Hijrah Sang Maung
Perjanjian Renville menjadikan Divisi Siliwangi harus terusir dari Jawa Barat. Sebuah keputusan yang sulit buat para prajurit.
WAJAH Letnan Kolonel A.E. Kawilarang mendadak berubah kelam. Ketika pasukannya tengah asyik-asyiknya menghadapi tentara Belanda di wilayah Sukabumi dan Cianjur, tetiba datang perintah dari Markas Besar Tentara di Yogyakarta lewat Mayor Islam Salim bahwa seluruh kekuatan Brigade II Soerjakantjana yang dia pimpin harus hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta.
“Seperti (mendengar) halilintar di siang hari bolong rasanya…”ungkap Kawilarang seperti dituliskan dalam biografinya yang disusun Ramadhan KH, Untuk Sang Merah Putih.
Kawilarang hanya salah satu dari unsur Divisi Siliwangi yang merasa kecewa dengan hasil Perjanjian Renville. Umumnya tak ada prajurit yang paham, mengapa pemerintah menyetujui kesepakatan yang kesannya sangat merugikan pihak Republik itu (baca: Berjudi di Atas Renville). Namun, sebagai seorang tentara yang harus patuh pada disiplin, para komandan di lapangan akhirnya bisa menguasai diri.
“Daripada kita capek mikirin politik pemerintah, ya sudah kita terima saja perintah itu, kita ini kan cuma bawahan…” ujar Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi, salah satu eks perwira dari Brigade IV Guntur I.
Turun Gunung
Awal Februari 1948, para maung (sebutan untuk para prajurit Siliwangi yang artinya harimau) mulai keluar dari hutan dan gunung di seluruh Jawa Barat. Mereka bukan saja membawa diri mereka masing-masing tetapi ada juga yang mengikutsertakan seluruh anggota keluarganya. Menurut buku Hijrah Siliwangi yang diterbitkan oleh Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat, jumlah keseluruhan peserta hijrah adalah 30.000 orang.
Sebagai titik temu seluruh rombongan Divisi Siliwangi dari pelosok Jawa Barat, dipilihlah Cirebon. Dari kota udang tersebut, mereka berangkat ke wilayah Republik dengan menggunakan tiga cara: diangkut dengan kapal laut menuju Rembang, menggunakan kereta api hingga Yogyakarta dan berjalan kaki hingga Wonosobo atau Gombong. Selanjutnya dari kedua kota itu, rombongan menggunakan kereta api dan truk menuju Yogyakarta dan sekitarnya.
Saat menuju tempat tujuan hijrah inilah, pihak Belanda dikejutkan dengan performa prajurit-prajurit Siliwangi. Kendati berpakaian compang-compang, mereka tetap menunjukan disiplin tinggi laiknya tentara profesional. Termasuk saat seluruh prajurit harus menyerahkan senjata masing-masing guna diangkut secara terpisah, sesuai kesepakatan dengan pihak pengawas dari Komisi Tiga Negara (KTN).
“Berbeda dengan penggambaran yang kerap ditulis koran-koran Belanda bahwa TNI itu sejenis kumpulan perampok dan ekstrimis, mereka justru terlihat seperti pasukan yang sangat teratur dan memiliki disiplin…” ujar Piere Heyboer dalam De Politionele Acties.
Dukungan Rakyat
Pihak Belanda pun harus menemukan kenyataan bahwa “para gerombolan” tersebut mendapat dukungan penuh dari rakyat. Itu dibuktikan dengan sambutan antusias masyarakat sepanjang rute hijrah. Ketika memasuki Cirebon saja (yang merupakan wilayah Belanda), rakyat sudah berderet sepanjang jalan seraya tak henti-hentinya memekikkan kata “merdeka” setiap lewat barisan prajurit Siliwangi yang tengah bergerak menuju stasiun kereta api dan pelabuhan.
“Untuk menghentikan histeria rakyat, tentara Belanda yang mengawal para prajurit Siliwangi itu tak jarang menembakkan senjatanya ke udara,” tulis Himawan Soetanto dalam Yogyakarta, 19 Desember 1948.
Sebaliknya, para pengawal dari pihak tentara Belanda terutama dari satuan KST (Korps Pasukan Khusus) dan Batalyon Infanteri V Andjing NICA (yang anggotanya terdiri dari orang-orang Indo Belanda dan bangsa Indonesia) kerap berprilaku provokatif. Selain mengejek dengan sebutan “rampokers”, mereka pun kerap menyanyikan lagu-lagu berbahasa Belanda yang isinya menghina kaum gerilyawan. Banyak anggota Siliwangi yang paham bahasa Belanda merasa terhina dengan provokasi tersebut, namun demi disiplin mereka terpaksa mendiamkannya.
Selama perjalanan perlakuan buruk juga diterapkan oleh pihak militer Belanda. Menurut Maman Soemantri, salah satu veteran Siliwangi yang ikut hijrah, pemberian jatah makan dilakukan laiknya kepada binatang. “Mereka menyajikan makanan buat kami dalam kaleng-kaleng bekas kornet dan sardencis yang kadang sudah berkarat,” ujar eks prajurit Divisi Siliwangi dari Brigade Kian Santang tersebut.
Kapal Plancius yang disediakan untuk pengangkutan pun kondisinya sangat kotor, hingga menyebabkan banyak prajurit dan anggota keluarga prajurit yang sakit. Perlakuan-perlakuan buruk itu tak jarang menimbulkan keributan kecil di antara para prajurit Siliwangi dengan prajurit Belanda.
Sepuluh hari kemudian, hampir seluruh kekuatan Divisi Siliwangi telah sampai ke wilayah Republik. Di Stasiun Tugu Yogyakarta, mereka langsung disambut oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta, Panglima Besar Jenderal Soedirman dan ribuan masyarakat Yogyakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar