Abdoel Moeis, Pembakar Semangat Rakyat Minang
Tidak dengan fisik, perlawanan Abdoel Moeis terhadap ketidakadilan di Ranah Minang dilakukan melalui cara membakar semangat rakyat
Peristiwa pemberontakan rakyat Toli-Toli, Sulawesi Tengah pada 1919 begitu menggemparkan. Rakyat menolak kerja rodi, yang berujung perlawanan fisik. Tercatat ada sejumlah pegawai bumiputra dan seorang controleur bernama De Kat Angelino, terbunuh. Rupanya keberanian rakyat itu muncul dari dorongan seorang anggota Sarekat Islam, yang juga dikenal sebagai sastrawan besar, Abdoel Moeis.
“Kata-katanya di Toli-Toli pada Vergadering tahun 1919 telah membakar anggota Sarekat Islam di sana, dan setelah kepulangan beliau ke Jawa meledaklah peristiwia demonstrasi dan pemogokan, berujung pada pergolakan besar-besaran, yang gemanya sampai menggoyang seluruh Nusantara saat itu,” tulis Aji Dedi Mulawarman dalam Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto.
Akibat berulah di Sulawesi dan Jawa, pemerintah Hindia Belanda pun mengasingkan Abdoel Moeis ke Sumatera pada 1923. Namun itu bisa jadi kesalahan besar pemerintah kolonialis. Sebab Abdoel Moeis kembali menunjukkan kepandaiannya menggolakkan semangat perjuangan rakyat di Ranah Minang.
Baca juga: Abdoel Moeis dan Hari Sastra Indonesia
Berdasar laporan Residen Sumatera Barat W.A.C. Whitlau kepada Gubernur Jenderal Fock tanggal 20 April 1923, Abdoel Moeis gelar Sutan Penghulu, mengadakan rapat SI di Padang pada 1 April 1923. Melalui selebaran undangan, dia meminta padoeka angkoe-angkoe mengirimkan perwakilannya untuk duduk bersama di dalam rapat. Kurang lebih begini isi undangannya:
“Karena kita mesti mengambil suara bersama buat membantah rupa-rupa hal yang menindas kita punya penghidupan, yang mengambil kita empunya hak dan memijak kita punya adat,” tulis Residen Whitlau seperti dikutip Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil: Petite Historie Indonesia Jilid I.
Rupanya rapat yang mendapat sambutan baik dari banyak kepala adat itu bukan yang pertama diadakan oleh Abdoel Moeis. Laporan Jaksa Agung Hindia Belanda D.G. Wolterbeek Muller, menyebut bahwa tanggal 31 Maret, Abdoel Moeis juga mengadakan pertemuan dengan kepada adat dari 18 tempat.
Abdoel Moeis mencoba menyelesaikan tiga permasalahan utama yang dihadapi rakyat Minang kala itu: pajak yang dikenakan kepada rumah gadang, penentuan batas-batas hutan yang tidak adil, dan pajak tanah yang begitu menyengsarakan kehidupan rakyat.
Baca juga: Minang Menolak Bayar Pajak
“Abdoel Moeis mengucapkan terima kasih atas kedatangan para penghulu itu karena mereka telah menunjukkan perhatian terhadap apa yang dirasakan oleh rakyat Minangkabau,” tulis Rosihan.
Kehadiran Abdoel Moeis di Sumatera membuat pemerintah Belanda khawatir. Mereka kembali teringat peristiwa pemberontakan rakyat Toli-Toli dan pemogokan buruh pegadaian di Jawa. Meski sempat terjadi kericuhan, kedua peristiwa itu ditangani dengan cepat, sehingga tidak menimbulkan permasalahan besar.
Namun aksi Abdoel Moeis di Minangkabau tidak bisa disamakan dengan dua peristiwa sebelumnya. Rakyat Minang diniliai terlalu sensitif menanggapi pergolakkan. Dikhawatirkan gejolak di tengah masyarakat akan membesar seperti Perang Padri dan Perang Belasting.
Kegiatan-kegiatan di Sumatera Barat itu membuat Abdoel Moeis masuk daftar hitam pemerintah Hindia Belanda. Dia dicap sebagai sosok yang berbahaya. Dijelaskan Maman Mahayana dalam Akar Melayu, pemerintah Hindia Belanda segera mengeluarkan passenstelsel, larangan memasuki suatu daerah, untuk Abdoel Moeis. Dia tidak diizinkan tinggal di Sumatera Barat. Pemerintah HIndia Belanda juga melarang Abdoel Moeis mengunjungi semua daerah di luar pulau Jawa dan Madura.
Baca juga: Bela Negara dari Belantara Minangkabau
“Setelah ada larangan itu, Abdoel Moeis kemudian tinggal sebagai petani di Garut tahun 1924,” ungkap Maman. “Dia mengawali penulisan novelnya awal tahun 1927 saat dia sudah meninggalkan kegiatan politiknya dalam Sarekat Islam selama lebih dari satu dekade.”
Setelah kegiatan politiknya di Sumatera Barat, Abdoel Moeis memutuskan lebih fokus mendalami kesusastraan. Pada 1928 dia berhasil menelurkan sebuah karya fenomenal Salah Asuhan. Novel itu diterbitkan oleh Balai Pustaka. Karyanya itu jugalah yang mendudukkan Abdoel Moeis ke dalam jajaran sastrawan nasional. Selain Salah Asuhan, dia juga menerbitkan banyak karya, di antaranya Pertemuan Jodoh, Surapati, Robert Anak Surapati, Kurnia, dan Hendak Berbakti. Di samping karya asli, Abdoel Moeis juga menerjemahkan novel-novel seperti Don Kisot de la Sancha, Sebatang Kara, dan Tom Sawyer.
Abdoel Moeis wafat pada 17 Juni 1959 di Bandung, Jawa Barat. Tahun itu juga dia dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Sukarno. Tercatat sebagai yang pertama menerima gelar tersebut. Hari kelahirannya, 3 Juli, juga diperingati sebagai Hari Sastra Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar