Dari Pengungsian ke Pengungsian
Setelah Bandung lautan api, Emma Poeradiredja mengungsi ke timur. Terus berjuang bersama pegawai Djawatan Kereta Api. Ditangkap di Yogyakarta.
MENYUSUL bumi hangus yang dilakukan Tentara Republik Indonesia (TRI) terhadap kota Bandung, gelombang pengungsi pun berbondong-bondong keluar dari kota berhawa sejuk itu sejak 24 Maret 1946. Emma Poeradiredja, pegawai Djawatan Kereta Api yang menjadi anggota Palang Merah Indonesia (PMI) setelah Perang Kemerdekaan pecah, di dalam gelombang pengungsian itu.
Begitulah keadaan masyarakat kota Bandung semenjak Perang Kemerdekaan. Kedatangan Inggris/Sekutu sebagai pemenang perang mengakibatkan Bandung secara politis terbagi dua. Bandung utara dikuasai pasukan Inggris dan Belanda. Bandung selatan dikuasai pemuda dan penduduk pro-republik yang mengungsi dari utara ke selatan.
Meski ada pembagian itu, kaum republiken tak menggubrisnya. Serangan gerilya ke Bandung utara dan penghadangan terus mereka lacarkan. Pertempuran paling banyak terjadi di front Viaduct, di mana pasukan pejuang dan TRI berjaga di selatan rel dan pasukan Gurkha berjaga di sisi sebaliknya.
Tak jauh dari sana, di Jalan Veteran (Bungsu) berdiri markas PMI. Di sanalah Emma, dr. Djundjunan Setiakusumah, dan anggota-anggota PMI lain bertugas. Selain mengurusi pejuang yang terluka, Emma juga ikut mengatur suplai makanan dan menjadikan rumahnya sebagai markas pemuda pejuang.
Baca juga: Kisah di Balik Bandung Lautan Api
Ketika Bandung menjadi lautan api, Emma ikut mengungsi. Dalam Saya Pilih Mengungsi karya Ratnayu Sitaresmi dan kawan-kawan, disebutkan mereka diperintahkan untuk mengungsi sejauh 11 km ke selatan Bandung. Emma memilih mengungsi di Ciamis.
Di Ciamis, Emma tinggal bersama orang tua dan dua anaknya yang sudah lebih dulu diungsikan, Saraswati dan Amarawati Poeradiredja. Tak lama di Ciamis, Emma bergerak ke Cisurupan, Garut, membawa dua anaknya.
Stasiun Cisurupan oleh Kepala Djawatan Kereta Api Republik Indonesia Ir. Djuanda Kartawidjaja dijadikan kantor untuk sementara menyusul didudukinya Bandung. Pegawai-pagawai kereta api di Bandung yang non-kooperatif dengan Belanda, berbondong-bondong mengungsi ke Cisurupan. Mereka mengadakan rapat konsolidasi dan menginventarisasi aset-aset perkeretaapian yang belum terdata.
“Bu Emma tidak mau bekerja untuk perusahaan kereta Belanda (Staatsspoorwegen) maunya ke (jawatan, red.) kereta api yang dikuasai Indonesia. Di sana ada rekan Bu Emma, seperti Effendi Saleh, Toha Sumanagara, dan Pupela,” kata Amarawati kepada Historia.
Amarawati ingat, saat berada di Cisurupan ia tinggal di bedeng-bedeng sekitar stasiun. Ketika Belanda melancarkan serangan, para pegawai kereta api pindah ke Yogyakarta. Amarawati yang kala itu masih berusia 6 tahun, tidak diajak karena terlalu berbahaya. Ia diungsikan ke Ciamis, sementara Emma dan Saraswati yang kala itu berusia sekira 10 tahun, ikut rombongan pegawai kereta api.
Baca juga: Perempuan Pertama di Parlemen Bandung
Dari Cisurupan, Emma singgah di Gombong pada Juni 1947. Pada Agustus 1947, Emma dan Saraswati tiba di Yogyakarta. Di kota gudeg, mereka menginap di rumah Ir. Djuanda yang istrinya, Julia Wargadibrata, masih berkerabat dengan Emma. Mereka kemudian tinggal di tempat Sentot Iskandardinata. Dari situ Emma kemudian pindah ke rumah Mochtar Kusumaatmadja.
Ketika tinggal di Yogyakarta, Emma tetap aktif berjuang bersama kaum republiken. Emma mengompori pegawai kereta api lain untuk menolak bekerja pada Belanda. Agitasinya itu berujung pada penangkapannya pada 10 Februari 1949. “Sudah sembunyi di kolong tempat tidur, tapi ditangkap. Lalu dibikin huisarrest (tahanan rumah, red. ) di Yogya,” kata Amarawati.
Pada 18 Februari, Emma dipindahkan ke Jakarta. Saraswati yang ikut bersamanya berusaha pulang ke Ciamis dengan bantuan rekan-rekan sesama pegawai kereta api. “Kakak saya terlunta-lunta, tidur di stasiun, kurang makan. Waktu keretanya mulai masuk Jawa Barat, dilempari batu,” sambungnya.
Baca juga: Kisah Warung Siluman
Saraswati akhirnya sampai rumah kakeknya dengan selamat, sementara Emma ditahan hingga Mei 1949. Emma kemudian kembali ke Bandung dan tinggal di Jalan Dago 133. Rumah tersebut milik adik Emma, Adil Poeradiredja, mantan perdana menteri Negara Pasundan yang mengundurkan diri pada 1948.
Emma kembali bekerja pada Djawatan Kereta Api yang bermarkas di Jalan Gereja No. 1 Bandung. Sebagai Direktur Kematian Warga Kereta Api, Emma mengurusi kesejahteraan buruh kereta api dan jaminan sosial janda buruh kereta api yang suaminya gugur masa perjuangan kemerdekaan. “Saya kalau pulang sekolah seringnya ke situ, biar bisa bareng ke rumah jam 3 sore,” kata Amarawati.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar