Bung Hatta di Jepang
Media massa Jepang menjuluki Hatta sebagai “Gandhi of Java”. Berkat itu, dia malah menjadi terkenal di kalangan masyarakat Jepang.
Penghujung Februari 1933. Mak Etek Ayub Rais, pengusaha asal Bukittinggi (Sumatera Barat) melawat ke Jepang. Perusahaan yang dia kelola bersama Djohan-Djohor bersaudara (Firma Djohan-Djohor) hendak melihat perkembangan industri Jepang yang kala itu tengah berkembang pesat, sekaligus membangun jaringan dagang dengan saudagar-saudagar di sana. Pengusaha Minang tersebut berencana memperluas jaringan impor mereka di Negeri Sakura.
Dalam melakukan perjalan bisnis ke Jepang tersebut, Ayub Rais tidak sendiri. Dia mengajak serta seorang penasihat dan seorang pemilik perusahaan asal Jepang di Hindia Belanda bernama Ando. Kawannya itu akan membantu Ayub Rais mengurusi berbagai masalah dagang selama berada di Jepang. Sementara penasihat yang mendampingi Ayub Rais adalah Mohammad Hatta.
“Aku diajaknya ikut sebagai penasihat. Aku berpikir-pikir apa yang akan kuperbuat. Apabila aku pergi aku akan meninggalkan Indonesia barang dua bulan,” kata Hatta seperti diceritakan dalam otobiografinya Memoir.
Baca juga: Ketika Hatta Merayakan Natal di Jerman
Diceritakan Arif Zulkifli dalam Hatta, Ayub Rais dan rombongan bertolak dari pelabuhan Tanjung Priok menggunakan kapal Jepang Djohar Maru. Namun kapal yang mereka tumpangi tidak langsung pergi ke tujuan. Terlebih dahulu kapal harus mengangkut batu besi di Semenanjung Malaya. Otomatis mereka harus tinggal sementara di Singapura, kira-kira selama lima hari.
Selama di Singapura itu, Hatta memperoleh informasi bahwa keberangkatannya ke Jepang telah diketahui banyak pihak, dan cukup menimbulkan kehebohan. Para wartawan Negeri Sakura yang mendengar kabar tersebut bahkan telah menyiarkannya di surat kabar mereka masing-masing. Dalam berbagai pemberitaan, media di Jepang memberi sebuah julukan kepada Hatta: “Gandhi of Java”.
Ramainya pemberitaan soal Hatta membuat kapal Djohar Maru yang dia tumpangi diserbu banyak wartawan. Mereka umumnya berasal dari surat kabar Jepang yang ada di Singapura. Tetapi tidak sedikit juga wartawan dari surat kabar Melayu dan Eropa yang ikut naik ke kapal. Kondisi tak terduga itupun sontak membuat Hatta kebingungan. Terlebih dia tidak mengatakan kepada siapapun soal perjalanannya itu.
Baca juga: Bung Hatta dan Minuman Keras
“Apakah Tuan Ando memberitahukan itu?” tanya Hatta.
Ando menampik. Dia meyakinkan Hatta bahwa dia tidak berhubungan dengan awak media manapun ketika menyiapkan perjalanan itu. Dia hanya menghubungi pihak Hotel Koshien, terletak di antara Kobe dan Osaka, untuk menyiapkan tempat menginap bagi rombongan Ayub Rais begitu tiba di Jepang.
“Mungkin wartawan Jepang yang ada di Jakarta,” kata Ando.
Di atas kapal, para wartawan mendesak Ando supaya mereka diberi kesempatan untuk wawancarai Hatta. Ando mengiyakan permintaan itu, tetapi meminta mereka menunggu sampai kapal tiba di Jepang. Wawancara dengan Hatta bakal dilakukan setelah mereka turun dan Hatta sudah mengizinkannya. Namun para wartawan kompak meminta agar wawancara dilakukan saat itu juga, mereka tidak mau kehilangan waktu.
Baca juga: Bung Hatta dan Koperasi
Melihat antusiasme para wartawan itu, Hatta akhirnya bersedia diwawancara di atas kapal. Dia lalu meminta mereka berkumpul di dekatnya. Setelah mengambil beberapa foto, sesi wawancara pun dimulai. Sebelum itu, Hatta meminta kepada para wartawan agar bertanya secara bergilir, atau seorang mewakili yang lain.
“Apa maksud kedatangan Anda ke Jepang?” tanya seorang wartawan.
“Aku datang ke Jepang sebagai advisur pamanku,” jawab Hatta.
“Bagaimana keadaan rakyat Indonesia sekarang?” tanya wartawan lain.
“Rakyat Indonesia sangat menderita karena krisis,” jawab Hatta.
“Bagaimana pendapat Anda tentang pergantian kabinet di Nederland? Dr. Colijn kembali menjadi Perdana Menteri,” tanya wartawan lagi.
“Pergantian kabinet adalah urusan orang Belanda sendiri. Dr. Colijn kepala Partai Anti Revolusioner. Sikap kabinetnya terhadap Indonesia mungkin lebih keras, tetapi mereka sendiri harus memikul konsekuensinya. Gerakan rakyat yang berhaluan non-kooperasi tidak memusingkan itu,” jawab Hatta.
Baca juga: Ketika Hatta Kehabisan Uang
Setelah pertanyaan yang bersifat politik itu, Hatta menyudahi wawancaranya. Namun tiba-tiba ada yang bertanya lagi, “apakah Anda akan bertemu juga dengan Pemerintah Jepang?”. Pertanyaan itu tidak dijawab oleh Hatta. Dia tahu bahwa itu merupakan pancingan untuknya. Pemerintah Jepang bisa saja sedang mengawasinya. Keberadaan Hatta sebagai tokoh pergerakan Indonesia di negerinya tahun itu, seperti dijelaskan Nino Oktorino dalam Dalam Cengkeraman Dai Nippon, bisa menjadi jalan membangun kerja sama.
“… aku harus berhati-hati selama aku di Jepang. Pemerintah kolonial di Jakarta tentu mengikuti benar gerak-gerikku di Jepang. Berhubung dengan pertanyaan wartawan Jepang di kapal, yang tidak aku jawab, tentu ada niat dari kalangan Pemerintah Jepang untuk mendekati aku. Cuma aku mau memperhatikan bagaimana caranya!” tulis Hatta.
Pemberitaan tentang Hatta oleh media Jepang, dengan julukannya “Gandhi of Java”, membuat dia mudah dikenali. Potret dirinya telah tersebar luas, dan orang-orang cepat mengenalinya. Di sebuah jalanan di Tokyo, Hatta pernah ditahan oleh seseorang yang bertanya kepadanya: “Bukankah tuan yang disebut-sebut oleh surat-surat kabar di sini Gandhi of Java?”. Hatta menjawab: “Bagaimana tuan mengenal wajahku?”.
Baca juga: Bung Hatta Skakmat Kawan yang Mengelabuinya
Orang Jepang itu lalu mengambil selembar surat kabar dari sakunya dan diperlihatkan kepada Hatta. Di sana terdapat sebaris artikel berbahasa Jepang, dengan gambar Hatta di dalamnya. Dia mengatakan bahwa hampir seluruh Jepang, sampai ke kota-kota kecil, sudah melihat wajah Hatta di dalam surat kabar. Siapa saja yang membacanya mungkin akan mudah mengenalinya.
Pernah juga dalam sebuah perjalanan dari Osaka menuju Tokyo, sebagaimana diceritakan dalam otobiografinya, Hatta bertemu sepasang pemuda Jepang. Mereka bertanya kepadanya, “Apakah Anda Gandhi of Java?”. Sambil tersenyum Hatta menjawab bahwa pers Jepanglah yang memberikannya julukan itu.
“Kami ini orang Indonesia. Oleh karena gerakan kami di Indonesia berdasarkan non-cooperation, hampir serupa dengan gerakan Gandhi di India, aku disebut orang di sini begitu,” terang Hatta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar