Habibie dan Sang Jenderal
Anti-eksklusivitas adalah pembuktian Habibie di hari pertamanya menjabat presiden. Pelajaran ini ditujukan kepada seorang jenderal yang bertindak melangkahi atasan.
ISTANA NEGARA, 22 Mei 1998. Pukul 3 sore, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie menerima kedatangan Panglima Kostrad Letjen TNI Prabowo Subianto. Pagi harinya, Habibie telah menerima laporan dari Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto tentang pasukan Kostrad dari luar Jakarta yang bergerak di ibu kota. Sejumlah tanya menggelayut dalam benak Habibie jelang ketemu Prabowo,.
“Apakah perlu saya bertemu? Apa gunanya bertemu? Letjen Prabowo adalah menantu Presiden Soeharto. Pak Harto baru 24 jam meletakkan jabatannya... Mengapa Prabowo tanpa sepengetahuan Pangab telah membuat kebijakan menggerakan Kostrad?” kenang Habibie dalam otobiografi Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.
Prabowo dan keluarganya bukan orang baru bagi Habibie. Prabowo mengaggumi sosok Habibie sebagai cendekiawan yang ahli teknologi. Pun sebaliknya, sejak SMA Habibie telah menganggumi ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikusumo yang pernah jadi Menteri Keuangan era Sukarno serta Menteri Perdagangan di masa Soeharto dalam Kabinet Pembangunan I (1968–1973).
Baca juga: Empat Tokoh Idola Habibie
Soemitro-lah yang merekomendasikan Habibie kepada Presiden Soeharto untuk mengelola proyek pembangunan teknologi. Pada 1978, Habibie menjabat Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) dalam Kabinet Pembangunan III. Jabatan itu diemban Habibie berturut-turut hingga berakhirnya masa Kabinet Pembangunan VI pada 1998. Di saat yang sama, Prabowo telah merintis karier militernya sebagai perwira tinggi TNI sekaligus menantu Presiden Soeharto.
Habibie mengenal karakter Prabowo. Prabowo lahir dan dibesarkan di lingkungan intelektual dan rasional. Disiplin intelektual memungkinkannya untuk menganalisis, mempertanyakan, memperdebatkan tiap jejak seorang diri dengan lingkungannya, termasuk dengan atasannya. Berbeda halnya dengan disiplin militer yang hanya mengenal satu jawaban, “siap laksanakan”. Menurut Habibie, pembawaan Prabowo masih bernapaskan disiplin intelektual.
Baca juga: Kisah Bowo Anak Kebayoran
Dalam otobiografinya, Habibie mengatakan bahwa Prabowo dalam gerakan dan tindakannya sering terjadi konflik antara disiplin militer dan disiplin sipil. Ini tidak lain dikarenakan statusnya sebagai menantu Soeharto di mana budaya feodal masih subur. Makanya apapun yang dilakukan Prabowo akan ditoleransi dan tidak pernah mendapat teguran dari atasannya. Kebiasaan pemberian "eksklusivitas" kepada Prabowo mungkin salah satu penyebab terjadinya pengerahan pasukan Kostrad tanpa konsultasi, koordinasi, dan sepengetahuan Panglima ABRI.
“Walaupun saya sangat akrab dan dekat dengan Prabowo, kebiasaan tersebut tidak boleh saya tolerir dan biarkan. Ini suatu pelajaran bagi semua bahwa dalam melaksanakan tugas, pemberian 'eksklusivitas' kepada siapa saja, termasuk kepada keluarga dan teman, tidak dapat dibenarkan,” ujar Habibie.
Soal pengerahan pasukan Kostrad sebenarnya masih simpang siur. Menurut Letjen TNI (Purn.) Sintong Panjaitan, yang saat itu menjadi penasihat Habibie bidang Pertahanan dan Keamanan, kehadiran pasukan Kostrad dari luar Jakarta perlu dicek lebih dahulu. Tetapi, disebabkan kendala waktu –padatnya agenda Habibie dan keadaan negara yang genting–, maka kehadiran pasukan itu tidak perlu dicek lagi.
“B.J. Habibie percaya kepada Wiranto yang dianggapnya sebagai orang jujur,” kata Sintong dalam biografinya, Perjalanan Seorang Prajurit: Para Komando.
Baca juga: Akhir Hayat Sang Teknokrat
Ayah Prabowo, Soemitro juga mempertanyakan pengerahan pasukan itu. Berdasarkan keterangan yang diperolehnya dari Panglima Kodam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsuddin, dapat dipastikan kalau pasukan itu bukan berasal dari Kostrad melainkan Kopassus. Ini didasarkan atas perintah Panglima ABRI di Markas Komando Garnisun pada 14 Mei 1998. Kostrad ditugaskan untuk mengamankan instalasi vital, Marinir bertugas mengamankan konsulat asing dan kedutaan asing, sedangkan Kopassus bertugas mengamankan RI-1 dan RI-2.
“Jelas sudah, dalam soal ini satu dari dua orang itu: Habibie atau Wiranto, pasti berdusta,” tegas Soemitro dalam biografinya, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang.
Ketika Prabowo memasuki ruang kerja Presiden Habibie, senjata yang melekat padanya ditanggalkan. Habibie menyaksikannya dengan lega. Hal ini berarti pemberian “eksklusivitas” kepada Prabowo tidak dilaksanakan lagi. Saat bersua, sudah jadi kebiasaan di antara keduanya bercengkerama dalam bahasa Inggris.
Baca juga: Misi Prabowo dalam Operasi Mapenduma
Prabowo mengatakan pasukan yang dikerahkannya bertujuan untuk melindungi presiden. Habibie menyanggahnya, bahwa Pasukan Pengaman Presiden yang berwewenang untuk itu. Prabowo sempat tawar menawar agar tetap diberikan wewenang memegang kendali pasukannya. Habibie menolak. Hasil pertemuan itu memutuskan pencopotan jabatan Prabowo sebagai Panglima Kostrad. Sebelum berpisah, Habibie sempat memeluk Prabowo dan menitipkan salam kepada Soemitro dan ayah mertua Prabowo, Soeharto.
“Saya percaya bahwa iktikad dan niat Prabowo untuk melindungi saya adalah tulus, jujur, dan tepat,” kenang Habibie.
Hari itu, sebelum matahari terbenam, Prabowo menyerahkan pasukannya kepada Panglima Kostrad yang baru Johny Lumintang. Prabowo legowo. Posisi baru sebagai komandan Sesko ABRI, sekolah staf dan komando gabungan lintas matra, menantinya.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar