Gubernur Polisi dalam Sejarah
Dalam catatan sejarah Republik, untuk alasan tertentu polisi pernah menjadi pejabat sipil seperti gubernur dan bupati.
USULAN Mendagri Tjahjo Kumolo untuk mengangkat perwira polisi menjadi pejabat gubernur menuai pro-kontra. Polemik mengemuka setelah Tjahjo mengajukan dua nama: Irjen Pol. Iriawan untuk Jawa Barat dan Irjen Martuani Sormin untuk Sumatera Utara. Hal ini sebagai langkah untuk mengisi kekosongan posisi gubernur menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) sekaligus menjaga keamanan di daerah tersebut. Beberapa partai politik menilai usulan itu bermuatan politis yang dapat mempengaruhi netralitas dalam pilkada. Wacana ini masih menanti keputusan Presiden Joko Widodo.
“Banyak (terjadi) kok sejak Republik ini berdiri,” ujar Muradi, dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran kepada Historia. “Baik dari kepala daerah menjadi polisi atau sebaliknya polisi menjadi kepala daerah.” Untuk contoh terakhir, Muradi menyebut Raden Soemarto Soekardjo, perwira polisi sekaligus wakil kepala polisi pertama Soekanto Tjokrodiatmodjo, yang sebelumnya menjabat sebagai wedana (setara camat).
Sejarah mencatat Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa menjadi perwira polisi pertama yang menjabat gubernur. Kepala Polisi Sumatera Tengah ini menjadi Gubernur Sumatera Barat periode 1958—1965. Pemerintah menunjuk Kaharoeddin ketika daerah-daerah di Sumatera bergejolak melalui gerakan (Pemerintahan Revolusiner Republik Indonesia).
“Kaharoeddin Datuk Rangkayo adalah mantan Kepala Polisi Provinsi Sumatera Tengah yang menyerah kepada pemerintah pusat tidak berapa lama setelah APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) memulai operasi militernya di daerah ini,” tulis Gusti Asnan dalam Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an.
Parlemen menggagas pengangkatan Kaharoeddin melalui missi Hardi dari PNI. Diterbitkanlah SK No. 2/1958 tentang pengangkatan Gubernur/Koordinator Pemerintah Sipil Sumatera Barat. SK tersebut diperkuat Keputusan Presiden No. 363/M/1958. Pada 10 Mei 1958, Presiden Sukarno menandatangani pengangkatan Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa —dengan persetujuan Perdana Menteri Juanda dan Menteri Dalam Negeri— sebagai orang pertama dalam pemerintahan sipil di Sumatera Barat. Dengan demikian, Kaharoeddin adalah Pejabat Gubernur atau Koordinator Pemerintahan Sipil Sumatera Barat yang ditunjuk atau diangkat oleh pemerintah pusat.
“Dalam melaksanakan operasi militer ini APRI mendapat bantuan dari kekuatan anti PRRI/Permesta yang terdapat di daerah. Di Sumatera Barat terdapat satuan polisi di bawah pimpinan Komisaris Besar Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa (Kepala Kepolisian Sumatera Tengah),” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosutanto dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia.
Kaharoeddin memilih sejalan dengan kepentingan pemerintah meskipun membawanya pada situasi sulit. Di satu sisi, dia sebagai wakil bagi perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Di sisi lain, dia adalah pemimpin pada kawasan wilayah yang masyarakatnya bergejolak atas ketidakpuasan kepada pemerintah pusat. Sebagaimana dituturkan dalam biografi Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa: Gubernur di Tengah Pergolakan karya Hasril Chaniago dan Khairul Jasmi, Kaharoeddin menerima informasi dari Rasuna Said di Jakarta bahwa Hatta tidak setuju dengan pembentukan Dewan Banteng, salah satu kekuatan PRRI di Sumatera Barat. Dia pun kemudian tegas menolak bergabung dengan PRRI.
Alat Kekuasaan?
Menurut Muradi, proses anggota polisi menjadi kepala daerah sifatnya terbatas. Situasi tertentu memungkinkan mereka menjadi pejabat publik sekaligus polisi. Di masa Orde Baru, peran polisi direduksi setelah dilebur ke dalam ABRI. Kekaryaan ABRI lebih mengarah kepada tentara. Gubernur-gubernur di daerah justru lebih banyak berasal dari TNI Angkatan Darat.
“Kalau mau ditarik garis lurus, polisi adalah sipil,” ujar Muradi. “Kasus PRRI, Sumatera Barat, misalnya. Mereka akhirnya balik lagi jadi polisi. Karena situasi di lapangan yang membuat mereka dipercaya jadi pejabat publik.”
Menurut Muradi polisi bisa menjadi pejabat gubernur selagi tak bertentangan dengan Undang-Undang (legal formal) dan adanya kebutuhan. Di era Reformasi, perwira polisi yang menjadi pejabat daerah mulai lazim terjadi. Beberapa nama terbuhul, di antaranya seperti Fadhilah Budiono yang menjabat Bupati Sampang 1995—2006 dan Komjen. Pol. Sjachroedin Zainal Pagaralam, menjabat Gubernur Lampung, 2009—2014.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar