Hitung-hitungan ala Soeharto
Sejak muda Soeharto jago berhitung dan punya ingatan tajam. Ketika menjadi presiden, menteri yang salah hitung dia kasih perhitungan.
Dalam sebuah wawancara, sastrawan Pramoedya Ananta Toer pernah menyamakan Soeharto dengan Letkol Untung Sjamsuri, komandan G30S 1965. Untung, kata Pram, adalah orang yang berani tapi bodoh, makanya bisa diperalat oleh Soeharto. Soeharto di mata Amerika Serikat pun demikian, makanya bisa dipakai (untuk menumpas PKI). Menurut Pram, Soeharto itu kebalikan dari Jenderal Nasution yang terpelajar dan fasih berbahasa Belanda.
“Harto itu Sekolah Dasar saja tidak tamat. Tidak jelas pendidikannya. Ia mengaku jebolan MULO, tapi bahasa Belanda tak tahu,” kata Pram dalam Menuju Demokrasi: Politik Indonesia dalam Perspektif Sejarah suntingan Baskara T. Wardaya.
Namun, Soeharto bukanlah sebodoh seperti celetukan Pram. Ilmu berhitungnya terbilang mumpuni untuk orang lulusan sekolah rendah. Menurut gurunya Sastrodiharjo, sekalipun Soeharto bukan anak terpintar di kelas, ia senang sekali membaca dan berhitung.
“Dalam kedua mata pelajaran ini ia selalu mendapat nilai yang baik,” tulis O.G Roeder penulis biografi Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto.
Setelah lulus Sekolah Rakyat, Soeharto bekerja sebagai pembantu klerek pada sebuah bank desa di Wuryantoro, Wonogiri. Soeharto bertugas di kantor-kantor lurah. Dia menampung permintaan para petani, pedagang kecil, dan pemilik warung yang membutuhkan pinjaman.
Saban malam, Soeharto mengajak Kamin, kawannya, untuk belajar pembukuan. Mantri bank desa mengakui, Soeharto berotak encer. Kurang dari dua bulan, Soeharto sudah menguasai seluruh pembukuan. Selain terampil menghitung transaksi dalam pembukuan, Soeharto juga piawai dalam hitungan spekulatif. Sewaktu menjadi tentara KNIL di masa pendudukan Jepang, Soeharto mengisi hari-harinya dengan berjudi yang disebutnya main kartu cemeh.
“Waktu mulai main cemeh itu saya hanya punya uang satu gulden. Tetapi dalam permainan kartu itu, uang saya bertambah menjadi 50 gulden,” kenang Soeharto dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Baca juga: Wejangan Istri untuk Perwira Penjudi
Tidak heran, ketika menjadi panglima Divisi Diponegoro, Soeharto jeli menangkap peluang bisnis. Dia menjalankan perdagangan barter bersama penguasa Lim Sioe Liong dan Bob Hasan. Mereka memasok apa saja yang diperlukan oleh komandan Diponegoro untuk tentaranya, mulai dari beras, seragam, hingga obat-obatan. Namun, karena termasuk bisnis ilegal, pimpinan Angkatan Darat menghukum Soeharto bersekolah lagi “Kursus C” di Bandung.
Menurut George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan, tidak semua atasan Soeharto menyetujui cara Soeharto muda dalam menjalankan bisnis, karena kenyataannya lebih memperkaya dirinya sendiri daripada memperbaiki kesejahteraan. Meskipun pernah dihukum oleh KSAD Jenderal Nasution karena kegiatan penyelundupan yang dilakukan, sejak berkuasa pada 1965, kegiatan bisnis keluarga dan kroni Soeharto justru semakin hebat.
“Sejak itu Soeharto mengukuhkan dirinya sebagai master of hidden business administration yang paling terkemuka di Indonesia,” tulis Dianto Bachriadi dan Anton Lucas dalam Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan.
Baca juga: Persekutuan Jenderal dan Pengusaha
Kemampuan berhitung Soeharto ini juga diakui oleh menteri-menterinya ketika ia sudah menjabat presiden. Itu semua, menurut Cosmas Batubara, menteri yang menjabat dalam tiga kabinet pemerintahan Soeharto (1978—1993), karena Soeharto memiliki daya ingat yang kuat. Soeharto selalu ingat dan mengukur data-data yang disampaikan menterinya.
“Pada pertemuan yang berikut, meskipun jarak waktunya cukup lama, Pak Harto akan mengingat data yang ia terima sebelumnya. Maka, kami, para menteri, selalu membawa catatan mengenai hal apa saja yang pernah dilaporkan kepadanya agar jangan sampai salah menyebut data,” tutur Cosmas dalam bunga rampai Pak Harto: Sisi-sisi yang Terlupakan suntingan O.C. Kaligis.
Mayor Jenderal Soetjipto S.H, menteri pertanian pada masa Kabinet Ampera (1966—1968), pernah kena batunya. Kepada Soeharto, waktu itu masih pejabat presiden, dia mengutip angka berbeda dari yang semula disebutnya. Entah mana angka yang benar, namun perkara ini menuai sorotan tajam dari Soeharto.
“Saudara Menteri, tiga minggu yang lalu Anda memberikan suatu angka kepada saya dan sekarang Anda memberikan angka yang lain,” cecar Soeharto seperti dikisahkan Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965—1998.
Baca juga: Para Menteri Hobi Fotografi
Soetjipto tidak mampu berkutik. Dia kebingungan harus menjawab apa. Itulah akhir kariernya dalam pemerintahan. Setelah insiden itu, Soeharto tidak mau mengangkatnya lagi. Terbukti dalam Kabinet Pembangunan I, nama Soetjipto luput dari jajaran menteri.
“Soeharto akan mengingat angka-angka yang dilupakan orang lain,” kata Jusuf Wanandi, “Inilah orang yang latar belakang pendidikannya tidak terlalu tinggi, tetapi lebih tajam dibandingkan dengan orang-orang lain yang saya kenal, dan yang mempunyai daya ingat fotografis.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar