Aksi Dunia Untuk Indonesia Merdeka
Berbagai gerakan mendukung Indonesia merdeka pernah marak di mancanegara. Mereka menentang rekolonisasi tanah Hindia oleh Belanda.
MAKAM sederhana di bilangan Kalibata Tengah, Jakarta Selatan itu mulai dimakan waktu. Beberapa bagian marmernya mulai terkelupas. Tak ada seorang pun warga di sana yang megetahui jasad siapa yang ada di dalam makam usang tersebut, kecuali seorang sepuh bernama Mohammad Ali.
“Itu makam Charles Bidien, orang Aceh yang kerjaannya ngejual obat,” ujar kakek kelahiran Pasar Minggu 94 tahun lalu itu.
Sebelum meninggal pada akhir 1960-an, Bidien memang kerap datang ke rumah Ali yang merupakan tetangganya di Kalibata Tengah. Selain bercerita soal obat-obatan, kepada Ali Bidien juga sering bercerita tentang pengalaman hidupnya, termasuk saat dia menjadi seorang pelaut di Amerika Serikat (AS).
“Dia pernah bilang sama gua, sewaktu masih di Amerika dia bersama kawan-kawannya pernah nahan kapal-kapal Belanda yang akan mengirimkan senjata ke Indonesia. Bener atau enggaknya, gua kagak tau dah,” kata lelaki Betawi itu seraya tertawa.
Apa yang dikisahkan Bidien memang bukan isapan jempol semata. Pasca-Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, dukungan banyak mengalir dari mancanegara. AS adalah salah satu negara yang warganya banyak bersimpati kepada kemerdekaan Indonesia. Berbagai demonstrasi dan aksi boikot kapal Belanda kerap dilakukan untuk menegaskan rasa simpati tersebut.
“Bahkan aksi buruh pelayaran itu dipimpin oleh orang Indonesia sendiri seperti Charles Bidien, Addy Marien, dan Masry,” ungkap Sidik Kertapati dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945.
Boikot di AS
Niat Belanda untuk bercokol kembali di Indonesia mudah tercium oleh dunia. Kendati mereka harus memboncengi pasukan Sekutu saat kali pertama mendarat di Pelabuhan Tanjungpriok, tak ayal orang-orang mengetahui bahwa Hubertus Johannes van Mook dan kroni-kroninya memang tengah mencari kesempatan dalam kesempitan begitu Jepang kalah dari Sekutu.
Begitu pula di AS, ambisi Belanda tersebut langsung diketahui secara umum. Alih-alih mendukung, sebagian masyarakat AS justru bergerak menentang niat itu. Menurut Sidik Kertapati, gejolak dukungan masyarakat AS dimulai pada 3 Oktober 1945. Kala itu, bersama orang-orang Indonesia yang tinggal di AS, masyarakat San Francisco melakukan aksi demonstrasi menentang kembalinya Belanda di Indonesia. Mereka membuat barisan panjang sambil mengibarkan bendera merah putih di jalan-jalan dan membawa poster-poster dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia dalam bahasa Inggris,
Enambelas hari kemudian, sekira 200 buruh pelayaran Indonesia pimpinan Charles Bidien dengan didukung para buruh pelayaran AS menjalankan aksi pemogokan dan demonstrasi di New York. Aksi yang dilakukan selama berbulan-bulan itu berhasil memboikot 11 kapal Belanda (dengan cara mengikatnya di pelabuhan) yang akan mengirimkan alat-alat perang dan logistik buat serdadu ke Indonesia.
Berkat kerjasama antara kaum buruh pelayaran Indonesia dengan para buruh pelayaran AS yang tergabung dalam National Maritime Union of USA, semua alat perang yang dihibahkan pemerintah AS kepada militer Belanda terpaksa dibongkar kembali. Semua alat perang yang akan digunakan untuk membasmi para pejuang gerakan pembebasan tanah air di Indonesia itu pun akhirnya tak pernah sampai ke Indonesia.
Sementara itu, dukungan terhadap Indonesia merdeka juga muncul dari para selebritis Hollywood dan kaum intelektual AS. Sejarah mencatat, Paul Robeson (penyanyi kulit hitam kenamaan AS) menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam suatu aksi demonstrasi. Tak mau kalah oleh Robeson, pasangan penari terkenal AS Paul Draper dan Larry Adler menciptakan suatu jenis tarian yang dipersembahkan untuk perjuangan dan kemerdekaan rakyat Indonesia.
Ahli Matematika asal Massachuset’s University Prof. Dirk. J. Struik juga turut hanyut dalam aksi protes terhadap pemerintah Belanda. Salah satu tokoh ACII (Komite Amerika Serikat untuk Kemerdekaan Indonesia) itu bahkan harus kehilangan pekerjaannya gara-gara aksi dukungannya tersebut. Selain Prof. Dirk, ada juga para intelektual AS lain seperti Leo Gallagher yang aktif mendukung kemerdekaan Indonesia di Los Angeles.
Buruh Australia Bergerak
Aksi yang tak kalah keras terjadi juga di Australia. Di bawah koordinasi ASU (Australian Seamens Union) dan AWWU (Australian Waterside Workers Union), pada awal Oktober 1945 para buruh pelabuhan menjalankan aksi-aksi mendukung Indonesia merdeka. Semula aksi dijalankan dalam bentuk pemogokan-pemogan kecil. Namun lambat laun aksi-aksi kecil itu memicu konflik yang lebih besar. Dalam pernyataan sikapnya, para buruh pelabuhan Australia menuntut:
“Kapal-kapal Belanda harus segera menghentikan pengangkutan senjata dan amunisi yang digunakan untuk memerangi rakyat Indonesia. Bagi kami rakyat Indonesia adalah kawan rakyat Australia dalam usaha mengalahkan fasisme Jepang. Mereka berhak merdeka, mengenyam pelaksanaan Piagam Atlantik!”
Sementara itu, di Pelabuhan Sidney, sebuah kapal Belanda bernama Karsik yang bermuatan emas dan uang didemo awaknya sendiri. Hal yang sama terjadi pula di Brisbane ketika terjadi pemogokan massal yang melibatkan awak-awak kapal yang bekerja untuk tiga kapal Belanda yakni Kun Hwa, Jansens, dan Both. Di kota Brisbane sendiri terjadi aksi penolakan untuk mengangkut warga Belanda oleh para sopir taksi dan trem.
“Restoran-restoran Tionghoa di Brisbane memberi makan gratis kepada para pemogok dari kalangan buruh Indonesia,” ungkap Sidik.
Seiring maraknya aksi pendukungan, KIM (Komite Indonesia Merdeka) mulai didirikan di berbagai kota. Di Sidney, KIM mendapat dukungan luas dari eks tahanan Digul seperti Mohammad Senan, Soewirdjo, dan Soeparman. Aksi-aksi solidaritas terhadap Indonesia semakin keras dilakukan para buruh Indonesia dan Australia di Sydney ketika mereka mengetahui sebagian besar senjata dan alat-alat perang yang dikirim ke Indonesia dipusatkan di sana.
Baca juga: Dari Buruh Australia Untuk Indonesia Merdeka
Dukungan Buruh Mesir
Aksi solidaritas terhadap Indonesia merdeka bukan hanya terjadi di AS dan Australia yang sebagian besar dimotori kaum sayap kiri. Di Mesir, Ikhwanul Muslimin (organisasi sayap kanan) mengerahkan para pendukungnya untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Terutama para buruh yang aktif di pelabuhan Port Said dan wilayah Terusan Suez.
Alkisah, pada 9 Agustus 1947, tersiar kabar bahwa sebuah kapal Belanda bernama Volendam akan berlabuh di Port Said. Kapal tersebut mengangkut amunisi, 2.000 serdadu Belanda, dan perlengkapan perang yang akan digunakan di Indonesia. Begitu mendengar kabar tersebut, ribuan penduduk dan buruh setempat lantas berkumpul di mulut pelabuhan. Sebagian dari mereka dengan mempergunakan motor boat memboikot pemberian logistik dan air minum ke Volendam yang masih ada di tengah laut.
“Mereka yang terdiri dari buruh-buruh militan dari Ikhwanul Muslimin dengan membawa bendera merah putih, mengejar sekelompok motor boat yang memaksa untuk menyuplai makanan dan air minum ke kapal Belanda tersebut. Setelah dekat mereka menggiring kembali motor boat-motor boat itu kembali ke pelabuhan,” demikian laporan jurnalis Suratkabar Al Balagh edisi 10 Agustus 1947 yang dikutip M.Zein Hassan dalam Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri.
Para awak Volendam tentu saja tidak diam. Alih-alih menghindar, sebagian dari mereka bahkan sudah terlibat adu fisik dengan para demonstran ketika ada sebagian dari para simpatisan Indonesia tersebut berusaha merebut beberapa motor boat dan menguasai Volendam. Melihat situasi itu, salah satu kuasa kapal bernama Mr. Blackfield berteriak bahwa dia akan bertindak sendiri dengan mengerahkan 2.000 serdadu Belanda untuk menghadapi para penyerang.
Namun sebelum bentrok berdarah terjadi, Mahmud Sabit Bey (Wakil Kepala Polisi Terusan Suez) berhasil mengendalikan situasi. Setelah menyuruh para buruh untuk kembali ke daratan, dia berusaha untuk memberikan penjelasan sekaligus permohonan agar pihak Volendam tidak bersikeras untuk berlabuh di Port Said.
“Anda bayangkan tiap hari mereka disuguhi berita-berita tentang aksi tentara Belanda yang melakukan agresi militer terhadap saudara-saudara se-agama mereka di Indonesia. Mereka sedang marah,” ujar Sabit kepada Blackfield.
Setelah melakukan negoisasi alot, Volendam pun meninggalkan lepas pantai Port Said. Mereka baru mendapatkan persediaan makanan dan air ketika masuk ke Pelabuhan Ismailia yang sepenuhnya dikuasai Inggris. Namun begitu meninggalkan Ismailia, lagi-lagi kapal harus menghadapi teror dari para penduduk sepanjang Suez dan Port Said. Teror itu berupa acungan tangan yang mengangkat bendera merah putih dan gemuruh suara orang-orang Arab meneriakan kata “merdeka”.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar