Antara Padi Bulu, Cere, dan Horai
Jepang memperkenalkan padi horai dari Taiwan ke Indonesia untuk memasok pasukannya di medan perang.
PADI yang ditanam di Jawa sebelum perang secara kasar dikelompokkan menjadi dua jenis: pade cere (padi tak berambut) dan padi bulu (padi berambut). Orang Jawa lebih menghargai padi bulu ketimbang padi cere karena lebih enak dan dianggap bermutu lebih tinggi, sehingga harganya pun lebih mahal.
Ketika menduduki Indonesia, pemerintah militer Jepang mendorong petani agar menanam padi cere yang lebih produktif. Setiap hektarnya, padi cere bisa menghasilkan panen lebih tinggi karena tahan terhadap musim kering dan bisa tumbuh di tanah yang kurang subur.
“Apa yang penting bagi pemerintah Jepang bukanlah rasa yang enak atau mutu yang tinggi, melainkan memaksimalkan produksi secara keseluruhan,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol. Produksi bahan makannan, terutama padi, untuk memasok pasukan Jepang di medan perang mendapat prioritas.
Awalnya Jepang frustrasi dengan rendahnya produktivitas beras di Jawa. Mereka menganggap produktivitas bisa ditingkatkan dengan memilih bibit padi yang lebih cocok bagi Jawa. Selain menyarankan penggunaan bibit padi cere, Jepang memperkenalkan beberapa jenis padi baru yang cocok dengan kondisi ekologi Jawa. Serangkaian percobaan pun dilakukan di Bogor Noji Shinkenjo (Stasiun Percobaan Pertanian Bogor). “Salah satu bibit baru yang direkomendasikan oleh stasiun ini ialah beras horai dari Taiwan,” tulis Aiko Kurasawa.
Padi horai mula-mula berasal dari beras Jepang tapi lama-lama dicampur dengan beras lokal Taiwan. Jepang mengunggulkan padi horai karena “batang padi di Nippon lebih besar dan lebih banyak mengeluarkan padi daripada yang terdapat di daerah-daerah Selatan. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan di daerah-daerah Selatan meninggalkan batang padi di sawah dan membiarkannya hingga busuk guna memupuk tanah,” tulis harian Kita-Sumatora-Sinbun, 12 Juni 1944, yang terbit di Medan.
Menurut Shigeru Sato, “Japanization in Indonesia Re-Examined: The Problem of Self-Sufficiency in Clothing,” dalam Imperial Japan and National Identities in Asia 1895-1945 karya Li Narangoa dan Robert Cribb, padi horai termasuk varietas indica sehingga identik dengan padi cere. Masa pertumbuhannya pendek. Rata-rata varietas padi lokal membutuhkan 170 hari untuk matang, sedangkan padi Horai masak dalam 110 hari.
Ada banyak macam padi horai. Namun, tulis Pandji Poestaka, 15 September 1943, yang memberikan hasil lebih baik di Jawa hanya ada 1-2 jenis. Kemungkinan besar padi horai yang didatangkan ke Indonesia adalah jenis taichu dan kanan ni go, yang juga diperkenalkan di Malaysia.
Syutyokan (Residen) Cirebon, Ichibangase, yang pernah menjadi pejabat kolonial di Taiwan, paling bernafsu memperkenalkan bibit Taiwan ini dan membawa serta bibit bersamanya ke Indonesia. Wilayahnya ditunjuk untuk percobaan pertama budidaya padi horai –selain karesidenan Kedu. Bibitnya dibagikan cuma-cuma kepada para petani.
Pada mulanya, petani ragu untuk mengesampingkan padi bulu karena mutunya yang mereka banggakan. Namun pemerintah Jepang berusaha mempromosikan padi horai itu dengan memanfaatkan kebiasaan petani meminjam bibit dari para pialang padi dan orang lain sebelum masa tanam serta membayarnya kembali setelah panen.
“Dalam menggantikan para pialang padi tersebut,” tulis Aiko Kurasawa, “kantor desa didorong supaya meminjamkan padi kepada petani dan hanya jenis bibit baru (horai) yang dipasok.”
Secara bertahap petani mulai terbiasa menanam bibit baru melalui cara lunak semacam ini. “Wajib serah padi” kepada pemerintah Jepang juga membuat petani tak punya pilihan selain memilih padi produktivitas tinggi: horai dan cere. Alhasil, sejak adanya padi horai, produksi padi bulu berkurang lebih dari setengahnya.
Media memberitakan kesuksesan penanaman padi horai. Asia Raya, 3 Mei 1943, melaporkan, “penanaman padi horai yang kali pertama dilakukan beberapa bulan berselang dan dalam bulan Februari 1943 sudah dipetik hasilnya dengan memuaskan.” Upacara pemotongan padi horai di Palimanan, Cirebon, dihadiri Syutyokan Cirebon, Ichibangase. “Setelah diadakan perhitungan hasilnya sawah itu di luar dugaan, 1 ha menghasilkan 42 kuintal,” tulis Soeara Asia, 26 Mei 1944.
Meski penanaman padi horai dilakukan intensif, padi bulu tak sepenuhnya hilang karena para pejabat Jepang tetap lebih menyukai beras bermutu tinggi itu untuk kebutuhan mereka sendiri. Sedangkan padi horai diproduksi untuk kebutuhan militer Jepang di medan perang. “Akan tetapi, diragukan apakah mereka bisa memperoleh beras yang enak sebanyak yang mereka inginkan, karena banyak petani menyatakan bahwa mereka biasanya mengatur supaya beras yang bermutu rendah yang diserahkan kepada pemerintah, dan berusaha menyimpan yang bermutu tinggi untuk mereka sendiri, sejauh mereka mempunyai pilihan untuk itu,” tulis Aiko Kurasawa.
Sejak awal, para petani tak suka dengan padi horai. Mereka menanamnya karena dipaksa Jepang. Padi horai pun hanya bertahan selama pembawanya menduduki Indonesia. Sementara padi bulu dan padi cere sebagai padi lokal tetap menjadi andalan petani Indonesia sampai sekarang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar