Wushu Menembus Sentimen dan Stigma Orde Baru
Lekat dengan stigma miring Tionghoa, wushu berhasil melewatinya. Perkembangannya diretas justru oleh perwira intelijen di masa Orde Baru.
ANAK-anak berusia 6-12 tahun itu asyik bercanda di atas matras panjang warna hijau yang terhampar di lantai sebuah ruang mirip sanggar aerobik. Mereka tak hirau ada anak-anak lain yang serius berlatih main toya. Para murid Perguruan Poenix Wushu Kids, Puri Bugar Sport, Kembangan, Jakarta Barat itu sedang menunggu dimulainya latihan.
Sang jiaolian (pelatih) Fonny Kusumadewi, mantan atlet wushu tanah air, masih sibuk mempersiapkan semua hal untuk latihan. Supriyadi (suami Fonny) dan Thexon Lanata (putra bungsu Fonny) membantu dengan menertibkan anak-anak.
Para murid lalu melakukan pemanasan. Sejurus kemudian, Fonny membuka latihan. Para murid tak ada lagi yang bermain-main, semua serius mengikuti latihan.
Sejak beberapa tahun belakangan, wushu menemani bulutangkis dan angkat besi menjadi andalan Indonesia untuk meraih prestasi di bidang olahraga regional bahkan internasional. Sejumlah prestasi mentereng mulai Sea Games hingga Kejuaraan Wushu Internasional berhasil disabet Lindswell Kwok, Juwita Niza Wasni, Charles Sutanto dan sederet nama atlet wushu tanah air lainnya.
Namun, popularitas wushu yang belum setinggi bulutangkis membuatnya belum banyak diketahui masyarakat. Masyarakat umumnya menganggap wushu sama dengan kungfu yang populer lewat film-film laga Mandarin yang dibintangi Bruce Lee, Jet Li, Jackie Chen, Samo Hung, atau Donnie Yen.
Padahal, wushu dan kungfu berbeda. “Wushu itu artinya seni beladiri. Seni, jadi lebih identik dengan keindahan. Unsur beladirinya juga ada, tapi tidak sekental Kungfu. Wushu karena keindahan, jadi praktis harus lentur seperti nari, seperti senam. Kungfu gerakan-gerakannya identik memang untuk pertarungan, sementara Wushu lebih kepada seni dan murni olahraga,” terang Fonny, anggota tim wushu Indonesia di SEA Games 1993, kepada Historia.
Seni beladiri asal Tiongkok itu sejatinya sudah ada sejak lama di Nusantara dan terus bertahan semasa kolonial Belanda. Ia mulai menyebar setelah Louw Djing Tie, seorang lulusan Shaolin, datang ke Jawa pada 1900 dan mendirikan Perguruan Garuda Mas Shaolin di Jawa Tengah.
Namun Indonesia baru memiliki induk organisasi wushu pada 1992. “Olahraga beladiri ini sudah ada ratusan tahun di negeri kita. Padahal potensi Wushu di Indonesia luar biasa. Sentimen negatif terhadap segala hal yang berbau Tionghoa membuat potensi itu meredup sangat lama,” ungkap Mayjen TNI (Purn) I Gusti Kompyang (IGK) Manila dalam biografi yang ditulis Hardy Hermawan dan Edy Budiyarso, Panglima Gajah, Manajer Juara.
Stigma ekslusif dan sentimen negatif terhadap Tionghoa, yang terus disuarakan Orde Baru usai Tragedi 1965, membuat wushu hanya populer di kalangan masyarakat keturunan Tionghoa. Kondisi itu membuat Manila jungkir-balik saat ditugasi membina wushu sampai akhirnya bisa berkembang seperti sekarang.
Upaya Manila itu bermula dari keresahan Ketua Umum KONI Surono Reksodimedjo akibat hasil keikutsertaan Indonesia di SEA Games Manila 1991. Meski jadi juara umum, perolehan medali emas Indonesia (92 emas) hanya selisih satu dari tuan rumah (91). Setelah dievaluasi, prestasi Filipina itu ternyata disumbang dari cabang wushu. Filipina menggondol 10 dari 20 emas yang diperebutkan.
Surono lalu memerintahkan Manila, yang menjabat Deputy Chief de Mission Kontingen Indonesia di SEA Games 1991, untuk memulai pembinaan wushu di tanah air. Karena target jangka pendeknya untuk SEA Games 1993 di Singapura, Manila bergerak cepat. Dia memulai langkahnya dengan mengumpulkan segala informasi tentang wushu dari komunitas-komunitas Tionghoa, memanfaatkan jaringan-jaringan intelijennya.
“Ini bukan pekerjaan mudah. Cerita Wushu di Indonesia adalah cerita tentang represi politik. Pernah distigma sebagai olahraga eksklusif yang dihubungkan dengan identitas kesukuan, kultural, bahkan magis,” ungkap Manila.
Awalnya, banyak pihak di kalangan Tionghoa curiga ketika Manila mencaritahu tentang wushu. Selain kuatnya represi penguasa yang berangkat dari sentimen negatif terhadap Tionghoa, Manila seorang militer aktif berpangkat kolonel dari satuan Corps Polisi Militer (CPM).
Militer, terutama Angkatan Darat, merupakan pilar utama pemerintah Orde Baru. Di masa itu, perkumpulan/organisasi yang ada wajib mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri jika tak ingin dicurigai melakukan kegiatan berbau komunis. Untuk Tionghoa, pemerintah membatasi jumlah kegiatan yang diperbolehkan dan acap mempersulit mereka dalam mengurus izin apapun. Akibatnya, banyak masyarakat Tionghoa melakukan kegiatan secara sembunyi-sembunyi.
Menghadapi problem tekanan yang dihadapi masyarakat Tionghoa dan menghambat langkahnya, Manila ‘curhat’ ke Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Laksamana TNI Sudomo. Manila bersyukur lantaran Sudomo juga paham. “Tekanan mulai mengendur secara bertahap,” cetus Manila lagi. Koordinasi dengan segenap aparat terkait, mulai dari Mabes ABRI hingga ke tingkat Kodim dilakukan. Perlahan, Manila juga mulai bisa membina hubungan dengan tokoh-tokoh Tionghoa untuk memuluskan upayanya mengembangkan Wushu.
Pintu terbuka lebar bagi Manila setelah dia bertemu penggiat Taichi, Maditeransyah Masnadi. Keduanya lalu bergerilya ke sejumlah perkumpulan beladiri Tionghoa di Jakarta, se-Pulau Jawa, Sumatera Utara, hingga Sulawesi Utara.
Keberhasilan Manila mengumpulkan sejumlah praktisi-tokoh Wushu dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya dan Medan mendorongnya membentuk Pengurus Besar Wushu Indonesia pada 10 November 1992, sekaligus diresmikan KONI Pusat. Manila dipercaya duduk sebagai ketua umumnya dan Masnadi sebagai sekretaris jenderal-nya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar