk berbicara di hadapan korps perwira Siliwangi. Dalam otobiografinya, Dari Cilampeni ke New York, Mengikuti Hati Nurani (disusun oleh Ramadhan K.H.), Abdurrasyid masih ingat bagaimana dalam bahasa Belanda Yani mewanti-wanti anak-anak Siliwangi untuk waspada terhadap PKI.
“Jongens, loop niet te hard van stapel. Communisten zijn gevaarlyk, wreed, en denizen voor niet terug (Anak-anak, jangan nyelonong tanpa perhitungan. Orang-orang komunis itu berbahaya, dan tidak ada yang dapat menghalanginya).”
Tapi Yani paham bahwa dirinya harus berhati-hati. Dia juga mafhum jika PKI berlindung di balik kharisma Bung Karno yang juga sangat dihormatinya. Dalam istilah Yayu, PKI kudhung lulang macan (berkerudung kulit harimau): jika Yani langsung menghantam PKI maka dia kemungkinan besar akan menampar wajah Bung Karno. Bisa jadi karena kehati-hatiannya itulah, musuh politik Yani malah mendahuluinya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar