Dipercaya Soemitro, Ditolak Soeharto
Saat Hoegeng dicalonkan jadi saksi dalam sebuah pernikahan yang melibatkan dua keluarga orang besar.
SUATU hari, mantan kapolri Jenderal (Purn.) Hoegeng Iman Santoso senang. Sahabatnya, Soemitro Djojohadikusumo (menteri di beberapa kabinet semasa Demokrasi Liberal), mengabarkan ingin menikahkan putranya, Prabowo Subianto. Pak Cum, sapaan Soemitro, juga mengutarakan keinginannya agar Hoegeng bersedia menjadi saksi dari pihaknya dalam pernikahan Prabowo dengan Siti Hediati Harijadi (Titiek) itu. Hoegeng langsung menyatakan kesediaannya.
Keseriusan Pak Cum dibuktikan beberapa waktu kemudian. Di suatu sore, dia dan istrinya mampir ke rumah Hoegeng. Penampilan amat rapi keduanya membuat Hoegeng menduga Pak Cum dan istri pasti habis menghadiri acara penting.
Benar, Pak Cum dan istri baru saja ke rumah Presiden Soeharto untuk merapatkan rencana pernikahan putra-putri mereka. Namun, Hoegeng justru mendapatkan keanehan dari wajah Pak Cum, yang sore itu tampak gundah. Aura wajahnya jauh dari cerah. Alih-alih menanyakannya, Hoegeng justru pura-pura tak tahu dan mempersilakan masuk kedua tamunya.
Di dalam, Pak Cum mengajak Hoegeng bicara empat mata. “Dengan suara kelu mantan menteri perdagangan itu bertutur. Ia mengatakan cita-cita lamanya berantakan sudah. Soeharto tak setuju kalau Hoegeng yang menjadi saksi dari keluarga Djojohadikusumo nanti,” tulis Aris Santoso dan kawan-kawan dalam Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa.
Hoegeng merupakan salah satu musuh terdepan Soeharto saat itu. Keterlibatannya dalam Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) hingga Petisi 50, yang tegas mengkritik pemerintah Orde Baru, membuat telinga Soeharto merah. “Pernyataan mereka pada bulan Mei 1980, menggugat penguasa Orde Baru yang dianggap telah menyalahgunakan angkatan bersenjata (ABRI) dengan mengatakan bahwa serangan terhadap dirinya berarti serangan terhadap Pancasila,” tulis Thohir Luth dalam M. Natsir, Dakwah, dan Pemikirannya.
Lewat Kopkamtib, Soeharto menyerang balik para penentangnya itu dengan mematikan secara perdata para anggota Petisi 50. Selain mencekal dan mengucilkan mereka, penguasa menutup akses politik dan ekonomi mereka.
Hoegeng jelas menjadi bagian dari pihak yang “dimatikan” itu. Keterlibatannya dalam dua kelompok kritis tersebut makin menambah kebencian Soeharto kepadanya. Soeharto membenci Hoegeng sejak sang kapolri itu membongkar kasus penyelundupan mobil mewah yang dilakukan pengusaha Roby Tjahjadi. Pengungkapan kasus yang terjadi akibat backing banyak aparat itu menyeret keluarga Soeharto.
Soeharto pun langsung mencopot Hoegeng dari jabatannya. Sebagaimana Hoegeng tak pernah mempercayai Soeharto lagi sejak itu, Soeharto pun tak pernah memberi hati kepada Hoegeng. Maka, ketika pernikahan Prabowo-Titiek sedang dipersiapkan, Soeharto langsung menolak begitu Pak Cum menyertakan nama Hoegeng untuk dijadikan salahsatu saksi dari pihaknya. Bahkan, tulis Aris, “Mantan Kapolri itu juga tak boleh hadir di pesta pernikahan Prabowo.”
Meski Pak Cum telah membujuk calon besannya dengan berbagai cara, Soeharto tetap pada pendiriannya. Pak Cum pun gundah. Tapi Hoegeng sangat memakluminya. “Tak apa,” ujar Hoegeng membesarkan hati Pak Cum. “Mereka kemudian berangkulan sembari berurai air mata.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar