D.N. Aidit, Petinggi PKI yang Menutup Diri
Ketika pamor partai dan dirinya sedang naik, Aidit berusaha menutup rapat latar belakangnya. Enggan dikaitkan soal asal muasalnya dari keluarga Muslim yang taat.
D.N. Aidit sosok yang membosankan. Roman mukanya terlihat serius. Bicara hanya secukupnya. Bersenda gurau bukanlah kegemaran Aidit ketika kumpul bersama kawan-kawan. Disodorkan rokok pun menolak, karena dia memang bukan perokok.
Itulah kesan yang ditangkap Bambang Sindhu, jurnalis Majalah Minggu Pagi, ketika menuliskan sosok Aidit dalam rubrik khas “Apa dan Siapa”. Aidit tidak seperti politisi kebanyakan. Dia malas mengumbar soal siapa dirinya kepada publik.
“Aidit seorang yang tidak pernah bicara tentang dirinya, tidak pernah mau cerita dan omong-omong tentang ayahnya, ibunya, dan saudara-saudaranya. Tidak mau bicara mengenai keluarganya,” ulas Bambang Sindhu dalam Minggu Pagi, Edisi 2 Mei 1954.
Baca juga: Drama Penangkapan D.N. Aidit
Dalam Minggu Pagi, pribadi Aidit hanya dibentangkan sekadar saja. Lebih banyak mengenai aktivitasnya sebagai Sekjen dan Ketua Central Comite (CC) PKI. Bagaimana Aidit dan kawan-kawan golongan muda membangun lagi PKI setelah hancur usai Madiun Affair 1948.
Aidit disebut orang keturunan Belitung yang lahir di Medan. Ayahnya bekerja sebagai mantri kehutanan di Pulau Belitung yang kemudian menjadi anggota DPRD Bangka. Dicolek pula soal Aidit mengganti namanya dari yang semula hanya Aidit, menjadi Dipa Negara Aidit, kemudian Dipa Nusantara Aidit seperti umum dikenal. Namun, tidak diterangkan alasan pergantian nama tersebut.
Dalam jajaran CC PKI, Aidit merupakan tokoh paling muda setelah Njoto. Aidit bersama Lukman (Wakil Sekjen I) dan Njoto (Wakil Sekjen II) menggenggam kepemimpinan partai setelah Kongres V PKI dihelat pada 16—20 Maret 1954. Mereka berhasil menggeser tokoh-tokoh tua PKI yang berpengalaman seperti Tan Ling Djie dan Alimin. Setelahnya, PKI ditata kembali secara sistematis, mulai dari soal ideologi hingga kaderisasi.
Baca juga: Yang Muda Yang Berkuasa
Dalam tradisi partai komunis, usia Aidit, Lukman, dan Njoto masih terbilang muda untuk menduduki sekretariat CC. Aidit saat itu berusia 31 tahun, Lukman 34 tahun, dan Njoto 29 tahun. Dibandingkan usia pimpinan CC partai komunis di negara lain, Aidit cs. hanyalah separuhnya. Rata-rata pemimpin CC berusia 50 tahun ke atas.
Namun, PKI di bawah Aidit berkembang pesat sebagai partai populis yang diminati rakyat kecil kelas buruh dan tani. Terbukti pada Pemilu 1955, PKI mendulang suara pemilih sebesar 6.179.914 (16,36%). Dari torehan itu, PKI mendudukkan 39 wakilnya di parlemen. Ia menjadi salah satu partai pemenang setelah PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama (NU).
“Tapi, kebanyakan orang, juga orang-orang PKI sendiri banyak yang tidak tahu dari mana asalnya Aidit. Lebih-lebih Aidit sendiri. Orangnya termasuk orang pendiam,” sentil Minggu Pagi.
Baca juga: Gaya PKI Memikat Rakyat
Aidit boleh jadi menyembunyikan identitas aslinya. Dalam direktori profil Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981—1982, Aidit disebutkan bernama asli Achmad Aidit. Dia lahir pada 30 Juli 1923 sebagai seorang keturunan Melayu di sebuah kampung di Pagarlarang, Tanjung Pandan, Pulau Belitung. Nama Achmad diserap dari bahasa Arab yang biasa dipakai orang beragama Islam di Indonesia. Sementara itu, ayah Aidit bernama Abdullah Aidit, menurut penelusuran Tempo, 1-7 Oktober 2007, adalah tokoh pendidikan Islam di Belitung. Dia pendiri Nurul Islam, organisasi pendidikan Islam dekat kawasan pecinan di Tanjung Pandan.
Keterangan Aidit berasal dari keluarga Muslim diperkuat oleh tuturan salah satu adiknya, Sobron. Dalam Catatan Spiritual di Balik Sosok Sobron Aidit, Sobron menyangkal tuduhan yang dialamatkan pada abangnya itu sebagai sosok yang tak beragama atau ateis. Sobron mengungkapkan dirinya dibesarkan dalam keluarga beragama. Sebagaimana pemeluk Islam yang taat, Sobron dan saudara-saudaranya khatam mengaji Al-Quran. Mereka juga menjalankan shalat walau sesekali alpa. Begitupun dengan kewajiban berpuasa dan berfitrah.
“Kami tujuh bersaudara adalah penganut Islam yang soleh. Semua kami khatam atau tamat Al-Quran. Termasuk abang saya -- D.N. (Dipa Nusantara) Aidit -- dedengkot ketua PKI itu!” terang Sobron. “Bahwa nantinya ada perubahan, soal lain. Tetapi, kami bukan termasuk kategori tidak beragama apalagi anti-agama.” Sobron sendiri, kelak di masa tuanya menjadi seorang penganut Kristen Protestan.
Baca juga: Jenderal Nasution: PKI Bukan Musuh Kita Lagi
Kendati berasal dari keluarga Muslim di Belitung, Aidit justru kemudian setelah memimpin PKI berseberangan dengan Masyumi, partai Islam terbesar saat itu. Pada dekade 1950-an, pertentangan antara PKI dengan Masyumi sangat kuat di parlemen. Waktu Masyumi berkuasa di kabinet, orang-orang komunis pernah diciduk dalam operasi yang disebut “Razia Agustus” pada 1951. Sebaliknya, PKI juga gencar melontarkan kritik terhadap Masyumi.
“Kira-kira 2000 orang Komunis dan orang-orang progresif lainnya ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Tetapi atas desakan Rakyat, sesudah berbulan-bulan meringkuk di dalam penjara, semua dikeluarkan dengan tak seorang pun bisa dihadapkan ke muka pengadilan. Gagalnya Sukiman (Masyumi) dengan Razia Agustus-nya adalah menunjukkan bahwa gerakan revolusioner di Indonesia sudah bangun kembali dan mempunyai kekuatan,” kata Aidit dalam pidatonya Lahirnya PKI dan Perkembangannya ketika memperingati ulang tahun PKI ke-35 pada 23 Mei 1955.
Aidit sendiri kerap terlibat perdebatan sengit dengan tokoh-tokoh Masyumi seperti Mohammad Natsir, Sukiman, dan Kasman Singodimedjo. Itulah sebabnya, menyitir reportase Bambang Sindhu dalam Minggu Pagi, Aidit tidak suka bicara tentang diri dan keluarganya. Barangkali enggan dikaitkan dengan latar belakangnya dari keluarga Muslim yang taat.
Baca juga: Aidit dan Natsir Saling Sikat dalam Debat
Tambahkan komentar
Belum ada komentar