IPKI: Ini Partai Kolonel Indonesia
Nasution cs. mendirikan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan berharap didukung semua tentara. Namun pada Pemilu 1955 lebih banyak tentara pilih PKI.
Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, waktu Istana Merdeka dikepung meriam oleh Angkatan Darat (AD), Kolonel Abdul Haris Nasution dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Waktu itu AD belum sebesar sekarang hingga harus dipimpin seorang jenderal.
Nasution yang “nganggur” pun terjun ke dunia politik. Golongan yang hendak didekati dan dirangkul oleh Nasution adalah para bekas pejuang '45. Setidaknya dua kawan tentara Nasution, yakni Kolonel Gatot Subroto dan Kolonel Azis Saleh, sepemikiran dan ikut bergabung. Lalu dia juga merangkul Hasjim Ning, pengusaha sekaligus keponakan Bung Hatta yang di masa Revolusi 45 pernah jadi Polisi Tentara (kini Polisi Militer).
“Pada waktu itu partai-partai politik memerlukan banyak uang untuk dana pemibayaan kampanye pemilihan umum yang akan berlangsung tahun depannya. Dan di kala itulah aku di-approach oleh A.H. Nasution yang telah diberhentikan dari jabatan ketentaraan. Alasannya sederhana saja dan mudah masuk akalku. Bahwa setelah selesai perang kemerdekaan banyak pejuang, baik yang TNI maupun tidak, telah ditelantarkan nasibnya setelah dipensiunkan atau dikeluarkan karena berlakunya rasionalisasi ke arah militer profesional. Di samping itu, Nasution mengemukakan bahwa tentara yang masih aktif perlu dipelihara semangatnya agar tidak terombang-ambing doktrinnya oleh partai-partai yang bertentangan bila pemilihan umum berlangsung,” ujar Hasjim Ning dalam otobiografinya yang ditulis AA Navis, Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Dengan sokongan dana Hasjim dan dukungan dua kolonel itu serta tokoh lain, Nasution mendirikan sebuah partai di Bogor pada 20 Mei 1954. Namanya Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Sebagian pentolan IPKI tak kalah intelek dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sjahrir. Dalam rangka menghadapi Pemilu 1955, seperti diberitakan De Nieuwsgier tanggal 5 Maret 1955, sejak awal 1955 IPKI telah menarik beberapa tokoh untuk dijadikan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain Nasution, ada Raden Mas Margono Djojohadikusumo, Dachlan Nasir, Erna Sutoto Djajadiningrat, Moh. Moeffreni Moe'min, Nazir K. Lubis, dan Hasjim Ning. Sementara untuk wakil di Konstiuante mereka memilih: dr. Abdul Azis Saleh, Mr Arifin Harahap, Ir Abdul Kader, Prof. Slamet Imam Santoso, Raden Tjetjep Arjana Prawiradinata, Nyonya Hidajat alias Ratu Aminah, Mr. Kusna Puradiredja. Tentu saja masih banyak calon IPKI yang lain.
Kendati basis utamanya Jawa Barat, partai ini didukung banyak perwira di daerah. Termasuk di Sumatra Selatan, tempat Letkol Barlian yang kelak ikut PRRI berdomisili. Maka, partai ini pun dianggap sebagai sebagai partai tentara.
“Letnan Kolonel Barlian adalah seorang perwira yang bersama dengan Mayor Alamsyah, pada waktu itu sangat membantu mempopulerkan Partai IPKI,” catat Maraden Panggabean dalam Berjuang dan Mengabdi.
Kedua perwira itu sebelum Pemilu 1955 bertugas di Sumatera Selatan. Sebagai informasi, dalam Pemilu 1955 para tentara diperbolehkan ikut memilih.
Setelah Pemilu 1955 dilaksanakan, berdasarkan perolehan suara, IPKI hanya mendapat 4 kursi di DPR dan di Konstiuante hanya dapat 8 kursi. Ternyata IPKI yang dianggap sebagai partai tentara itu tak didukung kebanyakan tentara.
“Pada tahun 1955 itu 30 persen tentara memilih PKI,” aku Soemarsono, pemimpin pemuda dalam Pertempuran Surabaya, dalam Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah. “Dan di kalangan tentara PKI waktu itu nomor satu dengan mendapatkan suara terbanyak (di tentara).”
Perolehan suara itu menjadi sesuatu yang “ajaib”. Sebab, usai Madiun Affair 1948, tentara menembaki orang-orang yang dicap Partai Komunis Indonesia (PKI).
Meski IPKI dapat 4 kursi, Nasution tetap kecewa. Posisi DPR dari IPKI lalu diisi Lucas Kustarjo, seorang perwira AD; Sumitro Kolopaking, mantan bupati cum tokoh intelijen RI; Katamsi Sutisna Sendjaja, pejuang ‘45; dan Daeng Muhammad Ardiwinata yang juga pejuang ‘45.
Tahun 1955 tak sepenuhnya buntung bagi Nasution. Pada tahun itu juga, Nasution diangkat kembali menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat. Keamanan nasional yang buruk di era 1950-an mendorongnya mengeluarkan SOB (Staat van Oorlog en Beleg; Keadaan Darurat Perang) dan kemudian menganjurkan Presiden Sukarno kembali kepada UUD 1945.
“Atas desakan Nasution, Sukarno pada (Dekrit) 5 Juli 1959 memberlakukan kembali UUD 45,” catat Salim Said dalam Ini Bukan Kudeta.
Dalam Dekrit 5 Juli 1959, yang menandai dimulainya Demokrasi Terpimpin itu, Konstituante yang dianggap gagal membuat Undang-undang dasar baru, dibubarkan. DPR hasil Pemilu 1955 juga dibubarkan. Keduanya digantikan MPRS/DPRS.
IPKI tetap eksis, bahkan hingga Pemilu 1971. Namun setelah 1972, seturut kemauan Presiden Soeharto tentang penyederhanaan partai politik, IPKI ikut berfusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDIP). Setelah Soeharto lengser, IPKI muncul lagi sebagai kontestan Pemilu 1999. Namun karena hanya dapat 328 ribu suara, IPKI tidak dapat kursi seperti di tahun 1955. Setelah itu, suara IPKI tak terdengar lagi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar