Di Balik Pidato Presiden Sukarno
Bagaimana persaingan dua politisi sekitar Sukarno melibatkan pula perempuan-perempuan bule.
GANIS HARSONO terperangah dalam rasa kaget yang bukan alang kepalang. Di tengah riuh rendah massa yang memenuhi Istora Senayan siang itu, ia tak habis pikir, bagaimana bisa isi pidato Presiden Sukarno di depan peserta peringatan Konfrensi Asia Afrika ke-10 itu berbeda dengan isi copy naskah pidato yang tengah ia pegang.
“Kok bisa terjadi seperti ini?” pikir Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI tersebut.
Dalam perasaan tak menentu itu, Ganis lantas menengok ke arah kumpulan para wartawan. Benar saja perkiraannya, sambil memegang kertas copy naskah pidato tersebut, para kuli tinta itu terlihat bergumam dalam ketidakmengertian. Sebagian dari mereka, terlihat memandangnya, seolah meminta penjelasan tentang “kekacauan” ini.
“Yang anda berikan pada saya lain, dan saya sudah bagi-bagikan kepada semua anggota pers” tiba-tiba sekretarisnya yang bernama Alex Alatas (kelak menjadi Menteri Luar Negeri di era pemerintahan Presiden Soeharto) berbisik kepadanya.
“Ini copy asli naskah pidato Presiden,” jawab Ganis sambil membolak-balik kembali lembaran kertas yang di awal tulisannya tertera judul Keep the Bandung Spirit High. Lantas naskah karya siapa yang tengah dipidatokan oleh Bung Karno di atas podium tersebut?
**
MEMASUKI AWAL 1960-AN, kondisi kesehatan Presiden Sukarno mulai menurun. Situasi ini tentu saja berpengaruh kepada kemampuannya untuk melakukan aktifitas sehari-hari, termasuk ia tidak lagi sanggup menulis sendirian konsep pemikiran yang akan dipidatokan di depan khalayak mancanegara. Akhirnya diputuskan, setiap pidato Bung Karno akan ditulis oleh sebuah tim khusus.
Julius Pour dalam G30S, Fakta atau Rekayasa, menyebut setidaknya ada dua tim penulis bayangan di sekitar Presiden Sukarno yang secara ketat “bersaing”. Tim pertama adalah tim-nya Soebandrio, yang tak lain adalah Menteri Luar Negeri sekaligus pimpinan Badan Pusat Intelejen (BPI). Sedangkan tim kedua dipunyai Njoto, Menteri Negara dan juga Wakil Ketua II Central Commite Partai Komunis Indonesia (CC PKI).
Baca juga: Yang Muda Yang Berkuasa
Banyak kalangan (termasuk Ketua CC PKI, D.N. Aidit) yang melihat Njoto tak lebih sebagai seorang sukarnois dibanding seorang komunis. Dalam kenyataanya, Nyoto dan Aidit memang berbeda kiblat. Nyoto lebih cenderung mengikuti Partai Komunis Uni Sovyet, sedangkan Aidit lebih condong kepada Partai Komunis Tiongkok.
“Setelah memperhatikan pertentangan yang semakin memuncak di antara kedua tokoh komunis itu, Presiden Sukarno mulai mengambil pilihan dengan lebih memihak Nyoto,” ungkap Ganis Harsono dalam Cakrawala Politik Era Sukarno.
Uniknya, Soebandrio dan Nyoto memiliki asisten yang masing-masing merupakan perempuan bule. Jika Soebandrio memiliki tandem bernama Molly Warner dari Australia, maka Njoto terlihat sangat kompak bermitra dengan Carmel Brickman dari Inggris.
Berbeda dengan anggapan orang kebanyakan yang melihat kehadiran dua perempuan bule tersebut hanya sebagai penerjemah, sesungguhnya mereka berdua memiliki peran yang sangat strategis dalam menuangkan konsep-konsep yang bernas terkait kebijakan politik luar negeri yang dianut Bung Karno. Dunia internasional pastinya tak akan pernah melupakan pidato fenomenal Sukarno di depan Majelis Umum PBB pada 1960. Konon Molly memiliki peran signifikan dalam penyusunan pidato yang berjudul To Build the World Anew itu. Siapakah Molly sebenarnya?
Molly tak lain adalah istri Muhammad Bondan,seorang aktivis pergerakan yang “diculik mengungsi” oleh pemerintah Hindia Belanda ke Australia saat tentara Jepang menyerbu Indonesia pada 1942. Perempuan kelahiran Selandia Baru dan kemudian menetap di Sydney tersebut kerap menyebut keterkaitan hari kelahirannya dengan tenggelamnya kapal Titanic.
Baca juga: Juru Tulis Nasionalis
“Saya lahir persis tiga bulan sebelum tragedi tenggelamnya kapal pesiar Titanic di lautan dasar Atlantik,” ujarnya dalam In Love With a Nation, sebuah memoir yang ditulisnya langsung. Ya Molly memang lahir pada 9 Januari 1912.
Begitu pemerintahan Indonesia menyingkir ke Yogyakarta pada 1947, Bondan memboyong sang istri bulenya itu ke tanah air. Ia lantas direkrut oleh Sukarno-Hatta sebagai pejabat di Kementerian Perburuhan. Sedangkan Molly, bekerja di RRI Pemancar Yogyakarta yang khusus mengasuh program The Voice of Free Indonesia.
Sebagai penyiar RRI, Molly dikenal sebagai penyiar asing yang sangat rajin mengenalkan perjuangan negara yang membuatnya jatuh simpati itu kepada masyarakat internasional. Melihat bakat luar biasa di dalam diri Molly, Sukarno kemudian memindahkannya ke Kementerian Luar Negeri. Di sana, ia didapuk untuk mengajar bahasa Inggris kepada para diplomat Indonesia.
Sekitar awal 1960, Sukarno memutuskan Molly untuk menjadi pendamping Soebandrio dalam membuat naskah-naskah pidato yang khusus ditujukan bagi kepentingan luar negeri Indonesia.Sebagai perancang naskah-naskah pidato sang presiden, Molly sangat mengenal pemikiran-pemikiran dan kebiasaan-kebiasaan Sukarno saat berpidato.
“….Ia gemar melakukan pengulangan kata sebagai upaya untuk lebih menjelaskan apa yang dia maksud…”katanya.
Molly mengakui jika kemampuan pidato Sukarno sama bagusnya dengan kemampuan ia menulis teks pidato. Molly sendiri sebagai penerjemah sering kehabisan kosa-kata untuk menerjemahkan teks pidato BK lengkap dengan ekspresi dan bumbu-bumbunya.
“Terus terang, saya sering mengabaikan akurasi demi mencapai nuansa terjemahan yang pas. Tapi tentu saja saya lakukan dengan tidak mengubah substansi,” ujar Molly.
Nasib Carmel, tak jauh berbeda dengan Molly. Bertemu sebagai sesama aktivis kiri dengan Soewondo Budiardjo di Praha, Chekoslovakia pada 1950. Ia kemudian dinikahi oleh pegiat Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) tersebut, organisasi yang sangat dekat dengan PKI.
Lewat PKI inilah, Carmel kemudian terhubung dengan Njoto. Melihat kemampuan Carmel yang sangat baik dalam segi analisa politik dan pemikiran, tokoh PKI saingan Aidit itu (Aidit pernah menyindirnya sebagai kaum revisionis modern pro Moskwa), menunjuknya untuk menjadi tandem penulisan pidato-pidato Bung Karno.
Posisi Carmel tetap eksis sebagai penulis bayangan, hingga Insiden 1965 meletus. Ia kemudian ditangkap tentara dan kemudian ikut dibuang ke Pulau Buru bersama suaminya, sebelum Pemerintah Inggris (ia masih memegang paspor Inggris rupanya) turun tangan dan meminta Presiden Soeharto mendevortasi perempuan pakar ekonomi lulusan Universitas London itu ke negeri leluhurnya pada 1971.
Begitu sampai di Inggris, dua tahun kemudian Carmel Budiardjo mendirikan TAPOL, sebuah lembaga hak asasi manusia yang menyoroti kehidupanpara tahanan politik di Indonesia. “Saya tak bisa melupakan begitu saja nasib kawan-kawan yang masih berada di penjara Soeharto,”tulisnya dalam Surviving Indonesia's Gulag, sebuah buku yang mengisahkan pengalaman dia menjadi tahanan politik selama di Indonesia.
Baca juga: Kecil di Digul Muda di Buru
***
18 APRIL 1965. Teriakan “hidup Bung Karno!” yang bergemuruh di seantero Istora Senayan tiba-tiba menyeret benak Garnis Harsono ke kejadian 9 hari sebelumnya. Suatu siang, ketika akan menghadap Bung Karno guna membahas isi naskah pidato memperingati satu dasawarsa Konfrensi Asia Afrika, ia berpapasan dengan Njoto yang baru saja keluar dari ruang kerja BungKarno. Mereka lantas bertegur sapa dan saling bertukar senyum.
Senyum masih tertinggal di wajah Garnis, ketika di mulut ruang kerja Sukarno, diplomat kelahiran Jombang itu mendengar kata-kata keras: “Garnis! Saya sudah bosan dengan gaya pidato tulisan Soebandrio. Saya ingin sebuah pernyataan politik!. Oratory, I mind you, not a speech! Your minister has got into the habit of falling into philosopichal reveriesthese days (Pidato, bukan ceramah!, Menterimu itu akhir-akhir ini mulai keranjingan fantasi filsafat!
Tentu saja segera Garnis mengiyakan keinginan sang presiden itu. Seminggu kemudian, ia berdiskusi dengan Soebandrio dan Molly Bondan untuk merevisi isi pidato tersebut. Setelah diperbaiki, 17 April 1965, seorang anggota Resimen Tjakrabirawa lantas mengambil naskah pidato hasil revisi itu. Ganis sendiri langsung memperbanyaknya guna disebar ke para wartawan.
Tak dinyana olehnya, ternyata naskah pidato yang dibuat Pak Ban dan Molly tetap tak berkenan di hati Presiden Sukarno. Buktinya, dia lebih suka“meneriakan” hasil tulisan Njoto dan Carmel di Istora Senayan. Dan Garnis, hari itu hanya bisa terperangah dalam rasa kaget yang bukan alang kepalang.
“Dari kejadian-kejadian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Presiden Sukarno bersedia mengorbankan wakil perdana menteri pertama-nya demi naskah pidato yang kaku dan liar buatan Nyoto-Carmel Budiardjo itu,” tulis Ganis dalam catatan harian-nya bertanggal 24 April 1965.
Baca juga: Revolusi Amerika dalam Pidato Sukarno di KAA
Tambahkan komentar
Belum ada komentar