Ibu Kota Pindah dari Cianjur ke Bandung
Perintah memindahkan ibu kota Priangan ke Bandung baru dilaksanakan setelah Cianjur rusak cukup parah akibat bencana alam.
Gempa berkekuatan magnitudo M5,6 mengguncang Cianjur, Jawa Barat, pada Selasa, 21 November 2022. Gempa ini mengakibatkan banyak rumah dan bangunan hancur, tanah longsor, dan menelan korban meninggal dunia 271 orang.
Sejarah mencatat, bencana alam berupa gempa dan gunung meletus kerap melanda Cianjur. Bahkan, bencana alam mengakibatkan Cianjur tak lagi menjadi ibu kota Keresidenan Priangan.
Cianjur berstatus sebagai ibu kota Priangan sejak tahun 1677 di bawah kekuasaan VOC. Bencana alam seperti gempa pada 1834 dan 1844 yang merusak Cianjur kemudian mendorong pemerintah kolonial Belanda memindahkan ibu kota Priangan dari Cianjur.
Baca juga: Gempa Bumi Mengguncang Cianjur
Haryoto Kunto dalam Seabad Grand Hotel Preanger, 1897–1997 mencatat, pemindahan ibu kota Priangan telah sejak tahun 1819 dinantikan dan disarankan oleh dr. Andries de Wilde, tuan tanah Priangan bekas dokter pribadi Gubernur Jenderal Daendels dan Raffles. Namun, baru pada 1856, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Ch. F. Pahud (menjabat 1856–1861) memerintahkan ibu kota Priangan dipindahkan dari Cianjur ke Bandung.
Namun, Residen Priangan Herman Constantijn van der Wijck (menjabat 1855–1858) tidak berhasil melaksanakan perintah gubernur jenderal tersebut. Begitu pula penggantinya, Christiaan van der Moore (menjabat 1858–1874) juga tidak segera melaksanakan perintah itu.
Menurut Her Suganda dalam Wisata Parijs van Java, baru setelah terjadi letusan dahsyat Gunung Gede sehingga menghancurkan kota Cianjur, Van der Moore dan stafnya mempercepat kepindahannya ke Bandung. “Selama pertengahan abad ke-19, gunung tersebut terus menerus memperlihatkan kegiatannya hampir tak pernah henti,” tulis Her Suganda.
Baca juga: Gempa Besar bagi Bupati Cianjur
Haryoto Kunto menyebut bahwa perintah pemindahan ibu kota Priangan baru bisa dilaksanakan oleh Residen Van der Moore pada 1864, itu pun lantaran Gunung Gede meletus. “Akibat letusan Gunung Gede, kota Cianjur mengalami kerusakan cukup parah. Sang residen beserta rombongan lari terbirit-birit ke Bandung,” tulis Haryoto Kunto.
Van der Moore pindah ke Bandung beserta stafnya, yang terdiri dari asisten residen, sekretaris, notaris, beberapa orang komis, insinyur kepala dan bawahannya, dokter kesehatan, guru kepala dan enam orang pengajar yang bertugas membuka Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) pertama di Priangan, serta koki dan tukang cukur pribadi.
Untuk sementara waktu, Van der Moore menempati Loji Kompeni di alun-alun utara (kini Gedung BRI), yang kala itu ditempati oleh asisten residen Bandung. Asisten residen kemudian pindah rumah dengan menempati Gedung Papak (kini Balai Kota Bandung).
“Terhitung sejak tahun 1866 Bandung telah menjadi tempat kedudukan pemerintahan bangsa kulit putih…,” tulis Haryoto Kunto.
Van der Moore baru menempati kediaman resminya (residentswoning) pada 1867 yang kini menjadi Gedung Pakuan, rumah dinas gubernur Jawa Barat.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar