CIA dan Operasi Jakarta di Chile
Peristiwa 1965 di Indonesia menginspirasi seorang jenderal untuk merebut kekuasaan di Chile. Dia sebut kudetanya Operasi Jakarta.
Pada 11 September 1973 Jenderal Augusto Pinochet mengerahkan pasukan, tank, dan Angkatan Udara, menyerbu istana kepresidenan La Moneda untuk menggulingkan Presiden Chile Salvador Allende, seorang sosialis demokrat. Allende memutuskan bunuh diri menggunakan senapan AK-47 pemberian sahabatnya, pemimpin Kuba, Fidel Castro. Namun, banyak orang percaya, kalau dia ditembak mati.
Keluarga Allende menerima versi resmi bahwa Allende bunuh diri. Untuk kembali memastikan kematiannya, pada 2011 keluarga mengizinkan jenazah Allende digali untuk diselidiki oleh Pengadilan Chile dengan melibatkan para pakar internasional, termasuk ahli balistik. Dua bulan setelah penggalian, hasil penyelidikan diumumkan dan disimpulkan bahwa Allende bunuh diri.
Senator Isabel Allende, putri mendiang Allende, mengatakan keluarga menerima kabar itu dengan penuh kedamaian. “Kesimpulan laporan itu konsisten dengan apa yang sudah kami yakini. Ketika dihadapkan pada keadaan ekstrem, dia membuat keputusan untuk mengambil nyawanya sendiri, bukannya dihinakan,” katanya dikutip bbc.com, 19 Juli 2011.
Baca juga: CIA Incar Jenggot Castro
Jauh sebelum Allende berkuasa, Amerika Serikat sudah pernah mengalahkannya dalam pemilihan umum 1964. CIA menyalurkan dana sebesar $3 juta untuk memenangkan Eduardo Frei, seorang Demokrat Kristen, yang pro-Amerika Serikat. Frei memerintah selama enam tahun karena konstitusi membatasinya dua periode.
“Sekarang pertanyaannya sekali lagi adalah bagaimana menghentikan Allende?” tulis Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA.
Menurut Weiner, Henry Kissinger, penasihat Keamanan Nasional Amerika, menyetujui program politik dengan biaya $135.000 ditambah $165.000 untuk menyingkirkan Allende. CIA bekerja baik di dalam maupun luar negeri. CIA melancarkan propaganda dengan memasok bahan kepada wartawan-wartawan berpengaruh. Di Eropa, wakil-wakil senior Vatikan dan pemimpin Demokrat Kristen di Jerman Barat dan Italia bekerja atas permintaan CIA untuk menghentikan Allende. Di Chile, banyak poster dicetak, banyak berita bohong diterbitkan, banyak komentar redaksi diarahkan, kabar burung disebarluaskan, selebaran ditebarkan, dan pamflet dibagi-bagikan. Tujuannya untuk menakut-nakuti pemilih: kemenangan Allende akan membawa kehancuran bagi demokrasi Chile.
Upaya CIA itu gagal. Allende terpilih sebagai presiden pada Pemilu 4 September 1970. Namun, CIA terus bekerja untuk menggagalkan pelantikan Allende sebagai presiden. CIA membagi operasinya menjadi misi Track One meliputi peperangan politik, tekanan ekonomi, propaganda, dan permainan keras diplomasi; dan Track Two adalah kudeta militer.
Baca juga: John Mulholland, Pesulap Pertama CIA
Rencana CIA itu mendapatkan penentangan dari Edward M. Korry, Duta Besar Amerika untuk Cile. Dalam telegramnya kepada Kissinger, dia menyebut, “Saya sangat terkejut. Setiap usaha dari pihak kita untuk secara aktif mendorong kudeta bisa berakhir dengan kegagalan seperti kasus Teluk Babi (untuk menggulingkan Fidel Castro, red.).”
Kissinger naik pitam dan meminta Korry untuk berhenti ikut campur. Dia tetap memerintahkan mengambil solusi militer untuk menghentikan Allende. Namun, Kepala Stasiun CIA di Santiago, Henry Hecksher, meragukan kudeta akan berhasil meskipun ada dua jenderal yang ingin melakukannya, yaitu Jenderal Roberto Viaux dan Jenderal Camilo Valenzuela. Kedua jenderal itu memiliki rencana yang sama: menculik Panglima Angkatan Darat Chile, Jenderal Rene Schneider, menerbangkannya ke Argentina, membubarkan Kongres, dan mengambil alih kekuasaan atas nama Angkatan Bersenjata. CIA memberi mereka uang tunai $50.000, tiga buah senapan mitraliur ringan, dan satu tas gas air mata.
Pada 20 Oktober 1970, sekelompok orang menyerang Jenderal Schneider dalam perjalanan menuju kantornya. “Dia ditembak berulang kali dan meninggal dalam operasi pembedahan sesaat setelah Salvador Allende dikukuhkan Kongres sebagai presiden Chile,” tulis Weiner.
Gedung Putih marah besar atas kegagalan CIA menghentikan Allende. Presiden Richard Nixon mengancam akan memotong anggaran CIA dan meminta Richard Helms menyerahkan tampuk pimpinan CIA kepada deputinya, Jenderal Cushman. Namun, Helms lebih dulu membebaskan Cushman. “Konflik panjang ini berakhir setahun setelah Allende berkuasa,” tulis Weiner. Helms mempertahankan posisinya sebagai direktur CIA hingga 1973.
Baca juga: Ironi Operasi CIA di Indonesia
Upaya penggulingan Allende terus berjalan. CIA telah menghabiskan sebagian dari $10 juta yang disetujui Nixon untuk membuat kekacauan politik dan ekonomi di Chile. Kepala Stasiun CIA di Sandiago yang baru, Ray Warren, membangun jaringan orang-orang militer dan penyabot-penyabot politik yang berusaha mengubah arah militer Chile keluar dari dasar konstitusi.
Akhirnya, hampir tiga tahun setelah hari pemilihan Allende, seorang perwira muda CIA di Santiago, Jack Devine, mengirimkan telegram yang langsung dialamatkan kepada Kissinger yang baru saja menjadi menteri luar negeri. Pesan tersebut mengatakan bahwa Amerika dalam hitungan menit atau jam akan menerima permintaan bantuan dari “seorang perwira penting dari kelompok militer Chile yang sedang berencana menggulingkan Presiden Allende.”
Kudeta terjadi pada 11 September 1973. Kudeta itu berlangsung cepat dan mengerikan. “Untuk menghindari penangkapan dirinya di istana kepresidenan, Allende menembak dirinya sendiri dengan sebuah senapan otomatis, yang merupakan hadiah dari Fidel Castro,” tulis Weiner. “Maka kediktatoran militer di bawah kepemimpinan Jenderal Augusto Pinochet mengambil tampuk kekuasaan pada sore harinya, dan CIA dengan cepat merajut hubungan dengan junta baru itu.”
Operasi Jakarta
Menurut Arief Budiman dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005, apa yang terjadi di Chile tahun 1973 memiliki persamaan dengan yang terjadi di Indonesia pada 1965. Mula-mula ada presiden kiri (nasionalis dan sosialis) yang berkuasa (Sukarno dan Allende). Kemudian ada kudeta militer, dan kedua presiden disingkirkan. Bedanya, Sukarno dikucilkan (jadi tahanan kota kemudian tahanan rumah) hingga meninggal, sedangan Allende bunuh diri.
Setelah itu, lanjut Arief, ada penangkapan dan pembunuhan massal. Di Chile, lebih dari 3.000 orang (0,03 persen dari penduduk Chile yang berjumlah 10 juta) dibunuh dan puluhan ribu orang dipenjara dalam sebuah penindasan yang disebut Caravan of Death (Prosesi Kematian). Di Indonesia, sekitar setengah sampai satu juta orang dibunuh (sama dengan 0,3 persen sampai 0,6 persen dari 150 juta penduduk Indonesia). “Ini berarti, dalam persentase, yang terbunuh di Indonesia adalah sepuluh kali lipat dari yang mati di Chile,” tulis Arief.
Baca juga: Operasi Terakhir Petinggi CIA di Indonesia
Pinochet rupanya tahu apa yang terjadi di Indonesia pada 1965. Lalu melaksanakan skenario yang sama dengan tujuan yang sama, yakni menyapu bersih unsur politik kiri dari kehidupan politik negerinya. “Pinochet mengikuti tindakan seperti yang dilakukan Soeharto. Karenanya rencana kudeta terhadap Allende, dia sebut Operasi Jakarta. Dalam kedua peristiwa itu, keterlibatan Amerika melalui CIA amat besar,” tulis Arief.
Rezim Pinochet berkuasa selama 17 tahun (1973-1990). Rezim junta militernya berakhir dengan referendum pada 1988. Setelah tak lagi berkuasa, dia berhasil bertahan sebagai Panglima Angkatan Bersenjata hingga 1998. Setelah itu, dia menjadi senator hingga 2002.
Menurut Arief, Pinochet sempat ditahan di Inggris saat sedang berobat dengan tuduhan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan oleh pengadilan di Spanyol. Dia diadukan oleh warga Chile di sana yang menjadi korban kekejaman Pinochet saat berkuasa. Dia berhasil kembali ke Chile.
Baca juga: Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S
“Pinochet meninggal dunia pada Desember 2006 pada usia 91 tahun, ketika sedang diadili dengan tuduhan pembunuhan dan penggelapan uang negara sebesar $28 juta yang disimpan di rekening bank rahasia di luar negeri,” tulis Weiner.
Sementara itu, menurut Arief, Soeharto berkuasa jauh lebih lama (32 tahun). Dia tidak tersingkirkan hingga tahun 1998, saat militer, anggota parlemen, dan tokoh politik mencabut dukungannya setelah mendapat tekanan dari mahasiswa dan rakyat yang berdemonstrasi. Dia sempat akan diadili dengan tuduhan korupsi. Namun, pengadilannya tertunda karena tim dokter Soeharto menyebut dia masih sakit sehingga tidak bisa datang ke pengadilan.
Pengusutan kasus korupsi Soeharto dihentikan pada 2006 karena alasan kesehatannya memburuk. Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar