Jalan Panjang Sofia
Liku-liku seorang perempuan yang menapaki karirnya hingga menjadi seorang sutradara.
Usai diberlakukannya Perjanjian Renville pada Januari 1948, Bandung yang ada dalam kontrol Negara Pasundan, situasinya agak tenang. Kondisi seperti itu membuat penduduknya bisa melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari, termasuk Sofia yang fokus mengelola restoran kecil milik sang mertua.
Menjelang keluar dari dinas ketentaraan, Sofia sejatinya pernah dekat dengan seorang anggota FP Yogyakarta yang tengah ditugaskan di palagan Karawang-Bekasi. Namanya Wagino Dachrin Mochtar. Namun karena Sofia belum bisa lepas dari bayangan kematian Edi dan kondisi revolusi yang serba tak menentu, hubungan itu pun tak berlanjut.
“Tak ada pikiran untuk menikah lagi saat itu,”ungkap Sofia kepada jurnalis Yoyo Dasrio.
Masuk Dunia Film
Suatu hari restoran Sofia kedatangan rombongan kru Fifi Young Taneelkunst, perusahaan pementasan sandiwara milik aktris kenamaan saat itu. Usai menikmati hidangan masakan di restoran Sofia, para kru rupanya cocok dan memutuskan untuk menjadikan tempat makan mereka selama mengadakan pentas di Bandung.
Tak disangka Sofia, Nyoo Sheong Seng, suami dari Fifi Young, ternyata mengenal dirinya dan mengajak perempuan Bandung itu untuk ikut terlibat lagi dalam dunia akting bersama Fifi Young Taneelkunst. Gayung bersambut. Sofia mengamini permintaan Nyoo Sheong. Maka berangkatlah dia mengadu peruntungan ke Jakarta.
Selama di Jakarta, dua kali Sofia ikut menjadi pemain sandiwara dan aktingnya banyak menuai pujian dari penonton. Saat merasa rindu kepada anak-anaknya dan berniat kembali ke Bandung, tetiba aktor kenamaan Ramli Rasjid mengajaknya untuk ikut bermain dalam Air Mata Mengalir di Tjitarum, sebuah film yang diproduksi oleh Tan Wong Bross dan Java Industrial Pictures.
“Melihat penampilan Sofia selama bersama Fifi Young Taneelkunst, kedua perusahaan film itu sangat yakin dia bakal mampu menggantikan peran Miss Rukiah yang keburu meninggal dunia,” ujar Yoyo Dasrio.
Desember 1948, Sofia mulai ikut syuting. Dalam film karya Roestam Palindih tersebut, dia beradu akting dengan Raden Endang, sang pemeran utama. Saat Air Mata Mengalir di Tjitarum edar tayang, kawan-kawan seperjuangan Sofia selama di Garut banyak yang kaget bercampur bangga. Termasuk salah satu sahabat almarhum suami pertamanya, H.E. Rustama.
“Pak Rustama kaget waktu tahu Bu Sofia jadi bintang film dan merasa ikut terharu karena jalan cerita Air Mata Mengalir di Tjitarum mirip sekali dengan kisah hidup Bu Sofia dan Pak Edi,” kata Yoyo.
Jadi Sutradara
Air Mata Mengalir di Tjitarum melejitkan nama Sofia. Namanya semakin meroket saat dia diperistri oleh S. Waldy, lelaki Indo Jerman yang berprofesi sebagai sutradara sekaligus pelawak. Sejak itulah dia menambah namanya menjadi Sofia Waldy dan malang melintang di jagad perfilman nasional. Tercatat ratusan film yang sudah dibintanginya, di antaranya: Dendang Sajang, Mutiara Dalam Lumpur dan Badai Selatan.
Tidak puas dengan hanya memiliki kemampuan berakting, Sofia merambah ke dunia penulisan skenario, tata kamera, proses dubbing, editing film dan penyutradaraan. Itu semua dilakukannya secara otodidak dan berhasil.
Kali pertama menjadi sutradara dijalani oleh Sofia saat dipercaya menggarap film Badai Selatan pada 1960. Hasilnya, tiga tahun kemudian Badai Selatan berhasil menyabet penghargaan khusus bidang ketelitian penyutradaraan di Festival Film Berlin, Jerman dan menjadikan Sofia Waldy sebagai sutradara perempuan kedua Indonesia setelah Ratna Asmara yang membuat film Sedap Malam pada 1950.
Badai Selatan pun ikut mempertemukan kembali Sofia dengan Wagino Dachrin Mochtar yang ternyata terjun pula ke dunia film. Namun karena posisi Sofia yang masih memiliki suami, hubungan mereka tak lebih sebagai sahabat dan mitra kerja semata.
Tahun 1962, S.Waldy mangkat. Setahun kemudian, Wagino yang lebih dikenal sebagai W.D. Mochtar, melamar mantan pacarnya tersebut dan diterima. Sejak itulah Sofia yang memiliki dua anak menabalkan dirinya sebagai Nyonya W.D. Mochtar atau lebih dikenal sebagai Sofia W.D.
Bersama W.D. Mochtar, Sofia lantas mendirikan Libra Musical Show (promotor pertunjukan para penyanyi kondang ke seluruh Indonesia) dan PT. Libra Film yang memproduksi film-film laga. Tercatat film-film yang pernah lahir dari Rahim PT. Libra Film adalah Si Bego Dari Muara Tjondet, Singa Betina Dari Marunda dan Si Bego Menumpas Kutjing Hitam.
Tahun 1974, Libra Film berubah nama menjadi PT. Dirgahayu Film. Dari perusahaan ini diproduksi film-film seperti Menerjang Badai yang pernah menyabet gelar aktor harapan di perhelatan The Best Actor/Actrees yang diadakan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jakarta Raya Seksi Film.
Dimakamkan di Kalibata.
Kiprah Sofia sebagai sutradara dan aktris kian bersinar dari waktu ke waktu. Ibarat kelapa, semakin tua santannya malah semakin baik. Banyak film yang dibintanginya diganjar dengan penghargaan, salah satunya Mutiara Dalam Lumpur yang mendapat penghargaan pemain watak terbaik bagi Sofia dalam Piala Citra 1973.
Kendati sudah malang melintang di dunia film, tidak menjadikan Sofia melupakan masa-masa perjuangan revolusi yang pernah dilaluinya. Bahkan pada 1986, dia pernah berencana membuat film Gong Tengah Malam yang berkisah tentang masa-masa perjuangannya dahulu selama di Garut. Sayangnya, seniman pejuang itu keburu menghembuskan nafas terakhirnya akibat serangan jantung pada 22 Juli 1986.
Dunia perfilman Indonesia pun berduka. Banyak yang kaget sekaligus bersedih saat mendengar bahwa Sofia W.D. telah mangkat. Buana Minggu edisi 27 Juli 1986 melukiskan bagaimana para handai tolan, rekan dan orang-orang yang bersimpati kepada Sofia berduyun-duyun mengantarkan jenazah sang seniman pejuang itu menuju persemayaman terakhir di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
“Tante Sofia harus dicatat sebagai tokoh perempuan yang memberikan andil besar dalam perkembangan perfilman nasional,” ujar aktor sekaligus pelawak Benyamin Sueb kepada Buana Minggu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar