Jejak Karier Sarwo Edhie Sebelum Peristiwa G30S 1965
Perannya sebagai pemimpin sekaligus konseptor penumpasan PKI menjadikannya bintang terbit, sebelum kemudian secara perlahan meredup.
ADA dua peristiwa pada awal karier Sarwo Edhie Wibowo sebagai tentara yang sempat jadi kontroversi dan penghalang kenaikan jabatannya. Dua hal tersebut diungkapkan oleh sejarawan Peter Kasenda dalam bukunya, Sarwo Edhie dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas, 2015) yang dibedah di Auditorium Universitas Bung Karno, Jakarta, 5 Oktober 2015.
Kejadian pertama, saat terjadi Agresi Militer Belanda II pada Desember 1948, sebagai komandan peleton, Sarwo pernah gagal mengkoordinasi pasukannya. Cerita tersebut muncul ketika pada saat itu, Kulonprogo yang merupakan daerah operasi Brigade IX pimpinan Ahmad Yani dibombardir militer Belanda. Untuk segera mencapai posisi komandan brigade-nya, Sarwo lantas memecah pasukannya ke dalam beberapa regu.
Ternyata keputusan tersebut sangat fatal akibatnya. Alih-alih bisa bergerak secara sistematis, anak buah Sarwo yang kebanyakan masih sangat muda dan belum terlatih untuk melakukan perang gerilya malah menjadi kebingungan. “Banyak di antara mereka yang nangis-nangis dan minta pulang,” kata Peter.
Baca juga:
OPM Hampir Membunuh Sarwo Edhie
Wangsit Sarwo Edhie Wibowo
Aksi Sarwo Edhie Wibowo di Papua
Kedua, menurut Peter, sebagai pimpinan pasukan komando, Sarwo dinilai banyak rekannya justru tak memenuhi kualifikasi sebagai seorang prajurit komando. Soal ini muncul pertamakali ke permukaan kala Menpangad Letjen Ahmad Yani mengangkatnya sebagai Kepala Staf RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). Pengangkatan itu langsung ditolak oleh sebagian besar kalangan prajurit RPKAD terutama oleh Komandan Bataliyon II RPKAD Mayor Benny Murdani. Benny berkilah bahwa dibandingkan Letnan Kolonel (Inf) Widjojo Soedjono, calon kepala staf lain, Sarwo tidak ada apa-apanya.
Penolakan itu berujung kepada mutasi Benny ke Kostrad hingga membuatnya patah arang dengan kesatuan baret merah itu dalam waktu yang cukup lama. Menurut Letnan Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan, sejak itulah Benny seolah “haram” untuk mengenakan baret merah yang tadinya merupakan kebanggan dirinya.
“Pak Benny baru mau lagi pakai baret merah pada tahun 1985, saat ada penganugerahan gelar Warga Kehormatan Baret Merah kepada Yang Dipertuan Agung Malaysia Sultan Iskandar,” ujar Sintong.
Sepertinya saat itu Benny belum paham tentang hubungan dekat antara Sarwo dengan Yani sesungguhnya sudah berlangsung sejak zaman pendudukan Jepang. Dia juga tidak mengerti, saat bertugas di Wonosobo, Sarwo pernah kecewa karena pangkatnya diturunkan setingkat: dari kapten menjadi letnan karena suatu kesalahan. Makanya dalam sebuah kesempatan, Yani yang merasa tidak enak dengan kejadian itu, pernah berujar: “Saya sudah pernah membikin Sarwo kecewa, tetapi voortaan (selanjutnya) saya tidak akan melupakannya.”
Keberuntungan Sarwo tiba saat dirinya ditugaskan menumpas orang-orang PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali pada 1965-1966. Bukan hanya di mata para prajuritnya, dia pun mendapat tempat di kalangan organ-organ mahasiswa anti-Sukarno. Rupanya inilah yang membuat Soeharto was-was punya pesaing dan menjadikan karirnya meredup.
“Soeharto tak mengenal konsep matahari kembar, dia percaya matahari harus satu yakni dirinya sendiri,” ungkap Peter.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar