Bumi Manusia Dilarang Kejaksaan, Dikagumi Ibu Tien
Dilarang kejaksaan dengan alasan mengandung Marxisme-Leninisme, Bumi Manusia justru dikagumi istri kepala negara.
FILM Bumi Manusia yang ramai diperbincangkan sejak beberapa pekan terakhir, Kamis (15/8/19) ini mulai ditayangkan di bioskop. Film produksi Falcon Pictures itu diadaptasi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer, sastrawan dan mantan pengasuh rubrik “Lentera” di harian Bintang Timoer, dengan judul sama.
“Film ini bercerita tentang kata ‘modern’ pertamakali keluar di Hindia Belanda. Itu sangat relate dengan kaum milenial karena kata-kata ‘milenial’ sendiri baru keluar belakangan ini. Kegalauan Minke sama halnya dengan kegalauan anak-anak muda saat ini,” kata Hanung Bramantyo, sutradara film, kepada Historia di sela gala premier selebritas Bumi Manusia di Epicentrum, Kuningan, Jakarta, Senin (12/9/19) malam.
Baca juga: Bumi Manusia Rasa Milenial
Bumi Manusia merupakan satu dari empat novel tetralogi Buru milik Pram, sapaan akrab Pramoedya. Novel-novel itu ditulis Pram tak lama setelah ia dibebaskan dari Pulau Buru pada 1979.
Adalah Hasjim Rahman, mantan bos harian Bintang Timur, dan Joesoef Isak, mantan pemred Merdeka dan sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika, yang mengotaki penerbitan karya Pram itu. Tak lama setelah bebas dari Pulau Buru, juga pada 1979, Hasjim mengajak Joesoef bekerjasama dengan Pram untuk membuat penerbit. Joesoef sepakat. Penerbit Hasta Mitra pun berdiri di rumah Joesoef di Duren Tiga, tak jauh dari TMP Kalibata.
Hasjim dan Joesoef sepakat buku pertama yang akan diterbitkan Hasta Mitra adalah Bumi Manusia. Hasjim menangani pendanaannya. “Dia jual rumahnya di Talangbetutu untuk menerbitkan buku Bumi Manusia,” kata Asni Joesoef Isak, istri Joesoef, kepada Historia enam tahun silam.
Kesepakatan itu membuat Pram berkejaran dengan waktu. Setelah mengumpulkan seluruh catatan yang berhasil diselamatkannya dari Pulau Buru, dia langsung mengolahnya. Tiga bulan kemudian, naskah novel itu selesai. Joesoef mengambilalih untuk proses editing. Pada Oktober 1980, Bumi Manusia pun terbit.
Baca juga: Bumi Manusia dalam Film
Respon masyarakat terhadap Bumi Manusia amat baik. Dalam waktu singkat, novel itu mengalami tiga kali cetak ulang.
Namun, cap “mantan tapol” yang menempel pada orang-orang di balik terbitnya novel itu membuat pemerintahan Orde Baru yang fobia komunis menjadi lebih waspada. Organisasi-organisasi bentukan atau yang mendukung pemerintah pun mulai menggelar diskusi-diskusi yang mengecam karya tersebut dan menjadi pemberitaan media massa.
Akibatnya, setelah sekuel kedua Anak Semua Bangsa terbit pada awal 1981, Joesoef dan Hasjim rutin dipanggil ke Kejaksaan Agung (Kejakgung). Pada Mei tahun yang sama, Kejakgung melarang kedua novel tersebut dengan dalih mengandung ajaran Marxisme-Leninisme. Empat bulan kemudian, Joesoef kembali merasakan dinginnya dinding penjara selama enam bulan.
Namun, pemerintah seperti bermuka dua terkait pelarangan kedua novel itu. Di permukaan, pengawasan begitu ketat bahkan diikuti penangkapan terhadap siapapun yang kedapatan menyebarluaskan, sementara di dalam banyak aparat membiarkan peredaran novel yang mendapat banyak pujian dari masyarakat itu. Joesoef tahu betul itu. Saat diinterogasi aparat kejaksaan, si interogator diam-diam meminta satu kopi novel itu kepadanya.
Di level lebih tinggi, Wakil Presiden Adam Malik –rekan lama Joesoef– sangat mengapresiasi tinggi novel-novel Pram itu. Saking sukanya, Adam bahkan menganjurkan tiap anak Indonesia membacanya.
Adam juga memberikan satu kopi Bumi Manusia kepada Ibu Tien Soeharto. Menurut Adam kepada Joesoef kemudian, Ibu Tien sangat menyukainya. “Bagus sekali ceritanya,” kata Joesoef menirukan omongan Ibu Tien yang disampaikan Adam. “Dia sangat suka,” kata Joesoef, menirukan Adam, kepada Historia sekira setahun sebelum wafat.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar