Jembatan Perlawanan Mangkunegaran
Untuk memperbaiki pertanian rakyatnya, Mangkunegara VII dan Ir. Sedyatmo membangun jembatan air. Sukses meski ditentang Belanda.
DARI sekian banyak barang antik dan foto serta lukisan yang ada di Museum Puro Mangkunegaran, barang-barang koleksi milik serta tentang Mangkunegara VII mungkin paling banyak jumlahnya. Mangkunegara VII merupakan raja yang peduli terhadap budaya dan sejarah bangsanya. Selain itu, hidupnya sudah di era modern di mana fotografi telah masuk Hindia-Belanda.
“Memang beliau ini, Mangkunegoro VII ini, multi talenta,” kata Supriyanto dari Dinas Urusan Istana Mangkunegaran kepada Historia, 18 Maret 2019.
Selain peduli terhadap seni-budaya dan politik, raja yang bernama lahir RM Soerjo Soeparto ini juga peduli terhadap ekonomi dan yang terpenting, terhadap rakyatnya. Kepedulian terhadap rakyatnya itu antara lain dia tuliskan usai mengunjungi kota-kota di Eropa semasa menuntut ilmu di Belanda.
“Begitu senangnya hatiku, jarang-jarang melewati jalan, yang segalanya, pemeliharaan, juga pengerjaannya, melebihi segala sesuatu yang pernah aku bayangkan, kemewahan teringat terus di dalam hati, merasakan keindahan pemandangan di jalan-jalan selalu tampak taman, kemudian teringat pada tanah airku, sedih sekali hatiku memikirkan nasib bangsaku, alangkah sedikitnya, ibarat bisa dihitung yang memiliki banyak uang, bisa memiliki tanah pekarangan,” tulisnya, dikutip Wasino dalam Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944.
Kepedulian itu kemudian direalisasikannya setelah naik takhta pada 1916. Mangkunegara VII yang inovatif itu menyempurnakan banyak hal milik Mangkunegaran dan mewujudkan banyak hal baru. Salah satunya, pembangunan jembatan air di Sungai Wiroko, Wonogiri pada 1936.
Baca juga: Laku Pandita Seorang Raja Jawa
Untuk itu, dia menugaskan Insinyur Sedyatmo (kelak menjadi penemu fondasi cakar ayam), kerabat Mangkunegaran yang baru dua tahun lulus dari Technische Hooge School (THS, kini Institut Teknologi Bandung). “Mangkunegoro VII menyerahkan sepenuhnya pembangunan jembatan air tersebut demi kepentingan petani di Desa Wiroko dan sekitarnya. Mangkunegoro VII hanya mengharapkan terwujudnya jembatan air itu sehingga Sungai Wiroko akan dapat berguna bagi para petani dalam menggarap tanah mereka,” tulis Ahmad Effendi dan Hermawan Aksan dalam Prof. Dr. Ir. Sedyatmo: Intuisi Mencetus Daya Cipta.
Namun ketika pembangunan baru berjalan separuh, Mangkunegara VII mendapat surat dari Insinyur Valkenburg, kepala Departemen Pekerjaan Umum Hindia Belanda. Sang pejabat minta jembatan itu dibongkar karena pembangunannya menggunakan rumus-rumus yang menyimpang dari rumus-rumus yang berlaku di seluruh dunia dan diajarkan di kampus-kampus. Mangkunegara VII lalu meminta patihnya, Ir. Sarsito Mangunkusumo, memberikan surat teguran itu kepada Sedyatmo.
Sedyatmo memutuskan untuk tetap melanjutkan pembangunan Jembatan Wiroko. Lewat keputusan itu dia ingin mengaplikasikan teori yang dikembangkannya dan membuktikan teori itu lebih jitu ketimbang teori-teori dari buku-buku kampus yang digunakan para insinyur Belanda.
Keputusan itu membuat pemerintah kolonial kembali menegur. Kali ini lewat surat rektor THS Profesor Sprenger. Sang rektor meminta jembatan itu dibongkar karena diprediksi tak akan tahan lama. “Jembatan itu akan cepat jebol dan jebolnya jembatan itu nantinya akan menjatuhkan nama baik THS, sebab Sedyatmo adalah mantan mahasiswa sekolah tinggi Bandung.”
Baik Sedyatmo maupun Mangkunegara VII sama-sama bergeming terhadap teguran itu. Sedyatmo pun merasa didukung sang raja sehingga semakin semangat menyelesaikan pembangunan jembatan itu. Pada 1937, pembangunan jembatan itu berhasil dirampungkan Sedyatmo.
Sebelum mengundang Mangkunegara VII untuk meresmikan, Sedyatmo menjajal jembatan itu untuk membuktikan kekuatannya. “Sebelum diresmkan, jembatan ini akan saya coba lebih dulu. Saya merasa malu kalau hasil karya saya ini tidak baik mutunya. Saya lebih baik mati bersama hancurnya jembatan itu daripada hidup menanggung malu. Saya akan berdiri di atasnya sehingga kalau jembatan tersebut ambruk, saya pun ikut jatuh bersamanya,” kata Sedyatmo.
Jembatan itu pun diuji Sedyatmo dan para pembantunya yang tak ingin membiarkan sang insinyur sendirian di atas jembatan. Hasilnya, Sedyatmo yakin jembatannya kuat. Selang beberapa saat kemudian, Mangkunegara VII pun meresmikan penggunaan jembatan itu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar