Jabatan Panglima APRA untuk Sultan Hamid II
Sultan Hamid memiliki kedekatan dengan Westerling. Bersama eks komandan pasukan khusus Belanda itu, dia pernah bersepakat untuk melakukan aksi bersama.
Rakyat Indonesia pernah menerima teror mengerikan pasukan Belanda antara 1946-1950. Rakyat di sejumlah daerah, khususnya Sulawesi Selatan, menjadi sasaran pembunuhan massif militer Belanda. Aksi kejam itu dipimpin oleh Kapten Raymond Pierre Paul Westerling. Pemerintah Belanda memberi hak khusus dalam setiap aksi Westerling tersebut. Itu karena tindakannya didasarkan atas cita-cita Belanda menguasai kembali Republik Indonesia.
Dukungan untuk Westerling rupanya datang juga dari seorang Republik yang ingin mempertahankan kekuasan negerinya. Adalah Sultan Hamid II atau Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie, sultan ke-7 Kesultanan Qadriyah Pontianak. Hamid cukup dekat dengan Westerling karena kerap bertemu di sebuah kafe (yang terletak di Jakarta) sepanjang Januari 1948.
Kedekatannya dengan perwira Belanda itu bukan kali pertama, Hamid diketahui pernah aktif di KNIL berpangkat letnan dua, setelah menamatkan pendidikan di Akademi Militer Belanda (Koninklijk Militaire Academie) di Breda, Belanda, pada 1938. Pada masa pendudukan Jepang, Hamid ditahan selama tiga setengah tahun di Jakarta.
Pasca kemerdekaan, ia kembali aktif di KNIL dengan pangkat kolonel. Karir militernya terus melejit. Ia diketahui pernah menjabat ajudan istimewa Ratu Kerajaan Belanda, Wilhelmina. Sejarawan Anhar Gonggong dalam acara webinar tentang Sultan Hamid II tanggal 22 Juni 2020, menyebut pangkat yang diterima Hamid di dalam kesatuan ajudan Ratu Belanda ini adalah mayor jenderal.
“Sultan Hamid II menandatangani sebagai mayor jenderal dan ajudan istimewa Ratu Wilhelmina, Ratu Belanda, pada 1946,” ucapnya.
Hamid juga pernah membentuk federasi bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DKIB) bersama negara-negara kerajaan se-Kalimantan Barat, yang menjalin persemakmuran dengan Kerajaan Belanda. Diceritakan Batara R. Hutagalung dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 dalam Kaledoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, Hamid juga membentuk Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO) atau Perhimpunan Musyawaran Federal, bersama sejumlah tokoh politik negara-negara otonom di Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Bali. Ia ditunjuk sebagai wakil BFO.
Hamid memperjuangkan sistem federal dalam berbagai perundingan, mulai dari Perundingan Malino sampai Konfersensi Meja Bundar (KMB). Sultan dari Pontianak itu percaya bahwa Kepulauan Melayu (Indonesia) lebih tepat menggunakan sistem federal untuk ketatanegaraannya. Namun keinginannya itu mendapat tentangan dari kaum republikan yang menginginkan sistem kesatuan atau unitarisme.
Baca juga: Lima Fakta Tentang Sultan Hamid II
Pada 22 Desember 1949, Hamid kembali bertemu Westerling. Kapten Belanda itu menyatakan keberatannya atas posisi Sukarno sebagai Presiden RIS. Ia juga mengklaim telah membentuk sebuah pasukan, APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), berkekuatan 15.000 orang. Westerling lalu menawari Hamid menjadi pimpinan tertinggi di pasukan APRA. Karena tidak yakin, Hamid akhirnya menolak tawaran itu. Namun sang sultan berubah pikiran dan menerima tawaran itu pada 10 Januari 1950.
Maksud Hamid menerima tawaran jadi panglima APRA karena ingin mempertahankan sistem negara federal dari intimidasi yang ingin menghapuskan negara-negara bagian secara inkonstitusional. Tapi ada syarat yang harus dipenuhi: pasukan APRA harus terdiri dari bangsa Indonesia saja; Westerling harus memberitahukan persenjataan, kekuatan-kekuatan dan dislokasi APRA; dan ia harus mengetahui sumber keuangan untuk membiayai APRA.
Baca juga: Kemarahan Sjahrir Kepada Sultan Hamid
Belum sempat menerima pasukan APRA, Hamid mendengar kabar penyerbuan APRA di Bandung. “Saya marah karena sebelum ada kesepakatan soal tawaran oppercommando APRA, Westerling telah bertindak sendiri. Dan saya sendiri tidak menyetujui adanya penyerbuan ke kota Bandung itu,” kata Hamid seperti dikuti Persadja dalam Proses Peristiwa Sultan Hamid II.
Alih-alih tidak setuju dengan aksi kawan Belandanya itu, Hamid memerintahkan Westerling dan rekannya, Inspektur Polisi Frans Najoan untuk menyerang sidang Dewan Menteri RIS pada 24 Januari 1950. Menurut Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia selama penyerbuan itu, Westerling bertindak berdasarkan perkataan Hamid. Kawannya itu juga memberi instruksi agar semua menteri ditangkap, sedangkan Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Ali Budiardjo dan Kepala Staf APRIS Kolonel T.B. Simatupang harus ditembak di tempat. Sebagai kamuflase, Hamid sendiri harus menerima luka enteng. Ditembak di kaki.
Baca juga: Akrobat Gagal Sultan Hamid II
“Maka jika itu terjadi Hamid akan muncul sebagai Menteri Pertahanan republik,” tulis Herbert Feith.
Setelah penyerangan, rencana Hamid selanjutnya adalah meminta persetujuan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, supaya ia diperbolehkan membentuk kabinet baru, di mana ia akan menjadi Menteri Pertahanan. Ketika akan pergi ke tempat persidangan, Hamid berubah pikiran. Ia ingin mencabut kembali perintah penyerbuan itu. Karena tidak tahu di mana keberadaan Westerling dan Frans Najoan, keinginan Hamid itu hanya dibicarakan dengan ajudannya, Van der Heide.
Serangan gagal. Sidang rupanya selesai lebih cepat dari rencana. Pasukan yang telah bersiap menyerang hanya mendapati tempat yang menjadi target penyerbuan telah kosong. Meski begitu, Hamid tetap ditangkap pada 5 April 1950 oleh Sultan Hamengku Buwono IX atas perintah Jaksa Agung RIS Tirtawinata. Pada 8 April 1953, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara dipotong masa tahanan tiga tahun, atas tuduhan terlibat dalam aksi penyerangan Westerling dan APRA.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar