Anak Pandu jadi Polisi
Sumpah pandu di masa muda terpatri dalam diri Soekanto. Jadi bekal ketika mengabdi sebagai polisi
SIANG bolong, 7 Juni 1908, tangisan bayi pecah. Kegembiraan menyelimuti pasangan Martomihardjo dan Kasmirah atas kelahiran putra pertama mereka setelah delapan tahun penantian.
Martomihardjo seorang pamongpraja dari Purwerejo, Jawa Tengah, yang saat itu menjabat asisten wedana di Jasinga, Bogor –terakhir sebagai wedana di Tangerang dan kadang-kadang asisten wedana di Bogor. Sementara Kasmirah, juga dari keluarga priyayi, asli Bogor.
Kendati punya rumah dinas, pasangan ini sering menginap dan tinggal di rumah Oma Ermeling, kakak dari kakek Kasmirah. Oma Ermeling adalah istri dari Mayor Jenderal Philip Johann Ermeling, seorang perwira zeni KNIL yang kemudian memimpin pertambangan timah De Biliton Maatschappij. Di rumah keluarga Ermeling pula Kasmirah melahirkan.
Pasangan Martomihardjo-Kasmirah memberi nama anak mereka: Said Soekanto. Kelak, setelah dewasa, sebagaimana kebiasaan masyarakat Jawa, Soekanto menambahkan “nama tua”: Tjokrodiatmodjo. Karena ayahnya punya gelar Raden Ngabehi, Soekanto meletakkan gelar Raden di depan namanya. Dia menyandang nama lengkap: Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo.
Menolak Nama Belanda
Berasal dari keluarga priayi, Soekanto bisa menikmati pendidikan Barat. Menjelang usia lima tahun, dia masuk Taman Kanak-Kanak (Froben School). Dua tahun kemudian mengenyam pendidikan di Europesche Lagere School (ELS) atau setara sekolah dasar di Tanggerang sebelum akhirnya pindah ke Bogor.
Ketika duduk di bangku ELS, Soekanto menolak diberi nama Belanda. Membubuhkan nama kecil berbau Belanda saat itu merupakan kebanggaan bagi sebagian kalangan bumiputra yang mendapat pendidikan dan pengasuhan orang-orang Belanda.
Menurut Deddy S. Komarudin dalam skripsinya di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian “Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo: Kepala Kepolisian Negara RI Pertama”, penolakan tersebut atas nasihat ayahnya.
Baca juga: Sebelum Jadi Kepala Polisi
Penolakan itu terulang kembali ketika Soekanto melanjutkan pendidikan ke Hoogere Burger School (HBS, setara sekolah menengah) di Bandung –kemudian pindah ke Koning Willem III School di Jakarta, yang lebih merupakan HBS lima tahun. Kali ini atas pilihannya sendiri. Saat itu, Soekanto telah aktif dalam Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), yang bernaung di bawah organisasi pemuda Jong Java. Soekanto bahkan pernah menjadi ketua KBI cabang Bogor.
“Aktivitasnya tidak sekadar ikut-ikutan, tapi dilakukan dengan penuh kesadaran sebagai bagian gerakan pemuda yang dijiwai oleh semangat kesadaran kebangsaan,” tutur Soekanto dalam wawancara yang dihimpun Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), 30 April 1982.
Baca juga: Misi Rahasia Soekanto Mencari Senjata
Lulus dari HBS tahun 1928, Soekanto melanjutkan ke Recht Hooge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta. Di RHS, Soekanto bersua dengan teman-teman sejawat yang kelak punya posisi penting setelah Indonesia merdeka seperti Sartono, Iwa Kusumasumantri, Teuku Mohammad Hasan, Iskaq Tjokrohadisurjo, Soepomo, dan Mohammad Roem.
Selain kuliah, Soekanto bergiat dalam Perguruan Rakyat yang dipelopori Ki Hadjar Dewantara. Lembaga ini menyelenggarakan kursus-kursus lanjutan di bidang sejarah, bahasa Indonesia, sosiologi, tata negara, tata buku, dan stenografi. Pelajaran diadakan sore hari di gedung Muhammadiyah Jalan Kramat No. 97 Jakarta.
Baru setahun kuliah, Soekanto mengundurkan diri dari RHS. Selain kurang punya minat dan kemampuan di bidang hukum, dia ingin bekerja untuk menggantikan tanggung jawab ayahnya yang pensiun sebagai wedana di Tangerang.
Jalan Polisi
Pada saat yang sama, pemerintah Hindia Belanda membuka kesempatan bagi anak-anak pejabat bumiputra terpilih untuk mendaftar di Sekolah Polisi (Opleiding School voor Het Personeel der Politie) di Sukabumi. Soekanto tertarik tapi bimbang. Menjadi polisi dan bekerja sebagai pegawai kolonial serasa bertentangan dalam dirinya. Setelah bertukar pikiran dengan sejawatnya di KBI dan RHS, dia pun mantap meniti masa depan sebagai polisi.
“Hal ini didasari atas pemikiran bahwa perjuangan dalam taktik cooperative dengan pemerintah kolonial tidak berarti ia harus menghentikan perjuangannya,” tulis Awaloedin Djamin dan Ambar Wulan dalam biografi Jenderal Polisi R.S Soekanto Tjokrodiatmodjo.
Soekanto mengajukan lamaran tapi ditolak. Dia malah ditawari mengikuti Kursus Agen Polisi (Hoofd Agent van Politie), juga di Sukabumi. Bisa jadi lantaran kursi terbatas. Yang tersedia Kursus Agen Polisi. Hal itu dialami Moehammad Jasin, yang kelak pada masa revolusi di Surabaya membentuk Polisi Istimewa. Jasin menerima tawaran itu. Sementara Soekanto menolak. Soekanto tahu betul Hoofd Agent diperuntukkan bagi orang berijazah sekolah rendah.
Baca juga: Kapolri Total Mendalami Spiritual
Pada 1930, Soekanto menerima telegram panggilan untuk masuk Sekolah Polisi. Maka, dimulailah pendidikan sebagai Aspiran Komisaris Polisi angkatan VIII. Dari semua materi, menembak adalah pelajaran yang paling dikuasainya.
“Dari arsip yang saya teliti, Soekanto mendapat nilai A untuk pelajaran menembak,” ujar Ambar Wulan, sejarawan yang menulis biografi Soekanto, kepada Historia.id.
Di tengah masa pendidikannya, Soekanto mengikat cinta dengan Hadidjah Lena Mokoginta, gadis Bolaang Mongondow, Manado. Lena Mokoginta adalah teman Soenarti, adik perempuan Soekanto. Karena dalam pendidikan kepolisian saat itu tak ada larangan menikah, Soekanto dan Lena Mokoginta melangsungkan pernikahan pada 21 April 1932 di sebuah bungalow yang disewa dari seorang Belanda di Selabintana, Sukabumi.
Tiga tahun digembleng di Sukabumi, Soekanto lulus dengan pangkat Aspiran Komisaris Polisi Klas III.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar