Drama Raja Pedir
Raja Pedir ini dibenci pamannya. Ditusuk dalam sebuah pertemuan, berhasil membalas dengan menusuk pamannya.
DI masa lalu, konflik keluarga terkait kekuasaan banyak sekali terjadi di kerajaan-kerajaan di Nusantara. Entah orangtua dengan anaknya, kakak dengan adiknya, atau anggota-anggota keluarga yang lain. Di Banten, misalnya, sekitar tahun 1681 perselisihan terjadi antara Sultan Ageng Tirtayasa dan anaknya, Sultan Haji. VOC yang –membantu salah satunya– mendapat keuntungan.
Konflik serupa juga terjadi di Pedir. Konfliknya bukan antara ayah dan anak, melainkan antara paman dan keponakan.
Pedir, yang kini menjadi Pidie, di tenggara Banda Aceh, merupakan kerajaan berdaulat yang diperhitungkan di Aceh dan Selat Malaka. Eksistensinya sudah lebih dulu ketimbang Kerajaan Aceh, telah dicatat oleh penjelajah Portugis Joao de Barros.
“Dari semua kerajaan ini [di pantai utara], Pedir adalah yang terbesar dan lebih terkenal di kawasan ini, dan bahkan sebelum Melaka ditempati. Ke tempat ini berdatangan segala sesuatu dari Barat dan Timur karena ia merupakan imperium dan pasar tempat semua jenis barang dijumpai, dan juga dikarenakan kota ini mengontrol selat yang menghubungkan Pulau Sumatera ini dengan daratan. Sementara Achem [Aceh], tetangganya yang sebelumnya hanya sebuah kerajaan kecil, sekarang muncul sebagai sebuah kerajaan yang terkuat di kawasan ini,” catat Barros sebagaimana dikutip Duarte Barbosa dalam The Book of Duarte Barbosa, Vol. 2.
Kekayaannya terutama berasal dari perdagangan lada. Namun hasil alam lainnya juga ikut menyumbang pemasukan bagi kerajaan.
“Produksi andalam Pidie ketika itu adalah lada, sutra putih, kapur barus, dan emas. Duarte Barbosa menegaskan bahwa Pidie ‘telah lama dikenal di India sebagai salah satu entrepot utama perdagangan lada,’” tulis Amirul Hadi dalam Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi.
Namun, Pedir akhirnya ditaklukkan Kesultanan Aceh, yang berpusat di Bandar Aceh (kini Banda Aceh), pada abad ke-16. Sejak itu, Pedir merupakan vassal Aceh.
“Status Pidie sebagai sebuah kerajaan berakhir ketika ia diserang dan ditaklukkan oleh Aceh pada tahun 1521. Kedekatan hubungan Pidie dengan Portugis disinyalir sebagai penyebab utama tindakan militer Aceh ini,” sambung Amirul Hadi.
Pada 1870, Pedir dengan Teoekoe Pakeh sebagai penguasanya mendapati sultan Aceh berseteru dengan pemerintah Hindia Belanda. Teoekoe Pakeh berpaling ke Belanda. Koran De Locomotief tanggal 13 Mei 1898 menyebut bahwa Teoekoe Pakeh membantu ekspedisi pertama militer Belanda ke Aceh dengan mengerahkan 4.000 orang dan 200 ekor kuda. Begitu juga dalam ekspedisi kedua.
Teoekoe Pakeh disebut-sebut juga telah bersepakat dengan Jenderal Mayor Van Swieten selaku wakil Belanda. Kesepakatan itu konon disertai sumpah di bawah kitab suci Alquran dan ganti rugi atas kampung-kampung bawahan Teoekoe Pakeh sebesar 50.000 gulden. Kesepakatan itu memungkinkan Belanda membangun benteng pertahanan dengan 150 penjaga di sekitar muara Sungai Sigli dan pos pemerintahan sipil di bawah Asisten Residen Scheemaker yang menetap di sana. Beras untuk orang Belanda juga disediakan oleh penguasa Pedir. Sebaliknya, perdagangan internasional Pedir dibuka lagi.
Praktis, gangguan Belanda di daerah itu hanyalah Teungku Cik di Tiro.
Pada April 1878, Teoekoe Pakeh Soleiman menggantikannya ayahnya, Teoekoe Pakeh, sebagai penguasa Pedir. Kala itu di Pedir terdapat pengungsi dari Aceh Besar dan penguasa Pedir ini menjadi kaya. Pemasukannya sekitar 16.000 gulden tiap tahun.
Kekayaan tersebut ikut memperburuk hubungan Teoekoe Pakeh Soleiman dengan saudara-saudaranya. Dia sebagai penguasa di Pedir rupanya tak disukai saudara-saudaranya. Pertempuran pun pecah di antara raja dan para pengikutnya dengan lawan politiknya. Bermodalkan 200 senapan yang dipinjami Belanda, Teoekoe Pakeh Soleiman berhasil menang.
Pada 1886, Teoekoe Pakeh Soleiman menghadap Jenderal Demmeni. Dia meminta izin mengadakan pemerintahan sendiri di Kampung Lang.
Kala itu masih banyak rakyat Pedir anti-Belanda meski penguasa mereka dekat dengan Belanda. Pihak Belanda lalu menutup pelabuhan Pedir ketika rakyat Pedir mengganggu Belanda.
Di internal Pedir, Teoekoe Pakeh Soleiman harus berhadapan dengan saudaranya, Teoekoe Moeda Hassan dari Kliboet. Kemelut internal Pedir berlanjut setelah Teoekoe Pakeh Soleiman meninggal pada Juli 1895. Penggantinya, Teoekoe Mohamad Daoed yang bertindak sebagai raja muda dan Teoekoe Hoesin di Gedong sebagai raja tua, tak juga berhasil meredam gejolak di tubuh kerajaan.
Belanda berharap, keduanya bisa membuat Pedir damai, setidaknya untuk Belanda. Namun itu tetap menjadi harapan belaka. Sebab, sebagaimana diberitakan Het Vaderland tanggal 28 Desember 1896, ada ketidakpuasan terhadap Teungkoe Pakeh Mohamad Daoed.
Pada Sabtu 14 November 1896, diadakan pertemuan. Pihak paman dan keponakan yang masing-masing punya pengikut itu bertemu untuk dialog mencari solusi dari situasi yang panas. Teungkoe Pakeh Mohamad Daoed hadir hanya bersama tiga pengikutnya. Ketika dirinya sedang barjabat tangan dengan pamannya, tiba-tiba datang tusukan ke tubuhnya. Tusukan itu datang dari anak pamannya.
“Apakah kamu mau membunuhku? tanya Pakeh Mohamad Daoed yang terluka.
“Ya” jawab pamannya.
Si penusuk segera dapat balasannya. Pengikut Pakeh Mohamad Daoed berhasil merobohkannnya dengan klewang. Pakeh Mohamad Daoed sendiri kemudian mengeluarkan belatinya dan menusuk pamannya.
Keributan dalam pertemuan itu menewaskan enam orang dan melakai 11 lainnya. Pakeh Mohamad Daoed sendiri berhasil pulang, namun meninggal dunia di rumahnya. Mereka yang terbunuh itu dimakamkan keesokan harinya, 15 November 1896.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar