Ikhwanul Muslimin, PKI, dan D.N. Aidit
Bagaimana orang-orang komunis di Indonesia sempat coba mendekatkan diri dengan Islam.
Pada akhir tahun 1991, melalui kolom surat pembaca di Al Muslimun (majalah milik organisasi Persatuan Islam di Bangil), seorang sarjana sejarah bernama Abdul Rojak protes keras kepada Kuntowidjojo. Pasalnya orang yang mengaku sebagai pemerhati sejarah Islam di Indonesia tersebut tidak menerima sang budayawan menyebut “Ikhwanul Muslimin sebagai kepunyaan Partai Komunis Indonesia (PKI)” dalam sebuah bukunya: Paradigma Islam, Intepretasi untuk Aksi.
“Saya kecewa. Apa maksudnya Pak Kunto menyebut organisasi Islam terkemuka di dunia tersebut sebagai kepunyaan PKI?” tulisnya.
Lama sekali surat itu tak berbalas. Entah karena Kuntowidjojo tak membaca Al Muslimun atau karena hal lain (terlebih saat itu dia diberitakan sedang sakit keras), yang jelas klarifikasi darinya tak kunjung tiba.
Baca juga: Saling Hajar Masyumi-PKI
Sebulan kemudian, penerangan itu pun muncul juga. Namun bukan Kuntowidjojo yang menjawab melainkan budayawan Ajip Rosidi. Ajip membenarkan bahwa pada era kejayaannya sekitar 1960-an, PKI memang pernah memiliki sebuah sayap agama yang bernama Ikhwanul Muslimin.
“Ikhwanul Muslimin di situ memang bukan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan al Banna dkk di Mesir, melainkan nama organisasi yang memang didirikan oleh PKI, di Indonesia…” ujar Ajip yang menuliskan penjelasan itu saat dia tengah berada di Jepang.
Apa yang disampaikan oleh Ajip Rosidi memang benar adanya. Pasca Pemilu 1955, orang-orang komunis memang pernah berusaha mendekatkan diri dengan Islam. Idham Chalid dalam buku biografinya: Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid menyebutkan pada 1960-an, Partai Komunis Indonesia (PKI) memang pernah mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Solo, Jawa Tengah. Ikhwanul Muslimin bikinan PKI itu dipimpin oleh KH. Sirat.
Namun menurut ulama terkemuka NU itu, dirinya sangsi bahwa KH. Sirat mengerti garis-garis perjuangan PKI yang menggunakan paham marxisme dan leninisme. Dia bahkan meyakini KH Sirat hanya melihat perjuangan PKI sebatas sebagai organ yang melawan penjajajah saat masa perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.
Idham juga menyatakan bahwa lewat salah seorang murid KH. Sirat bernama Ibu Mahmud Damawati dirinya diberitahu bahwa KH. Sirat sesungguhnya tidak pernah menjadi anggota PKI.
“Inilah salah satu pandainya PKI yang berhasil meyakinkan beliau bahwa PKI akan membantu umat Islam…” ungkapnya.
Baca juga: Palu Arit di Ladang NU
Kendati kerap diidentikan anti agama, namun bila melihat rekam jejak para pemimpin PKI selalu ditemukan hubungan mereka yang cukup dekat dengan agama. Sebagai contoh sosok pimpinan mereka: D.N. Aidit. Alih-alih tumbuh sebagai seorang yang anti agama, era 1930-an, Aidit muda malah dikenal sebagai seorang muadzin (tukang adzan) di lingkungan tempat tinggalnya yang terletak dalam wilayah Jalan Belantu, Belitung.
“Karena suaranya keras, dia kerap diminta mengumandangkan adzan,”ujar Murad Aidit kepada majalah Tempo edisi 1 Oktober 2007. Murad merupakan salah satu adik Aidit. Putera ketiga dari Abdullah Aidit yang merupakan aktivis partai Islam Masjumi di Belitung.
Uniknya, saat Aidit sudah menjadi aktivis PKI pada 1948, dia pun menikahi Soetanti secara Islam. Dan tak tanggung-tanggung, penghulu yang menikahkan mereka adalah KH. Raden Dasuki, sesepuh PKI Solo!
Aidit juga pernah “menyiratkan”bahwa Nabi Muhammad Saw. bukan hanya milik golongan tertentu dan PKI tidak anti agama. Pada 28 April 1954 saat sebagai Sekretaris I PKI ia berpidato di depan kader PKI Malang.
“Nabi Muhammad Saw. bukanlah milik Masjumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masjumi. Memilih Masjumi sama dengan mendoakan agar seluruh dunia masuk neraka. Masuk Masjumi itu haram dan masuk PKI itu halal!”ujarnya seperti dikutip oleh Remy Madinier dalam Partai Masjumi, Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral.
Menurut sejarawan asal Prancis tersebut, kata-kata Aidit sontak mendapat respon keras dari para aktivis Masjumi setempat yang langsung mengepung podium tempat Aidit berpidato. Setelah dipaksa oleh Hasan Aidid (Ketua Masjumi Cabang Surabaya), untuk menarik perkataannya, Aidit pun berujar ke khalayak yang mengepungnya:
“Apabila diantara saudara ada yang tersinggung oleh ucapan-ucapan saya, maka saya meminta maaf. Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak anti agama,” ungkapnya.
Baca juga: Masyumi Meradang
Tambahkan komentar
Belum ada komentar