Jenderal Spoor Tewas di Sumatera?
Sebagian besar veteran di Sumatera Utara meyakini Panglima Tertinggi KNIL itu meninggal bukan karena penyakit namun terbunuh dalam suatu penghadangan.
Rabu, 25 Mei 1949 adalah hari hitam bagi dunia militer Belanda. Secara mendadak, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia Jenderal S.H. Spoor diberitakan telah wafat “Ia meninggal akibat tersumbatnya sirkulasi darah di jantungnya…” tulis sejarawan J.A. de Moor dalam buku Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia.
Penjelasan Moor yang merupakan versi resmi penyebab kematian Spoor, tidak pernah dipercaya oleh sebagian besar eks pejuang di Sumatera Utara. Sumbat Sembiring (88) merupakan salah satunya. Menurut eks anggota pasukan TNI dari Sektor IV Sub Teritorium VII Sumatera itu Spoor tewas dalam suatu penghadangan di antara Sipirok dan Sibolga.
Muhammad T.W.H (85), jurnalis senior yang banyak menulis hikayat perang kemerdekaan di Sumatera membenarkan pernyataan Sumbat. “Saya bahkan sudah tulis buku khusus membahas itu, judulnya: Tewasnya Jendral Spoor di Tapanuli Tengah,” ujar Muhammad T.W.H.
Namun, kendati semua pelaku sejarah di Sumatera Utara sepakat Spoor tewas di kawasan itu, mereka tak kompak memberikan penjelasan pasukan atau prajurit mana yang berhasil membunuh Spoor. Setidaknya ada beberapa versi terkait soal tersebut.
Klaim Maraden
Dalam biografinya: Berjuang dan Mengabdi, Jenderal (Purnawirawan) Maraden Pangabean selaku eks Komandan Sektor IV Sub Teritorium VII Sumatera mengklaim bahwa pelaku pembunuhan Jenderal Spoor adalah pasukannya. “Pasukan saya yang dipimpin oleh Letnan Dua August Marpaung dan Kapten Henri Siregar-lah yang mencegat rombongan Spoor dan berhasil menciderainya,” ujar Maraden.
Peristiwa itu terjadi di jalur Sibolga-Tarutung pada 24 Mei 1949. Sebelumnya pihak intelijen TNI (Tentara Nasional Indonesia) telah menginformasikan bahwa “seorang petinggi militer Belanda” akan melewati jalur maut tersebut sepulang dari melakukan inspeksi zuiveringsacties (aksi pembersihan besar-besaran) militer Belanda.
Panik karena jenderalnya cidera, maka pasukan Belanda memutuskan untuk berbalik kembali ke arah Sibolga. Mereka sampai di Sibolga pada pukul 11.00 dan langsung membawa “petinggi militer Belanda” yang terluka parah itu ke rumah sakit. Rakyat tak bisa menyaksikan karena selain dihalau oleh para para petugas Polisi Militer Belanda ke tempat yang jauh, juga jalur evakuasi “korban orang penting” itu juga dibuat sejenis cordon supaya lolos dari penglihatan khalayak.
Malam hari datang berita susulan dari Sibolga: “petinggi militer Belanda” yang terluka parah itu bernama Jenderal Spoor. Menurut pembawa berita, malam itu juga Jenderal Spoor sudah dievakuasi dengan sebuah pesawat Catalina ke Jakarta. “Besoknya yakni tanggal 25 Mei 1949, kami mendengar dari radio Belanda di Jakarta bahwa Jenderal Spoor telah meninggal akibat serangan jantung…” ungkap Menteri Pertahanan di era Orde Baru (1973-1978) tersebut.
Berita itu disambut dengan gembira dan rasa bangga. Seiring dengan itu, beredar pula berbagai klaim tentang pelaku penembakan. Salah satunya yang didengar oleh prajurit Sumbat Sembiring. “Yang menembak itu jenderal Belanda adalah kawanku satu kesatuan, aku lupa nama lengkapnya tapi dia orang dari marga Hutabarat. Dia tembak itu jenderal dengan tiga peluru, satu yang kena lewat jendela kecil yang ada di panser” ujar eks anggota pasukan Sektor IV itu.
Maraden sendiri sangat meyakini bahwa Spoor meninggal karena peluru anak buahnya. Dalam otobiografinya, ia mengutip informasi dari seseorang bernama Justin Lumbantobing. Saat peristiwa penghadangan itu, kata Maraden, Justin adalah salah satu prajurit KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) berpangkat kopral yang ditugaskan mengawal Jenderal Spoor yang berada dalam konvoi.
Ulah Pasukan Bedjo
Versi kedua insiden “pembunuhan Spoor” dinyatakan oleh Brigadir Jenderal (Purnawirawan) Bedjo, eks pimpinan Pasukan Selikur. Itu terjadi pada 23 Mei 1949 ketika Pasukan Selikur di bawah pimpinan Kapten Slamet Kataren dan Kapten Azhari Hasontang berhasil menghancurkan rombongan Spoor di Bukit Simagomago.
Dalam laporannya kepada Kapten Azhari (Komandan Operasi Sektor I) Kapten Azhari Hasontang, Letnan Mena Pinim dan Letnan Sahala Muda Pakpahan menyebut bahwa mereka berhasil menewaskan seorang perwira tinggi Belanda yang diperkirakan adalah Jenderal Spoor. “Jenderal itu tewas dalam salah satu panser yang berhasil dilumpuhkan oleh Pasukan Selikur,” tulis Edi Saputra dalam Sumatera dalam Perang Kemerdekaan.
Keyakinan Bedjo mengacu kepada pengakuan seorang bekas pengawal Jenderal Spoor bernama Sersan Mayor Tumanggor kepadanya pada 1951. Dia menyatakan bahwa sejatinya Spoor tidak mati akibat hartverlaming, tapi karena luka-luka tembaknya saat dihadang Pasukan Selikur di wilayah Bukit Simagomago.
Hingga sekarang, kisah “terbunuhnya” Jenderal Spoor di Sumatera Utara masih menjadi misteri. Dari sekian penulis sejarah Perang Kemerdekaan di Sumatera, hingga kini tercatat hanya Muhammad TWH saja yang secara serius menelusuri kasus yang menarik ini.
“Menurut saya, seharusnya pemerintah pun ikut meneliti kebenaran peristiwa tersebut, demi kebenaran sejarah,” ungkap jurnalis senior Medan tersebut.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar