10 Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Museum Multatuli
MUSEUM Multatuli telah diresmikan oleh Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya dan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid pada Minggu, 11 Februari 2018 di Rangkasbitung, Lebak, Banten. Apa sajakah yang bisa membuat Anda memiliki alasan kuat untuk mengunjungi museum anti-kolonial pertama di Indonesia ini?
Bangunan Kuno
Museum Multatuli menempati gedung kuno yang dibangun pada 1923. Semula berfungsi sebagai kantor sekaligus kediaman wedana Lebak. Gedung berbentuk huruf “T” ini dilengkapi pendopo yang digunakan sebagai tempat pertemuan.
Perpaduan Masa Lalu dan Masa Kini
Bangunan kolonial dengan desain interior modern bergaya fraktal asimetris dengan pencahayaan ruang yang apik. Kisah sejarah ditampilkan melalui ilustrasi grafis kekinian untuk menarik minat generasi muda zaman kini. Warna sejarah yang identik hitam putih tidak selamanya mendominasi ruang pamer museum.
Tujuh Ruangan, Satu Benang Merah
Museum Multatuli memiliki tujuh ruang pamer. Setiap ruangan mewakili periode di dalam sejarah kolonialisme. Ruang pertama merangkap sebagai lobi dengan hiasan wajah Multatuli terbuat dari kepingan kaca serta kalimat kutipan Multatuli yang tenar: “Tugas Seorang Manusia Adalah Menjadi Manusia”. Ruang kedua mengisahkan masa awal kedatangan penjelajah Eropa ke Nusantara. Ketiga, tentang periode tanam paksa dengan fokus budidaya kopi. Keempat, ruang Multatuli dan pengaruhnya kepada para tokoh gerakan kemerdekaan. Kelima, menceritakan gerakan perlawanan rakyat Banten dan kemudian gerakan pembebasan Indonesia dari penjajah Belanda. Keenam, terdiri dari rangkaian kronologis peristiwa penting di Lebak dan era purbakala. Ketujuh, terdiri dari foto mereka yang pernah lahir, menetap serta terinspirasi dari Lebak.
Multimedia
Bentuk penyampaian informasi di Museum Multatuli juga sudah menggunakan multimedia, baik dalam bentuk podcast maupun video yang diputar pada layar monitor. Di ruang empat terdapat video singkat mengenai Multatuli yang menghadirkan wawancara Pramoedya Ananta Toer. Layar monitor juga tersedia di ruang enam dan tujuh, masing-masing mengisahkan tentang sejarah Lebak serta klip singkat tentang tokoh-tokoh yang lahir dan pernah singgah di Rangkasbitung. Di ruangan tujuh juga bisa didengar rekaman suara penyair Rendra yang membacakan sajak “Demi Orang-orang Rangkasbitung”.
Benda Bersejarah
Selain benda pamer duplikasi, Museum Multatuli juga memiliki artefak asli. Salah satunya ubin rumah asisten residen Lebak yang juga pernah ditempati Eduard Douwes Dekker alias Multatuli yang bertugas sejak 22 Januari sampai dengan April 1856. Ubin ini, bersama dengan satu ubin lain yang berwarna hitam, sempat berada di Belanda. Pada 1987 Arjan Onderdenwijngard, seorang jurufoto dan wartawan Belanda, datang ke Rangkasbitung untuk perjalanan jurnalistik menelusuri jejak Multatuli. Dia menemukan dua ubin itu tak jauh dari reruntuhan rumah Multatuli dan menyelamatkannya ke Belanda. Pada 2016, Multatuli Genootschap menyerahkan ubin ini kepada Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya dalam sebuah perhelatan di Amsterdam, Belanda. Sedangkan satu ubin berwarna hitam kini tersimpan di Multatuli Huis, Amsterdam. Selain ubin, ada koin kuno dari tahun 1857 dan alat giling kopi kuno.
Surat Bersejarah
Ada dua surat penting yang turut dipamerkan di Museum Multatuli, yakni surat Eduard Douwes Dekker untuk Raja Willem III dan surat Sukarno kepada sahabatnya Samuel Koperberg. Surat Eduard Douwes Dekker kepada Raja Belanda Willem III , memuat protes atas situasi di tanah jajahan yang pernah dialaminya serta pemberitahuan perihal naskah buku Max Havelaar yang akan terbit. Dalam surat ini, Douwes Dekker memohon agar Raja Willem III memberikan perhatian lebih kepada Hindia Belanda yang dikelola sembarangan dan banyak merugikan rakyat. Sedangkan surat Sukarno kepada Samuel Koperberg dikirim dari pembuangannya di Ende. Samuel Koperberg, sekretaris Java Instituut dan salah satu tokoh dalam kepengurusan Indische Sociaal-Democratishe Partij (ISDP, sempalan ISDV). Dalam surat bertitimangsa 27 September 1935 itu, Sukarno mengungkapkan kondisi di tempat pembuangannya: sepi, jalanan berdebu dan hawa panas. Ende sebuah kota tepi pantai yang terletak di Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemerintah kolonial mengasingkan Sukarno ke Ende selama empat tahun (1934-1938).
Kronologi Sejarah Lebak
Di ruang keenam, terdapat sederet foto yang meriwayatkan tonggak-tonggak sejarah di Kabupaten Lebak, mulai berdiri sampai dengan peristiwa penting lainnya di dalam sejarah. Di dalam deretan kronik ini terdapat pula beberapa fakta-fakta penting, seperti buruh Suriname yang ternyata juga ada dari Lebak.
Patung Multatuli, Saidjah dan Adinda
Di Museum Multatuli, Anda bisa melihat patung karya pematung terkemuka Dolorosa Sinaga. Patung tersebut adalah karya seni patung instalasi pertama di Indonesia, di mana pengunjung bisa berinteraksi di area berdirinya patung dan berselfie ria dengan karakter patung yang ada. Patung tersebut melambangkan bersatunya manusia-manusia yang mendambakan keadilan tiada peduli ras dan bangsanya. Juga menganjurkan semangat mencari ilmu pengetahuan lewat buku.
Pendopo yang Teduh
Di depan Museum Multatuli terdapat sebuah pendopo yang asri, ciri khas bangunan tradisional Jawa pada umumnya. Pendopo ini sama tuanya dengan bangunan rumah dan kantor wedana yang digunakan sebagai museum. Menurut Kepala Museum Multatuli Ubaidilah Muchtar, di pendopo inilah beragam kegiatan akan diselenggarakan.
Museum Anti-Kolonial Pertama di Indonesia
Museum Multatuli bukan semata museum tentang kisah pribadi Eduard Douwes Dekker. Museum ini adalah museum anti-kolonial pertama di Indonesia. Tema museum ini menurut Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud RI berperan mengisi kekosongan yang selama ini belum ada di museum-museum lainnya. Museum ini juga tempat belajar sejarah yang mengasyikan buat anak-anak.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar