Bercerai Demi Republik
Sebagai istri seorang raja, Ibu Depu bisa saja hidup tenang menikmati singgasana istana. Namun, besarnya cintanya pada republik membuatnya rela meninggalkan semuanya.
Idealisme merupakan hal yang tak bisa ditawar. Kendati harus kehilangan sesuatu yang dicintai atau bahkan kehilangan nyawa sekalipun, idealisme tetap harus dipegang teguh. Sikap itulah yang dipegang kuat-kuat oleh Andi Depu Maraqdia alias Ibu Depu alias Ibu Agung.
Sugiranna Andi Sura alias Andi Depu Maraqdia Balanipa adalah putri Raja Balanipa La’ju Kanna Idoro. Dia lahir di Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat pada 1908.
Ketika masih remaja, usia 15 tahun, Andi Depu dinikahkan dengan Andi Baso Pabiseang pada 1923. Aminah Hamzah dalam Biografi Pahlawan Hajjah Andi Depu Maraddia Balanipa menyebut Andi Baso Pabiseang adalah seorang bangsawan tinggi Mandar.
Di zaman pendudukan Jepang, Andi Baso menjadi birokrat penting di Balanipa. Dalam Politik Identitas Etnik: Sebuah Kajian Konstruktivis dalam Tradisi Interaksi Simbolik, Gustiana Kambo menyebut Andi Baso Pabiseang pada 1943 menjalankan tugas asisten residen yang ditinggalkan Belanda.
Sementara, Andi Depu aktif dalam organisasi kewanitaan. Setelah Indoneisa merdeka pun, Andi Depu terus bergiat. Sebagai putri raja, dia bisa hidup berkecukupan dan dihormati, bahkan tanpa harus bekerja keras apalagi berkorban. Namun, Andi Depu bukan tipikal yang begitu.
Kemerdekaan Indonesia bukan hanya masa baru bagi bangsa Indonesia, melainkan juga babak baru bagi rumah tangga Andi Depu dengan suaminya. Andi Depu menjadi pendukung keras Republik Indonesia yang baru merdeka. Sementara itu, suaminya yang birokrat tidak sepandangan dengannya. Suaminya lebih cenderung ke NICA (Nederlands Indis Civil Adminisrasion) Belanda.
Kala itu NICA, yang digunakan Belanda untuk mengonsolidasikan kekuasaan Kerajaan Belanda di Nusantara seperti sebelum 1942, bekerja dengan sangat gencar di luar Jawa. Termasuk di Sulawesi Barat.
Meski Belanda semakin menguat, Andi Depu tetap mendukung RI. Bendera yang berkibar di depan halaman Istana Raja Balanipa bukanlah bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), melainkan Sang Saka Merah-Putih. Tempat tinggal Andi Depu juga menjadi markas perjuangan pendukung RI di Balanipa.
Ketika pendukung RI ditangkapi di Sulawesi Barat pada Maret 1946, Andi Depu tetap mendukung Merah-Putih. Dia tak hanya akan kehilangan hidup mewahnya, tapi juga suaminya selama 23 tahun.
“Suaminya, Andi Baso Pabiseang, temyata tidak menyetujui langkah-langkah yang ditempuhnya,” catat Aminah Hamzah.
Kala itu Suami Andi Depu masih memangku jabatan Raja Balanipa. Dia menjalin kerjasama dengan NICA yang lebih mapan daripada RI.
Perbedaan sikap terhadap perubahan sejarah pasca-1945 itu membuat rumah tangga Andi Depu dengan Andi Baso Pabiseang goncang. Andi Depu dengan berani meninggalkan kenyamanannya untuk melawan NICA. Dia lalu memimpin KRIS MUDA.
“Ibu Depu memilih bercerai dari suaminya karena perjuangan. Suaminya raja Balanipa —mau bekerjasama dengan NICA— Ibu Depu meninggalkan istana dan kemewahan memilih masuk hutan memimpin dan melanjutkan perjuangan gerilya bersama pemuda-pemuda pejuang,” tulis Rachman Tamma dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan.
Andi Depu dan pengikutnya tidak sulit hidup di daerah pedalaman pada masa gerilya. Sebab, pendukung republik lebih banyak di pedalaman dibandingkan di dekat perkotaan. Dalam perlawanannya, pada 26 November 1946, Andi Depu tertangkap oleh tentara Belanda dan dipenjarakan di Penjara Layang Makassar. Dia kerap dipindahkan dari satu tempat tahanan ke tempat tahanan lain.
Ibu Depu dibebaskan pada akhir tahun 1949. Setelah bebas, dia mendukung pembubaran Negara Indonesia Timur (NIT) yang disponsori Belanda. Setelah tentara Belanda angkat kaki dan Republik Indonesia (RI) eksis, Ibu Depu tinggal di Makassar hingga tutup usia pada 18 Juni 1985. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Panaikang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar