Hubungan Gus Dur dan Yahudi
Sejak bersekolah di Baghdad, hingga menjadi presiden, Gus Dur kerap terhubung dengan kelompok Yahudi. Banyak pelajaran hidup didapatkannya dari interaksi tersebut.
Beberapa waktu lalu publik Indonesia dihebohkan dengan kabar normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dan Indonesia. Kabar tersebut muncul setelah beberapa bulan terakhir lima negara telah membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Mereka adalah Uni Emirat Arab, Maroko, Sudan, Bahrain, dan Bhutan.
Sejumlah media di negara itu, seperti Jerusalem Post, mengklaim Indonesia masuk dalam daftar negara yang akan melakukan pemulihan hubungan politiknya dengan Israel, bersama Oman dan negara-negara Asia lainnya. Klaim tersebut membuat publik bertanya-tanya dengan sikap yang diambil pemerintah Indonesia.
Baca juga: Israel Akui Kedaulatan Indonesia
Melalui Juru Bicaranya, Teuku Faizasyah, Kementerian Luar Negeri RI membantah adanya pembicaraan tentang normalisasi hubungan politik antar kedua negara. Dia menegaskan jika Kemlu tidak pernah membuka komunikasi dengan Israel. Indonesia masih tetap pada pendiriannya, mendukung secara penuh kemerdekaan Palestina, yang hingga saat ini masih berkonflik dengan Israel. Karena sesuai amanat konstitusi, kata Faizasyah, Kemerdekaan adalah hak segala bangsa.
“Saya tidak bisa merespon karena tidak ada pembicaraan. Kemlu sejauh saya ketahui tidak melakukan pembicaraan mengenai hal ini. Saya tidak bisa mengkonfirmasi karena sejauh yang saya pahami dan saya ketahui, secara faktanya tidak ada komunikasi antara Kementerian Luar Negeri dengan pihak Israel,” ujar Faizasyah seperti diberitakan VOA Indonesia.
Pernyataan juru bicara Kemlu tersebut membuat pemberitaan media Israel menjadi hanya klaim sepihak saja. Kebenarannya tidak benar-benar bisa dibuktikan. Namun tidak seperti sekarang yang sekedar rumor belaka, normalisasi hubungan antara Indonesia dan Israel hampir terjadi pada masa awal pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
Diterangkan Djohan Effendi, soal pembentukan hubungan diplomatik dengan Israel tersebut menjadi salah satu kebijakan yang dianggap paling kontoversi dari pemerintahan Gus Dur. Dalam Damai Bersama Gus Dur, Mantan Menteri Sekretaris Negara era Gus Dur itu bercerita jika keinginan menjalin hubungan dengan Israel terlontar langsung dari mulut Gus Dur. Pada sebuah acara di Bali, selang beberapa hari setelah pelantikan, Presiden mengungkapkan gagasannya tentang soal diplomasi tersebut.
“Segera setelah lontaran gagasan tersebut, timbul reaksi yang menentangnya. Sebagai orang yang cukup lama tinggal di Timur Tengah, Gus Dur menyaksikan penderitaan rakyat Palestina. Ia memahami benar kondisi politik Timur Tengah,” kata Djohan. “Akan tetapi makin hari makin kelihatan bahwa negara-negara Arab sendiri tidak satu pendapat. Bahkan beberapa negara seperti Mesir dan Jordania mengambil sikap yang lebih rasional dan pragmatis. Mereka mengadakan perdamaian dan hubungan diplomatik dengan Israel. Beberapa negara lain mengadakan hubungan perdagangan.”
Sebelumnya, kedekatan Gus Dur dengan Israel juga pernah diperlihatkan kala dirinya hadir dalam acara penandatanganan perjanjian damai antara Israel dan Jordania tahun 1994. Dia dan beberapa temannya mendapat undangan langsung dari Perdana Menteri Yitzhak Rabin. Menurut Djohan, dalam sebuah pertemuan setelah proses perjanjian damai itu, Gus Dur berienteraksi dengan banyak orang dari berbagai kalangan, baik Islam, Kristen, maupun Yahudi. Cucu pendiri Pesantren Jombang KH. Hasyim Asyari itu merasakan hasrat perdamaian dari mereka.
Baca juga: Gus Dur yang Poliglot
“Mereka mengatakan kepada Gus Dur hanya mereka yang berada dalam keadaan perang yang bisa merasakan apa makna kata damai. Persoalannya, kalau Indonesia ingin berperan dalam membantu proses perdamaian antara Palestina dan Israel, tidaklah mungkin tanpa mempunyai hubungan diplomatik dengan kedua belah pihak bertikai. Dari latar belakang inilah gagasan Gus Dur tentang hubungan dengan Israel,” kata Djohan.
Bahkan jika ditarik kisah lebih jauh lagi, pergumulan Gus Dur dengan orang-orang Yahudi telah terjadi ketika dia mengenyam pendidikan di Baghdad, Irak. Pada 1966, Gus Dur berkesempatan belajar di Universitas Baghdad, setelah sebelumnya gagal menamatkan pendidikan di Mesir. Di sana, Gus Dur berteman dengan seorang Yahudi dari komunitas Yahudi-Irak bernama Ramin.
Baca juga: Gus Dur dan Buku
Diceritakan Nur Kholik dalam Interkoneksi Islam Liberal dan Pendidikan Islam Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ramin adalah ilmuwan liberal dan inklusif, yang memperdalam Cabbala, aliran mistik Yahudi. Gus Dur kerap mendiskusikan berbagai persoalan dengan kawannya itu, mulai dari agama, filsafat, politik, hingga eksistensi Yahudi sebagai diaspora.
“Melalui Ramin pula Gus Dur mengenal Yudaisme dan pengalaman orang-orang Yahudi. Ia mulai belajar menghormati Yudaisme dan pandangan politik orang Yahudi, serta keprihatinan sosial dan politik Yahudi, yang hidup dalam diaspora sebagai minoritas di berbagai tempat,” ungkap Munawar Ahmad dalam Ijtihad Politik Gus Dur: Analisis Wacana Kritis.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar