Gerakan Baso di Sumatra Barat
Ulama kakak beradik Tuanku Nan Putih dan Tuanku Nan Hitam memimpin Gerakan Baso di Sumatra Barat. Pengikut Tan Malaka ini ditumpas tentara.
Pasca hengkangnya Jepang dari Indonesia pada akhir 1945, seorang ulama dari Baso, Sumatra Barat menjemput puluhan romusha asal Jawa di Logas, Riau. Mereka kemudian dimukimkan di areal pertanian kolektif di Baso. Ulama itu ialah Tuanku Nan Putih, yang kelak bersama adiknya, Tuanku Nan Hitam dianggap sebagai pemberontak.
Menurut Audrey R. Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, Abdul Rahman Tuanku Nan Putih adalah ulama pedesaan dari Baso, daerah dekat Bukittinggi, Sumatra Barat. Laki-laki kelahiran 1898 ini merupakan murid dari Syekh Daud Rasyidi dari Balingka. Sejak muda, ia telah bergabung dengan Sarekan Islam (SI) dan ketika SI pecah, ia memilih faksi komunis Sarekat Rakyat.
Pada pemberontakan komunis 1927 di Sumatra Barat, Tuanku Nan Putih ditangkap Belanda. Ia kemudian dibuang ke Pamekasan, Madura. Setelah sekira tiga tahun dipenjara, Tuan Nan Putih bebas dan kembali aktif berpolitik. Ia bergabung dengan Partai Persatuan Muslim Indonesia (Permi), kemudian PNI Baru.
Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda, Tuanku Nan Putih menyambutnya. Di Baso, ia mendirikan cabang organisasi kepanduan Pemuda Nippon Raya. Namun, karena dituduh komunis, ia pernah dipenjara Jepang. Meski demikian, ia tetap mendukung Jepang. Ia menganjurkan para pengikutnya masuk Laskar Rakyat (Giyugun).
Melihat penderitaan romusha di Logas, Riau, Tuanku Nan Putih membujuk penguasa Jepang agar pengikutnya dipekerjakan di proyek pembangunan lapangan terbang di Padang Gadut, dekat Baso.
“Istrinya mewarisi lahan pertanian yang luas di daerah Baso, dan selama masa pendudukan Jepang itu, Tuanku Nan Putih menganjurkan kepada istrinya untuk membuka sistem pertanian kolektif di sekitar Bukit Subarang, dengan menanam jagung, ubi kayu, dan tebu,” tulis Kahin.
Setelah Jepang kalah, Tuanku Nan Putih datang ke Logas, Riau untuk menjemput para romusha dari Jawa. Mereka kemudian dibawa ke pertanian kolektif di Baso dan tinggal di sana.
Sementara itu, adik tirinya, Boerhan Malin Kuning kembali dari Bangkinang ke Baso. Boerhan Main Kuning juga dikenal sebagai Tuanku Nan Hitam. Dua ulama kakak beradik ini kemudian mengambil alih wewenang wilayah Baso.
Baca juga: Minang Kiri Sebelah Bofet Merah
Keduanya merupakan pengikut Tan Malaka dan mendukung konsep Merdeka 100%. Namun, Tuanku Nan Putih lebih moderat sedangkan Tuanku Nan Hitam begitu radikal.
“Mereka sebelumnya telah mendirikan cabang bawah tanah dari gerakan Pari nasionalis-komunis Tan Malaka di Baso pada tahun 1930-an,” tulis Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra, antara Indonesia dan Dunia. Pari (Partai Rakyat Indonesia) didirikan Tan Malaka di Bangkok, Thailand pada 1927.
Sementara pengaruh Tuanku Nan Putih mulai pudar, Tuanku Nan Hitam menyerukan aksi-aksi revolusioner yang menarik banyak pengikut. Pengikutnya mencegat dan merampok orang-orang di jalur Bukittinggi-Payakumbuh.
Mereka juga mencuri ternak penduduk kampung sekitar. Seorang kepala polisi, seorang pejabat Suliki terbunuh. Pejabat Minangkabau, Landjoemin Dt. Toemenggoeng yang merupakan mertua laki-laki Chaerul Saleh juga terbunuh.
Gerakan Baso sering kali diasosiasikan dengan PKI. Padahal, seorang PKI ortodoks bernama Abdulmadjid pernah menulis pamflet anti-Baso. Seperti dirujuk Anthony Reid, pamflet itu mengatakan bahwa Gerakan Baso mencoba mewujudkan kepemilikan bersama (communalization) radikal harta di setiap desa. Harta direbut dari orang kaya dan dibagikan sama rata sehingga terwujud “kebun syorga”.
Baca juga: Sarekat Djin Melawan Belanda
Gerakan Baso tentu mengganggu pemerintah pusat. Menurut Taufik Abdullah dkk. dalam Sejarah Sosial Daerah Sumatra Barat, operasi penumpasan dilancarkan di bawah Komandan Resimen I TRI Divisi III Banteng pada 14 April 1946.
“Daerah-daerah yang menjadi sasaran operasi ini ialah kampung-kampung Simarasok, Sungai Sarik, Pincuran Putih, Ujung Guguk, Kotatinggi dan hampir seluruh daerah Kecamatan Baso,” tulis Taufik Abdullah dkk.
Penumpasan berlangsung hingga 16 April 1946. Tuanku Nan Putih dan Tuanku Nan Hitam ditangkap dan dieksekusi. Jasadnya dan kuburnya tak pernah diberitahukan kepada keluarga. Sementara sebagian besar pengikutnya dipenjara di Bukittinggi.
Lebih dari 100 pengikut Gerakan Baso tewas. Tiga opsir Jepang yang membantu pelatihan militer gerakan ini, dan para mantan romusha dari Jawa yang dimukimkan di pertanian kolektif, termasuk dari mereka yang disiksa hingga tewas.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar