Hikayat Dua Pujangga Melayu
Raja Ali Haji dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi tercatat sebagai pujangga besar Melayu yang berasal dari Kesultanan Riau-Johor. Sama-sama membawa perubahan kepada sastra Melayu.
Selama penghujung abad ke-18 hingga permulaan abad ke-19, ketegangan di antara dua bangsa penjajah memuncak di wilayah Selat Malaka. Inggris dan Belanda saling klaim kekuasaan di kawasan perdagangan penting di Asia Tenggara tersebut.
Puncaknya, melalui Traktat London tahun 1824, para kolonialis Eropa sepakat membagi wilayah Selat Malaka menjadi dua bagian: utara (Singapura dan Malaysia) dimiliki Inggris; sementara selatan (Nusantara) dimiliki Belanda. Konflik pun akhirnya terselsaikan dengan baik.
Kesepakatan itu rupanya berdampak juga kepada kerajaan-kerajaan di sepanjang Selat Malaka. Kesultanan Riau-Johor, misalnya, terpaksa harus membagi kekuasaannya menjadi dua. Itu karena Kesultanan Johor-Riau memiliki kekuasaan di dua wilayah yang terpecah, yakni Tumasik (Singapura), dan Riau (Nusantara).
Terpisahnya kekuasaan tersebut membawa perpecahan di dalam internal kerajaan. Pemerintahan di Riau, maupun Singapura saling klaim kekuasaan. Akhirnya, melalui sokongan dari Inggris dan Belanda, masing-masing pemerintahan mengangkat seorang penguasa. Maka terputuslah hubungan kerajaan yang pernah menjadi vassal Sriwijaya dan Majapahit tersebut.
Terpecahnya Riau-Johor membawa perubahan juga kepada kehidupan masyarakat di dalamnya. Hal itu terjadi terutama karena Inggris dan Belanda menjalankan kebijakan yang berbeda. Perubahan meliputi bidang politik, sosial, ekonomi, hingga budaya.
Menurut Taufik Ikram Jamil dalam “Antara Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi dan Raja Ali Haji: Dua Cahaya dari Satu Kutub” dimuat 1000 Tahun Nusantara karya J.B. Kristanto, khusus di bidang budaya, perpecahan itu telah memisahkan secara paksa dua pujangga besar Melayu, yakni Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi, dan Raja Ali Haji. Keduanya sama-sama terlahir di bawah kuasa Kesultanan Riau-Johor. Tetapi akhirnya Abdullah tinggal dan berkarya di Singapura dan Malaysia, sementara Raja Ali Haji menetap di Riau.
Baca juga: Haji Singapura
“Jarak di antara keduanya terasa begitu sayup antara tampak dan tiada... Jarak yang jauh terutama terlihat dari bagaimana keduanya menyikapi keadaan kemasyarakatan dan kebudayaan Melayu pada waktu bersamaan. Suatu zaman ketika sistem kehidupan yang sudah berakar tunggang memperoleh gempuran luar biasa dari rengkuhan baratisasi yang juga selalu disebut orang sebagai kemodernan,” tulis Taufik.
Hidup dan Berkarya
Raja Ali Haji dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi hidup pada kurun masa yang sama. Keduanya mengembangkan karya dalam alam kebudayaan serupa: budaya Melayu. Namun dalam suasana yang berbeda. Baik Inggris maupun Belanda memiliki pandangan lain terkait sastra Melayu.
Dikisahkan Amin Sweeny dalam Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Abdullah lahir di Malaka pada 1796 dari keluarga campuran Arab dan India. Dia tumbuh di lingkungan Melayu Muslim kuat di bawah pemerintahan Riau-Johor. Memasuki abad ke-19, ketika usia remaja, Abdullah memutuskan pindah ke Singapura.
Menurut Irfan, sebagaimana disebutkan U.U. Hamidy dalam Pengarang Melayu dalam Kerajaan Riau dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dalam Sastra Melayu, kepindahannya ke Singapura dilakukan untuk menghilangkan kesedihan atas meninggalnya sang istri di Malaka. Tetapi jika dilihat dari jalan hidup Abdullah, kepindahannya ke Singapura terjadi karena Belanda menggantikan kekuasaan Inggris di Malaka. Hal itu, imbuh Irfan, tidak memberikan iklim yang baik bagi Abdullah.
“Tampaknya Belanda tidak memerlukan orang-orang yang ahli dalam bidang bahasa seperti Abdullah,” jelas Irfan.
Sementara itu Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad lahir di Selangor pada 1808. Dia berasal dari keluarga Kerajaan Riau. Raja Ali Haji tumbuh dan dibesarkan di Pulau Penyengat, Inderasakti, Riau. Dia hidup dalam suasana intelektual yang kental, yang menjadi dasar pengembangan nalar dan intuisi dalam menggambarkan alam Melayu melalui karya-karya sastranya.
Menurut Irfan terdapat perbedaan yang cukup besar di antara dua pujangga ternama Melayu tersebut. Sebuah jurang pembeda yang membuat nama Abdullah lebih mencuat dibandingkan Raja Ali Haji. Itu ditentukan oleh adanya pemberian kesempatan berkarya dari bangsa yang menjajah mereka.
Sikap pemerintah Inggris, di bawah Raffles, sangat terbuka kepada kehidupan kebudayaan orang-orang Melayu. Kondisi itu yang membuat Abdullah lebih leluasa mengembangkan karya-karyanya. Di lain pihak, Belanda amat membatasi kegiatan kebudayaan masyarakat pribumi. Terlebih, antara Riau dan Belanda kerap terlibat ketegangan yang memperburuk hubungan keduanya.
Baca juga: Para Pelancong Mencatat Sejarah Singapura
“Secara sederhana dapatlah dikatakan, Abdullah berada dalam suatu kawasan, yakni Singapura yang waktu itu sedang bangkit secaa mengejutkan dan kini terus meninggi, jauh meninggalkan Riau yang cukup lama memayunginya,” kata Irfan.
Sepanjang hidupnya, Abdullah berhasil menghasilkan banyak karya, di antaranya Syair Singapura Dimakan Api, Kisah Pelayran Abdullah dari Singapura ke Klantan, Syair Kampung Gelam Terbakar, Hikayat Abdullah, dan Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah.
Sedangkan karya-karya Raja Ali Haji, di antaranya Bustanul Katibin, Kampus Pengetahuan Bahasa, Tsamaratul Muhimmah, Muqaddimah fi Intizam, Syair Suluh Pegawai, dan Gurindam Duabelas.
Hubungan dengan Barat
Raja Ali Haji dan Abdullah diketahui sama-sama memiliki kedekatan dengan orang-orang Eropa. Utamanya mereka yang tertarik dengan budaya Melayu. Abdullah sendiri, dengan kemampuan bahasa Melayu, Inggris, Tiongkok, dan India, mendapat kesempatan menjadi juru tulis Raffles.
Dia pun berhubungan erat dengan para penyebar Kristen di Singapura, seperti Wiilliam Milner da C.H. Thomsen. Tidak hanya bersahabat dan mengajarkan para misionaris bahasa Melayu, Abdullah juga membantu menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Melayu.
Baca juga: Gerakan Kaum Intelektual di Ranah Minang
Alam kebebasan di bawah kuasa Inggris, serta pergaulannya dengan orang-orang Eropa, membuat karya-karya yang dilahirkan Abdullah dinilai oleh para ahli berbeda dengan karya pengarang Melayu lain yang hidup sezaman dengannya. Subjek tulisan Abdullah, misalnya, tidak terbatas pada persoalan kekuasaan dan raja-raja saja, tetapi ada tentang kehidupan sehari-hari. Bahkan dia terkadang membuat tulisan berupa kritik terhadap raja-raja dan masyarakat Melayu.
“Boleh dikatakan, Abdullah-lah, pelahir otobiografi dalam alam Melayu,” tulis Irfan. “Tak dapat dipungkiri bahwa gaya Abdullah itu merupakan berkat pergaulannya dengan Barat dan coba menyerapnya dalam kehidupan sehari-hari, sampai-sampai ada orang mengatakan bahwa Abdullah cendekiawan pertama di kawasan Nusantara yang mampu menyerap Barat.”
Sementara Raja Ali Haji memiliki hubungan kedekatan dengan sejumlah penguasa dan pakar bahasa. Seperti dikisahkan Jan van der Putten dan Al Azhar dalam Di dalam Berkekalan Persahabatan: Surat-surat Raja Ali Haji kepada Von de Wall, Raja Ali Haji bersahabat baik dengan Von de Wall yang kala itu menjabat Asisten Residen Riau.
Berkat Von de Wall, Raja Ali Haji bisa mendapatkan buku-buku dari Negeri Belanda, ataupun dari Timur Tengah, yang dia butuhkan untuk referensi tulisan-tulisannya. Sebagai balasan, Raja Ali Haji memberikan pengetahuan tentang bahasa Melayu kepada Von de Wall.
Baca juga: Sastra Dakwah tentang Hari Kiamat
“Kepada Asisten Residen Riau itu, Raja Ali Haji bahkan menulis persoalan amat pribadi termasuk lemah syahwat,” tulis Irfan.
Tidak hanya dengan Von de Wall, Raja Ali Haji juga berhubungan baik dengan sejumlah pejabat Belanda. Hal itu semata dia lakukan untuk menarik perhatian Belanda akan karya-karyanya, yang memungkinkan karangannya tersebut disebar dan dicetak. Sampai-sampai dia pernah berharap diperkenankan memperoleh mesin cetak di Riau.
Kendati Raja Ali Haji dan Abdullah memiliki ketenaran dibanding pengarang-pengarang lain, serta mendapat tempat spesial di dunia sastra Melayu, bukan berarti tidak ada pujangga lain yang menghasilkan karya fenomenal. Masih banyak nama lain. Salah satunya Raja Chulan bin Raja Abdul Hamid yang menulis Silsilah Perak dan Misa Melayu. Apalagi di Riau, sepeninggalan Raja Ali Haji, lahir 20-an pengarang baru yang tidak kalah hebat.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar