Habibie Disayang Lalu Tidak Diacuhkan
Habibie awalnya jadi anak emas Soeharto. Semua berubah ketika Soeharto lengser.
Habibie terkenal karena kejeniusannya. Hal itu pula yang membuat Soeharto tertarik padanya. Ketika pulang dari Jerman tahun 1974, Habibie diminta membantu pembangunan industri. Dia diserahi tanggung jawab membangun industri pesawat di Industri Pesawat Terbang Nusantara/IPTN (kini PT Dirgantara Indonesia/PT DI).
Selain itu, Habibie juga dipercaya mengelola industri-industri strategis: Galangan kapal, senjata ringan, pemetaan dari udara oleh Angkatan Udara, baja, pusat reaktor energi nuklir, dan pembentukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
“Tahun 1974, ketika Habibie kembali ke Indonesia dari Jerman, Presiden Soeharto menganggapnya sebagai seorang genius yang harus dilindungi demi masa depan Indonesia. Soeharto menugaskan Benny untuk menjaga Habibie,” kata Jusuf Wanandi dalam bukunya Menyibak Tabir Orde Baru.
Sejak itu, karier Habibie terus naik. Dia makin dekat dengan Soeharto. Bahkan menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi selama 20 tahun dari 1978 hingga 1998.
“Habibie sudah menggantikan Benny sebagai orang yang paling didengar Soeharto,” sebut Jusuf Wanandi.
Baca juga: Akhir Hayat Sang Teknokrat
Setelah menjabat menteri, Habibie pun hendak dicalonkan sebagai wakil presiden oleh Soeharto. Bahkan keinginan Soeharto itu sudah sejak Pemilu 1983.
Pemilu di era Orde Baru biasanya bukan ramai karena pemilihan presiden baru, melainkan karena siapa calon wakil presidennya.
Pemilihan Habibie sebagai wakil presiden pun demikian. Sofjan Wanandi, pengusaha yang pernah dekat dengan Soeharto adalah salah satu yang ‘bergerilya’ mengusulkan wakil presiden lain.
Dia mendatangi beberapa tokoh, seperti Wiranto yang saat itu menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Panglima Kostrad Letjen TNI Soegijono, dan Komandan Kopassus Mayjen TNI Prabowo Subianto.
Baca juga: Habibie dan Sang Jenderal
Ketika menemui Prabowo misalnya, Sofjan mengatakan kalau wakil presiden yang paling baik adalah perwira ABRI.
“Kalau memang mau ABRI lagi, orang yang paling tepat adalah Sudharmono karena dia mantan wakil presiden. Kalau mau yang lebih muda, beri kesempatan kepada Pak Try Sutrisno. Tapi kalau yang lebih muda lagi, kasihlah ke Pak Wiranto,” kata Sofjan dalam Sofjan Wanandi dan Tujuh Presiden.
Namun, Prabowo justru mengatakan bahwa ABRI akan mengusulkan Habibie sebagai wakil presiden.
Tahun 1998, Habibie menjadi wakil presiden di masa krisis. Baik krisis moneter maupun krisis politik. Rakyat menuntut Soeharto mundur. Sedangkan Soeharto masih tetap ingin jadi presiden.
Pada sebuah pertemuan di Cendana, 20 Mei 1998, Soeharto mengatakan pada Habibie bahwa dia hendak mengundang DPR/MPR ke Istana Merdeka untuk menyampaikan pengunduran dirinya sebagai presiden setelah Kabinet Reformasi dilantik. Namun, Soeharto sama sekali tidak menyinggung sama sekali kedudukan Habibie sebagai wakil presiden.
Baca juga: Cinta Mati Ainun-Habibie
“Apa yang sebenarnya dikehendaki Pak Harto tentang saya? Apakah saya juga diminta ikut mundur? Pertanyaan ini muncul karena pernyataan Pak Harto sehari sebelumnya di hadapan sejumlah tokoh masyarakat seolah 'meragukan' kemampuan saya. Demikian sejumlah pertanyaan berkecamuk di benak saya,” ungkap Habibie dalam Detik-Detik yang Menentukan.
Setelah beberapa saat diam, Habibie pun terpaksa bertanya, “Pak Harto, kedudukan saya sebagai Wakil Presiden bagaimana?”
“Terserah nanti. Bisa hari Sabtu, hari Senin, atau sebulan kemudian, Habibie akan melanjutkan tugas sebagai Presiden,” jawab Soeharto spontan.
Habibie tak menduga jawaban Soeharto tersebut. Dia berpikir mana mungkin sempat terjadi kevakuman dalam pimpinan negara. Namun, dia memilih mengalihkan pembicaraan yang dianggapnya “tidak lazim” itu.
Baca juga: Menelusuri Leluhur BJ Habibie
Masih di malam yang sama, sekitar pukul 11 malam, semuanya berubah. Di rumahnya, Habibie baru saja menggelar Sidang Ad Hoc terbatas Kabinet Pembangun IV. Habibie menghubungi Soeharto hendak melaporkan hasil sidang. Namun Soeharto ternyata enggan berbicara dengan Habibie.
Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursyid justru memberi kabar mengejutkan. Bahwa esok hari pukul 10.00 pagi, Soeharto akan mundur sebagai presiden. Tanggung jawab diserahkan kepada wakil presiden.
Habibie sangat terkejut. Dia meminta bicara langsung dengan Soeharto namun tidak dikabulkan. Semalaman, Habibie tak bisa tidur.
Esoknya, pertemuan yang direncanakan di Cendana tidak terlaksana. Pertemuan empat mata direncanakan lagi di Istana Merdeka. Namun, ketika Habibie menunggu bertemu, justru Ketua Mahkamah Agung dan anggotanya yang diminta ke ruangan Soeharto. Setelah itu, giliran Ketua DPR/MPR yang dipersilakan menemui Soeharto.
Baca juga: Kekecewaan Soeharto pada Habibie
“Perasaan saya makin penuh dengan kekecewaan, ketidakadilan, dan ‘penghinaan’, sehingga kemudian saya memberanikan diri untuk berdiri dan melangkah ke Ruang Jepara ingin bertemu langsung dengan Presiden Soeharto,” ungkap Habibie.
Namun, tepat ketika sampai di depan pintu ruangan, pintu itu terbuka dan Soeharto keluar. “Saya tercengang melihat Pak Harto melewati saya terus melangkah ke ruang upacara dan ‘melecehkan’ keberadaan saya di depan semua yang hadir,” sebut Habibie.
Pungunduran diri Soeharto sebagai presiden sekaligus upacara pelantikan Habibie sebagai presiden baru itu berlangsung cepat. Soeharto memberi salam kepada Habibie tanpa senyum maupun sepatah kata. Soeharto lalu meninggalkan ruangan. Sejak itu, Habibie tak pernah bertemu Soeharto lagi hingga Soeharto meninggal dunia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar