Cikal Bakal Batas Internasional Indonesia-Papua New Guinea
Australia dan Indonesia akhirnya berhasil membuat garis batas Papua New Guinea dan Irian Barat saat kedua wilayah itu masih berstatus koloni.
Pada Minggu pertama November 2021, pihak keamanan Papua New Guinea, melaporkan sekitar dua ratus orang Papua, korban konflik di Intan Jaya, melintasi perbatasan. Penduduk Papua melintasi batas negara Indonesia- Papua New Guinea untuk mengungsi karena konflik berkepanjangan. Tak jarang, perbatasan kedua wilayah itu menjadi persoalan. Lalu, bagaimana kedua wilayah itu dipisahkan dengan garis batas negara?
Perbatasan dua wilayah Indonesia-Papua New Guinea dirancang saat masih di bawah kekuasaan kolonial. Pada 1828, Belanda masuk ke pantai barat daya New Guinea dan memproklamasikan kedaulatan atas wilayah tersebut. Dua puluh tahun kemudian, pada 1848 pemerintah Hindia Belanda mengeklaim wilayah West New Guinea yang terletak di 141 derajat garis bujur. Pada 1884, Inggris Raya mendeklarasikan wilayahnya di Pantai Selatan New Guinea, dan wilayah ini dikenal dengan British New Guinea. Tahun yang sama Jerman mengibarkan bendera di pantai utara dan menamainya German New Guinea.
Pada 1906, Inggris menyerahkan wilayahnya kepada Australia, yang kemudian menamai bekas koloni itu dengan nama Papua –Papua New Guinea. Sejak itu, kekuatan Australia merangsek ke bagian koloni lain. Pada 1914, pasukan Australia menguasai German New Guinea. Lalu, Australia mendapatkan mandat otoritas wilayah itu dari Liga Bangsa-Bangsa (kini Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada 1920. Kedua wilayah itu kemudian dikelola terpisah oleh pemerintahan Australia, kemudian pada 1949 kedua wilayah disatukan dalam satu administrasi pemerintahan.
Baca juga: Ongkos Pembebasan Irian Barat
Australia membuka kembali soal batas internasional setelah wilayah itu mereda dari ketegangan perang di kawasan Pasifik, di antaranya pendudukan Jepang pada 1942–1945.
Menurut John C. Macartney, senior surveyor dari Port Moresby, Papua New Guinea, dan R.G. Matheson, dalam laporan Survey of International Border beetween West Irian and The Territory of Papua dan New Guinea, yang diterbitkan pada The Australian Surveyor, Desember 1968, perbatasan internasional dibicarakan intensif setelah perundingan sengketa wilayah di bagian barat, antara Belanda dan Indonesia pada 1962, menghasilkan kesepakatan New York Agreement: otoritas wilayah di bawah UNTEA dan administrasi pemerintahan dipegang pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan Act Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969. Namun, pada 1963, Indonesia mengeklaim wilayah itu bagian utuh dari Indonesia dan menamainya Irian Barat (West Irian).
Laporan Macartney itu dilengkapi laporan R.G. Matheson, suveryor general dari pemerintah Papua New Guinea. Keduanya terlibat langsung dalam pertemuan-pertemuaan antardelegasi Australia-Indonesia, dalam membahas penentuan garis batas internasional Papua New Guinea-Indonesia, yang laporannya diterbitkan dalam Australian Surveyor pada Desember 1964, berjudul Internasional Border Between West Irian and the Territories of Papua dan New Guinea, dan pada Juni 1970 berjudul Join Report of Australian and Indonesian Survey Authorites od Survey of the Border Between the Territories of Papua dan New Guinea and West Irian.
Pertemuan pertama Australia dan Indonesia digelar di Jakarta pada 31 Juli–4 Agustus 1964. Agenda pertama ini dirancang oleh kedua menteri luar negeri yang bertemu di Jakarta pada Juni 1964, membahas perbatasan internasional untuk kedua wilayah teritorial yang pemerintahannya dikuasai oleh Australia dan Indonesia.
Baca juga: Silang Pendapat tentang Irian Barat
Pertemuan pertama itu dihadiri oleh para ahli topografi. Delegasi Indonesia dipimpin Direktur Topografi Angkatan Darat Brigjen TNI Soerjosoemarno, dan delegasi Australia dipimpin B.P. Lambert, Direktur Pemetaan Nasional, serta dua ahli surveyor dari pemerintah Papua New Guinea, R.G. Matheson dan J.C. Macartney.
Dalam pertemuan itu, para delegasi menyetujui proposal demarkasi permanen batas internasional Australia dan Indonesia yang diajukan masing-masing negara, yang selanjutnya menjadi acuan dalam pelaksanaan survei. Beberapa keputusan dihasilkan dalam pertemuan itu.
Baca juga: Diplomasi Gelap Pembebasan Irian Barat
Keputusan paling penting adalah perjanjian deskripsi teknis batas meridian yang terletak pada 141 derajat bujur timur sebagai perbatasan antara pantai utara dan persimpangan utara dari meridian itu dengan Fly River, melewati bagian tengah muara Bensbach River, yang diadopsi bersama sebagai perbatasan permanen antara pantai selatan dan persimpangan selatan dari meridian ini dengan Fly River. Pertemuan itu juga menyepakati empat belas titik untuk dibuat tanda batas dari pantai ke pantai, dan dibangun monumen perbatasan di darat.
Dua tahun kemudian, Mei 1966, pertemuan soal batas internasional dilanjutkan di kota Canberra, Australia, yang menghasilkan kesepakatan dan rekomendasi pelakasanaan suvei meridian pada demarkasi perbatasan dan disetujuinya pembangunan tiap titik perbatasan di darat yang telah ditentukan dengan monumen permanen.
Untuk merealisasikannya, kedua negara melalukan ekspedisi gabungan, yang selama 1966, telah menyelesaikan enam penanda. Sisanya, sebanyak delapan penanda akan diselesaikan setelah pertemuan ketiga, yang berlangsung di Jakarta, pada Januari–Februari 1967, yang di antaranya menyepakati garis-garis batas meridian yang telah ditandai harus dilakukan foto udara untuk memastikan akurasinya, sekaligus memastikan dengan jelas penanda itu berada di titik lokasi awal yang disepakati.
Pertemuan ketiga ini telah menyepakati untuk menggelar pertemuan lagi untuk menetapkan laporan survei gabungan perbatasan internasional ini, setelah penyelesaian delapan tanda dalam ekspedisi lanjutan selama 1967.
Setelah pertemuan ketiga ini, situasi konflik kedua negara sempat memanas, dipengaruhi oleh situasi politik terkait sengketa wilayah Irian Barat antara Indonesia dan Belanda, di mana pemerintah Indonesia menjadi penyelenggara Pepera yang menjadi bagian kesepakatan New York Agreement.
Baca juga: Duri dalam Daging Bernama Irian Barat
Jadi, praktis 1967 hingga 1969, Indonesia berfokus pada perhelatan politik penentuan Irian Barat, yang hasilnya, telah dipastikan wilayah itu masuk ke Indonesia. Pemerintah Indonesia menerapkan sistem “musyawarah mufakat” atau perwakilan, yang telah ditentukan atau diseleksi wakil-wakil dari 800.000 penduduk Papua, sebagian besar 1.025 wakil dipilih untuk memilih ikut pemerintah Indonesia daripada pemerintahan sendiri. Hasil Pepera itu terus digugat oleh orang Papua karena pelaksanaannya tidak sesuai dengan New York Agreement, seperti prinsip “one man one vote”.
Setelah status wilayah Irian Barat diambil alih sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia, maka hasil laporan terakhir terkait kesepakatan-kesepakatan perbatasan internasional, wilayah Papua New Guinea dan Irian Barat oleh pemerintah Australia-Indonesia, ditetapkan bersama di Canberra, Australia, pada 12 Februari 1970.
Laporan akhir hasil kesepakatan-kesepakatan itu ditandatangani oleh masing-masing otoritas survei. Brigjen TNI Pranoto Asmori, Direktur Topografi Indonesia mewakili pihak Indonesia, sementara Australia diwakili oleh B.P. Lambert, Direktur Pemetaan Nasional. Disaksikan oleh Agus Jaman dan KBRI di Australia, dan A.J. Easment C.B.E dan William Granger, masing-masing dari departemen teritorial dan urusan eksternal Australia.
Baca juga: Suap di Balik Upaya Pembebasan Irian Barat
Kesepakatan hasil kerja tim gabungan batas internasional kedua negara ini telah menjadi cikal bakal sejarah batas internasional Papua New Guinea dengan Indonesia, meskipun akan mengalami ratifikasi dan perbaikan, misalnya, penentuan batas laut yang menghasilkan “Perjanjian 1971”.
Perjanjian itu pun masih menyisakan persoalan terkait garis batas darat, garis batas laut wilayah dan garis batas dasar laut di Selatan Papua, lahirlah perjanjian baru Australia dan Indonesia pada 12 Februari 1973.
Garis batas internasional Indonesia-Papua New Guinea kembali diratifikasi setelah Papua New Guinea merdeka pada 1975. Selain karena Papua New Guinea telah menjadi negara merdeka, soal lain yang memicu perundingan batas negara, terutama lintas batas negara, adalah saat ribuan warga Papua mengungsi ke Papua New Guinea selama kemelut konflik berlangsung pada 1980-an.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar