Berebut Jadi Tuan Bek
Lelang lurah bukan barang baru. Praktik ini sudah dilakukan pada zaman Kompeni.
TERSIAR kabar ribuan orang ikut Seleksi Terbuka Lurah dan Camat –kerap disebut lelang jabatan– di Jakarta baru-baru ini. Gebrakan baru Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo ini jadi wujud nyata upaya menghindarkan pemilihan pejabat dari praktik kolusi dan politik uang. Namun, praktik semacam ini bukan hal baru.
Jauh sebelumnya, Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) dan pemerintah Hindia Belanda sudah melakukan seleksi langsung untuk memilih seorang wijkmeester, jabatan yang kurang lebih setara kepala kelurahan pada zamannya.
Ketika Jan Pieterszoon Coen membangun Stad Batavia, pemerintahannya terdiri dari para jaksa merangkap kepala kepolisian disebut Baljauw dan College van Schepenen, yang bertindak sebagai badan pengadilan. Sejak ditetapkan pada 18 Agustus 1620, kedua badan tersebut berwenang sebagai legislatif. Barulah pada 1655, setelah Batavia berkembang dan menarik banyak minat penduduk tinggal di sana, Coen menetapkan jabatan wijkmeester.
Wijkmeester –lidah Betawi menyebutnya Bekmeester, “Tuan Bek” atau “Bek” saja– adalah jabatan paling rendah dalam tata administrasi Inlandsch Beestur atau pemerintahan untuk pribumi. Tuan Bek bahkan berada di bawah seorang kapiten, yang dipilih VOC untuk mengepalai kelompok ras.
“Wijkmeester, yang dikenal oleh masyarakat Betawi dengan sebutan Tuan Bek, bertugas mengepalai sebuah wijk yang pada saat sekarang bisa diidentikkan dengan kelurahan,” tulis Siswantari dalam penelitiannya berjudul “Bekmeester di Betawi (1800-1900)”.
Seorang bek dipilih lewat seleksi. Cara ini berkembang terutama pada periode 1800-an sampai pemerintahan kolonial Belanda berakhir pada 1942. Para peminat dipersilakan mengambil rekes (surat lamaran) bersegel yang dikeluarkan residen, lantas mengikuti seleksi yang dilakukan pemerintah, biasanya diuji seorang commandant (kepala distrik). Yang terpilih biasanya tidak punya catatan kriminal, tahu seluk-beluk masyarakat, jago bela diri, serta menguasai bahasa Melayu dan Belanda.
Tiap kali ada seorang bek yang pensiun atau dicopot jabatannya, banyak orang berebut jadi pengganti. Jabatan bek untuk satu wijk bisa diperebutkan puluhan peminat.
“Orang jang sembahken soerat rekest aken melamar djabatan wijkmeester Molenvliet ada djadi tamba banjaknja sampe tiga poeloeh orang lebih,” tulis Pemberita Betawi, 18 Nopember 1901. Mereka juga punya nazar macam-macam bilamana jadi seorang bek. “… ada satoe jang berkaoel, djika melamarannja itoe keterima, ia maoe sembahken satoe boeroeng merpati jang amat elok merdoe soearanja.”
Seorang bek berkewajiban memberi layanan administrasi surat-menyurat kepada warga, misalnya surat pas perjalanan, izin menikah, kematian, dan izin potong hewan. Dia juga bertanggungjawab terhadap kebersihan dan keamanan lingkungan. Tugas yang tak kalah penting adalah memungut pajak. Biasanya para bek akan keliling kampung dan bikin woro-woro supaya masyarakat lekas bayar pajak.
“… kemaren sore wijkmeester slam Pintoe Besi telah soeroe orang bunjiken bende (gembreng) pada sepandjang kampoeng itoe, barang siapa jang tiada maoe bajar habis oeang padjeknja, maka ialah aken dilelang sekalian harta bendanja,” tulis Pemberita Betawi, 9 Oktober 1885.
Seorang bek tak mendapat gaji dari pemerintah. Tapi dia berhak mengantongi delapan persen dari seluruh pajak yang berhasil dipungutnya.
Keberhasilan seorang bek dalam menagih pajak merupakan salah satu penilaian keberhasilan pembinaan kampung. Kalau berhasil memungut pajak, besar kemungkinan jabatannya akan dipertahankan. Begitupun sebaliknya, kalau ketahuan menyelewengkan uang pajak, hilanglah jabatannya.
Jabatan wijkmeester dicabut setelah terbit Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 tahun 1947. Melalui peraturan tentang pengambil-alihan jabatan itu, urusan pemerintahan yang sebelumnya dikerjakan wijkmeester, kepala desa, asisten wedana, wedana, dan bupati di seluruh Indonesia diserahkan kepada walikota. Lambat-laun perannya digantikan lurah dan para perangkatnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar