Fasilitas "Plus-plus" dalam Konferensi Asia Afrika
Perhelatan akbar tingkat dunia itu sedikit ternoda. Dikabarkan adanya panitia istimewa yang menyediakan pelayanan seks bagi para utusan negara peserta.
Sepekan setelah Konfrensi Asia Afrika (KAA) rampung dengan sukses, bau skandal justru tercium ke tengah publik. Koran Indonesia Raya bikin geger dengan berita adanya “Panitia Ramah Tamah” selama konferensi tersebut. Isu itu dibongkar langsung oleh pemimpin redaksinya, Mochtar Lubis.
Pada waktu meliput konferensi, seperti terkisah dalam biografinya, Mochtar Lubis diberitahu desas-desus kartu “hospitality comitee” dari Panitia Ramah Tamah. Dengan kartu itu, si empunya bakal punya akses memasuki “rumah aman” (safe house). Rumah itu seperti halnya rumah bordil yang menyediakan perempuan untuk layanan prostitusi. Untuk membuktikannya, Mochtar bahkan melakukan investigasi langsung ke rumah-rumah itu, mewawancarai para perempuan yang menjadi penghuninya dan menyiarkan berita itu sebagai liputan eksklusif.
“Kemudian Mochtar menyatakan secara pribadi bahwa ia tak keberatan jika laki-laki dalam kedudukan berwenang berkunjung ke pelacur, tetapi yang ia tolak adalah pemerintah menyediakan perempuan bagi para utusan konferensi,” ungkap David T. Hill dalam Jurnalisme dan Politik di Indonesia:Biografi Kritis Mochtar Lubis (1922--2004).
Penyingkapan atas kegiatan gelap Panitia Ramah Tamah ini mencoreng wajah pemerintah. Itu suatu aib yang seolah membayangi citra gemilang pemerintah Indonesia selaku tuan rumah KAA. Kendati demikian, pemerintah Indonesia tidak meneruskan isu ini untuk diinvestigasi lebih lanjut.
Indikasi Prostitusi
Menjelang pelaksanaan KAA pada pertengahan April 1955, polisi Bandung merazia lebih dari 500 pekerja seks komersial (dan gelandangan). Pada awalnya, warga Bandung memuji langkah tersebut karena keberadaan mereka yang biasa mangkal di lorong dan pojok-pojok gelap berkurang drastis. Kelangkaan para pekerja seks komersial (PSK) itu menjadi indikasi awal mengenai prostitusi yang diorganisasi Panitia Ramah Tamah dalam perhelatan KAA.
Menurut pers oposisi, tulis Boyd Compton dalam surat-suratnya yang dibukukan Kemelut Demokrasi Liberal, suatu “Panitia Ramah Tamah” telah dibentuk untuk menyediakan para PSK bagi anggota delegasi, yang diseleksi dan disponsori oleh pemerintah. Sebuah koran (Indonesia Raya) memberikan dokumenter secara sangat terinci sehingga keberadaan panitia ini tidak dapat diragukan.
Baca juga:
“Dinas-dinas pemerintah dengan dongkol menyatakan tidak tahu menahu dengan panitia itu, tapi pernyataan-pernyataan mereka menyiratkan bahwa praktik itu rupanya dilakukan oleh dinas-dinas lain di tingkat-tingkat lain,” kata Compton.
Panitia konfrensi pun ikut menyanggah tudingan prostitusi terselubung ini. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang menjabat pula sebagai ketua panitia KAA membantah adanya komite yang mengurusi hal itu. Bung Karno pun tidak tahu pasti, kata Ali.
Namun, sejarawan John David Legge dalam Sukarno: Sebuah Biografi Politik mengatakan, “Pertemuan besar seperti ini tentu menyibukkan sejumlah 1.700 petugas keamanan dan juga panitia ‘istimewa’ yang khusus menyediakan wanita-wanita panggilan untuk melayani para tamu berbagai negara ini.”
Baca juga:
Indonesia Raya tidak berhenti menguak tabir gelap dalam perhelatan akbar KAA. Tahun berikutnya, koran ini menyinggung lagi persoalan Panitia Ramah Tamah KAA ketika mengangkat kasus Lie Hok Tay, seorang pegawai negeri keturunan Tionghoa. Lie Hok Tay, wakil direktur Percetakan Negara diberitakan terlibat dalam skandal keuangan dan disebut-sebut memfasilitasi pembentukan Panitia Ramah Tamah. Orang itu pula yang dikabarkan berperan sebagai muncikari bagi pejabat penting di Indonesia.
Indonesia Raya Dikecam
Menurut Rosihan Anwar, pers Indonesia yang meliput KAA terbagi atas dua kubu. Kubu yang pro Kabinet Ali dan kubu yang menentangnya sebagai oposisi. Indonesia Raya, Pedoman (afiliasi dengan PSI), dan Abadi (afiliasi dengan Masjumi) termasuk dalam golongan oposisi. Ketiga suratkabar ini berpaduan suara dalam menggoreng isu skandal “hospitality comitee”.
“Sudah barang tentu suratkabar yang propemerintah pada waktu itu seperti organ parpol PNI Suluh Indonesia, PKI Harian Rakyat, dan NU Duta Masyarakat tidak turut memberitakan tentang ‘ladies yang dikoordinir oleh seorang istri dokter yang tinggal di Bandung’,” kata Rosihan dalam Sejarah Kecil Indonesia: Petite Histoire Indonesia Jilid 2.
Baca juga:
Dari berbagai suratkabar yang gencar menurunkan berita miring dalam perhelatan KAA, Indonesia Raya memang paling menjadi perhatian publik. Njoto, pemimpin redaksi Harian Rakyat bahkan mengecam peliputan Indonesia Raya atas Panitia Ramah Tamah KAA (dan juga perkawinan Presiden Sukarno dengan Hartini). Pemberitaan “pers sayap kanan” itu, menurut Njoto telah mengecilkan prestasi pemerintah (dan mencemooh Presiden terkait Hartini).
Meski demikian, arus pemberitaan ini turut mempengaruhi reputasi Indonesia di luar negeri. Hasjim Ning, pengusaha nasional yang dekat dengan Presiden Sukarno salah satu yang kena getahnya. Dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang karya A.A Navis, Hasjim Ning mengonfirmasi kebenaran kartu “hospitality comitee”. Kartu itu dapat digunakan oleh para delegasi peserta konferensi untuk memilih PSK yang disediakan tanpa dipungut biaya.
Karena soal fasilitas "plus-plus" itu, Hasyim mengaku sempat terganggu. Jika dia pergi ke luar negeri, para mitra bisnisnya kadang "secara nakal" menanyakan masalah tersebut. Tak urung dia pun ditertawakan atas berita mengenai "keramahtamahan pemerintah Indonesia yang berlebihan itu".
"Rasanya, lama sekali gema itu hilang dari telingaku saban aku ke luar negeri,” kenang Hasjim Ning.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar