Di Balik Berita Purwodadi
Kisah para wartawan meliput kasus Purwodadi. Kucing-kucingan dengan tentara.
Maskun Iskandar, wartawan koran Indonesia Raya, masih ingat betul mimik wajah Usamah Said, wartawan Harian KAMI saat mengetik berita. Usamah, kata Maskun, “Terlihat sedang berpikir keras mencari istilah untuk suatu berita pembunuhan massal.” Maskun membatin pasti Usamah sedang menulis kasus besar. “Tetapi saya merasa tidak etis menanyakan berita apa,” kenang Maskun. Maskun dan Usamah sama-sama penghuni wisma Ikhwan yang menempati sebuah gedung bekas konsultan Republik Rakyat Tiongkok di jalan Jati Petamburan yang direbut oleh Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Dia kini jadi pengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo, Jakarta.
Pada 26 Februari 1969, Harian Kami menurunkan berita “Pembunuhan Bergelombang Dalam 3 Bulan di Purwodadi”. Maskun menduga berita itulah yang ditulis oleh Usamah. NamunGoenawan Mohamad punya cerita berbeda dari Maskun. Menurut wartawan senior yang pernah bekerja di Harian Kami itu tak ada nama Usamah Said dalam jajaran redaksi Harian Kami. “Kalau Zulharman Said memang ada. Tapi bukan dia yang menulis berita Purwodadi itu. Sayalah yang menulisnya,” kata Goenawan yang ditemui di Komunitas Salihara, Pejaten, beberapa waktu lalu.
Menurut Goenawan, pada Selasa, 25 Februari sore, Poncke datang sendirian ke redaksi Harian Kami di Jalan Kramat 8 No. 8. Goenawan, saat itu berusia 28 tahun, sedang berada di redaksi sore itu. Dia menerima Poncke yang memberi informasi adanya pembunuhan massal di Purwodadi. “Bikin petanya,” kata Goenawan Mohamad pada Poncke. Poncke pun membuat sket peta Purwodadi pada secarik kertas. “Saya minta Poncke untuk membuat peta Purwodadi karena saya sendiri tak tahu persis di mana letaknya,” kenang Goenawan.
Baca juga: Purwodadi: Skandal Pertama Orde Baru
Peta yang disketsa oleh Poncke itulah yang kemudian dimuat bersama berita “Pembunuhan Bergelombang Dalam 3 Bulan di Purwodadi” di Harian Kami edisi 26 Februari. Sebenarnya tak mudah bagi Poncke untuk memberikan informasi berharga itu kepada pers nasional. Apalagi dia telah berjanji kepada dua kawan Belandanya, untuk tak membocorkan terlebih dahulu berita ekslusif tersebut ke kalangan media di Jakarta. Sejak terbitnya berita di Harian Kami itu bola salju kasus Purwodadi mulai menggelinding dan kian membesar.
Maskun Iskandar pun mewawancarai Poncke Princen. Hasil wawancaranya itu menjadi bahan penulisan tajuk di Indonesia Raya. Ada tiga tajuk tentang kasus Purwodadi yang ditulis oleh Mochtar Lubis, mulai tanggal 5 sampai 7 Maret 1969. Mochtar mengkritik pemerintah yang tak mau terbuka dalam kasus pembunuhan massal di Purwodadi. “Tiada gunanya menyembunyikan hal-hal serupa ini ke bawah lemari kita karena dengan berbuat demikian persoalan-persoalannya tidak dapat diselesaikan dan diatasi dengan baik,” tulis Mochtar dalam tajuk 5 Maret 1969.
Pada tajuk 6 Maret, Mochtar juga mengecam pernyataan Pangdam Diponegoro Mayjen. Soerono yang membuat berita semakin simpang-siur dengan bantahan-bantahannya. Bahkan Mochtar tampak berang ketika ada tuduhan kalau Poncke seorang komunis. “Jangan Lemparkan Tuduhan Sembarangan,” demikian judul tajuknya tanggal 7 Maret 1969, menutup rangkaian tajuk tentang peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi.
Baca juga: Orde Baru Tutupi Skandal Purwodadi
Tak lama kemudian Maskun ditugaskan meliput ke Purwodadi. “Waktu itu Pak Atma yang memberi tugas liputan,” kata Maskun. Pak Atma yang dimaksudnya adalah Atmakusumah Astraatmadja, redaktur pelaksana koran Indonesia Raya, mantan ketua Dewan Pers periode 2000-2003 dan sampai kini masih aktif mengajar di Lembaga Pers Dr Soetomo, Jakarta.
Maskun berangkat ke Purwodadi lewat Semarang. Di Semarang dia singgah untuk mencari narasumber, mengumpulkan keterangan awal mengenai situasi Purwodadi sekaligus meminta izin dari Kodam IV/Diponegoro. Setelah pemberitaan awal di Harian Kami, Kodam IV/Diponegoro memberlakukan pengawasan ketat bagi para wartawan. Saat melapor ke Kodam, Maskun bertemu Dominggus, wartawan harian Kompas yang juga ditugasi ke Purwodadi.
Setelah izin diperoleh, dengan menumpang kereta api mereka berdua menuju Purwodadi. Maskun mengenang perjalanan itu sebagai perjalanan yang menegangkan. Kereta api yang biasanya riuh-rendah oleh suara penumpang, tampak diwarnai keheningan. Wajah-wajah penumpang terlihat muram. Dalam artikelnya untuk buku Mochtar Lubis: Wartawan Jihad, Maskun mencatat, “Saya merasa gamang dalam perjalanan ke Purwodadi. Kereta tersenggal-senggal merayapi rel sepanjang 62 km. Berdesah-desah ketika mendaki. Tiada teriakan pedagang asongan, tiada pengemis berkeliaran. Semua penumpang dicekam muram. Apalagi sewaktu gelap semakin pekat. Kami merasa seperti menghampiri maut.”
Maskun ingin tahu apa sebabnya, tapi dia tak berbahasa Jawa. “Waktu itu saya mau tanya kenapa mereka diam, tapi saya nggak bisa bahasa Jawa. Saya minta Dominggus bertanya, karena dia bisa bahasa Jawa,” katanya. Kepada Dominggus salah seorang penumpang mengaku kalau mereka khawatir terkena razia yang dilakukan Kodim 0717/Purwodadi. Setiap hari Kodim bersama dengan anggota Hanra (Pertahanan Rakyat) menyisir penumpang kereta api di stasiun. Cerita itu membuat Maskun dan Dominggus khawatir turut terjaring razia Kodim. Apalagi mereka berdua warga luar kota Purwodadi. Karena itulah Maskun bersepakat dengan Dominggus untuk turun di Stasiun Godong, perhentian pertama sebelum masuk ke Stasiun Purwodadi.
Perjalanan ke Purwodadi dilanjutkan dengan menumpang andong, langsung menuju pastoran Purwodadi. Menginap di sana. Keesokan harinya Maskun dan Dominggus jalan terpisah. “Dulu ada persaingan antar wartawan untuk mendapatkan berita-berita secara ekslusif,” kenang Maskun. Ketika meliput, Maskun diantar seorang sersan tentara. Sersan itu yang menemaninya mengunjungi empat kamp penahanan yang ada di Purwodadi. “Belakangan saya dengar kalau sersan itu mati ditembak entah oleh siapa. Saya merasa bersalah,” kata Maskun.
Maskun menemukan banyak kejanggalan di Purwodadi dan beberapa daerah di wilayah kabupaten Grobogan. Banyak perkampungan terlihat sepi, sebagian besar besar warga pria tak tampak. Maskun sempat bertanya kepada sekumpulan anak yang sedang bermain di halaman sebuah mesjid. Ketika salah satu anak ditanya kemana bapaknya, dia tampak menunduk, menahan nangis dan langsung berlari tanpa memberi jawaban.
Setelah kembali ke Jakarta, Maskun menulis laporan perjalanannya ke Purwodadi dalam tujuh serial yang dimuat bersambung selama seminggu penuh di koran Indonesia Raya, mulai tanggal 10 sampai 17 Maret 1969. Sementara itu Dominggus dari Kompas urung menurunkan hasil liputannya. “Mungkin karena kebijakan dari redaksi Kompas,” kata Maskun menduga. Dari beberapa arsip koran Kompas, memang ada pemberitaan kasus Purwodadi yang diperoleh dari keterangan resmi pemerintah dan Angkatan Darat dalam beberapa jumpa pers yang mereka selenggarakan.
Selain Maskun, wartawan lain yang turun liputan ke Purwodadi adalah Jopie Lasut dari Sinar Harapan dan Fikri Jufri dari Pedoman. Mereka nekat pergi ke Purwodadi tanpa izin Kodam Diponegoro. “Waktu itu kami menganggap omongan Pangdam Diponegoro di koran untuk membuktikan sendiri ke Purwodadi adalah izin,” kenang Jopie Lasut.
Sama seperti Maskun dan Dominggus, Jopie dan Fikri pun terhadang razia Kodim di Stasiun Purwodadi. Setengah bercanda Jopie memanas-manasi Fikri supaya loncat dari kereta sebelum tiba di stasiun. “Fik, berani gak luh loncat kayak aksi Al-Fatah?” kata Jopie. Al-Fatah yang dimaksud Jopie adalah front pembebasan Palestina pimpinan Yasser Arafat yang kala itu sedang gencar-gencarnya berjuang membebaskan Palestina.
Jopie dan Fikri berhasil lolos dari razia Kodim Purwodadi. Mereka berdua sempat liputan ke berbagai pelosok Kabupaten Grobogan, bahkan menyambangi lokasi kuburan massal yang di atasnya ditanami pohon pisang. Namun sial setelah beberapa hari berada di Purwodadi, mereka berdua tertangkap tangan oleh Kodim. “Ketika menumpang andong, dihadang mobil jeep tentara,” kenang Jopie. Mereka pun kemudian dipulangkan ke Jakarta.
Baca juga: Penumpasan PKI di Surabaya
Jopie menuliskan hasil liputannya secara berseri untuk Sinar Harapan mulai tanggal 14 sampai dengan 21 Maret 1969. “Gara-gara liputan itu saya dipanggil Jopie bersambung,” kata Jopie terkekeh. Sementara itu Fikri menulis untuk koran Pedoman dalam tiga serial artikel.
Berbeda dengan ketiga wartawan ibukota yang berhasil menuliskan liputannya di korannya masing-masing, Nono Anwar Makarim, wartawan harian KAMI yang juga pergi ke Purwodadi gagal melakukan liputan. Untuk menghindari pengawasan tentara, Nono menyamar jadi sais delman. Tapi penyamarannya terbongkar. “Saking bule, ya nyarunya gak efektiflah. Biasa, gelora anak muda beravontur,” kata Nono via pesan singkat. Dia pun dipulangkan paksa ke Jakarta. Nono menolak diwawancarai langsung.
Kasus Purwodadi tak pernah berakhir dengan jawaban pasti. Koran Sinar Harapan, setelah selama sepekan menyiarkan tulisan Jopie Lasut pun memutuskan untuk tunduk pada pemerintah dengan membatalkan terbitnya tulisan Jopie. Pada 22 Maret 1969, sebagai pengganti laporan dari Purwodadi, Sinar Harapan memuat pengumuman singkat: “Pemerintah berkesimpulan, keterangan Princen tentang “pembunuhan massal di Purwodadi” itu ada hubungannya dengan sisa-sisa PKI yang bermaksud mendiskreditkan Pemerintah. Dan kalau toh ada pembunuhan itu konsekuensi gerakan militer di daerah SOB (Darurat Perang-Red)”.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar