Tur Catur Max Euwe ke Indonesia
Juara catur asal Belanda ini kalah dalam pertandingan simultan di Magelang karena kelelahan. Ditahan imbang oleh pecatur Batak.
Mantan atlet catur Indonesia, Dadang Subur (Dewa_Kipas) mengalahkan master catur internasional Levy Rozman (Gotham Chess) dalam pertandingan catur online di chess.com. Namun, Dadang dituduh curang sehingga akunnya, Dewa_Kipas di-banned. Masalah ini pun menjadi perbincangan hangat di sosial media. Warganet Indonesia tak terima dan mendukung Pak Dadang.
Dalam sejarah pada masa kolonial, juara catur asal Belanda, Dr. Max Euwe, pernah mengadakan tur di Hindia Belanda. Dalam Max Euwe: The Biography, Alexandr Munninghoff menyebut tur itu mencakup sekitar 30 pertandingan simultan dan ceramah dalam enam minggu di Jawa dan Sumatra.
Salah satu pertandingan simultan di Jawa diadakan di Magelang. Dua pemain yang ikut dalam pertandingan simultan melawan Max Euwe adalah Sudiro dan Ratib, murid Sekolah Guru Tinggi (Hogere Kweekschool).
Sudiro tertarik pada catur sejak duduk di sekolah dasar HIS Netral (Neutrale Hollands Inlandsche School). Dia belajar pada L.G. Eggink, kepala sekolah yang suka catur dan menjabat hopdaktur (ketua dewan redaksi) majalah catur NISB (Nederlands Indische Schaak Bond).
“Dari beliau itulah penulis belajar bermain catur,” kata Sudiro dalam Pelangi Kehidupan.
Sebagai murid yang berbakat, Sudiro sering diajak Eggink pergi tur ke Magelang, Solo, Salatiga, Semarang, dan kota-kota lain. Di sana, Eggink bermain catur secara simultan lawan 20 sampai 30 pemain catur.
Baca juga: Pangeran Diponegoro Suka Main Catur
Pada 1925, Sudiro melanjutkan pendidikan ke Sekolah Guru. Di kelas 2, dia terpilih sebagai ketua klub catur sekolahnya. Klub catur mengadakan pertadingan catur setidaknya sekali dalam tiga bulan.
“Untuk menguji kemampuan para anggotanya, klub catur yang dipimpinnya sering mengadakan pertandingan persahabatan dengan klub catur lain, kadang-kadang bahkan klub catur di luar kota Yogyakarta,” tulis Soebagijo I.N. dalam Sudiro Pejuang Tanpa Henti.
Sudiro kemudian terpilih melanjutkan pendidikan ke Sekolah Guru Tinggi (Hogere Kweekschool) di Magelang. Dia terus menekuni kegemarannya bermain catur. Sehingga, dia dan temannya, Ratib, terpilih dalam pertandingan simultan melawan Max Euwe.
Penelusuran peneliti Dutch Docu Channel di database surat kabar Belanda (Delpher) menunjukkan bahwa pertandingan catur simultan itu berlangsung pada 22 September 1930. Surat kabar De Locomotief menulis artikel ekstensif tentang pertandingan itu.
"Artikel tersebut menyebutkan 42 pemain dalam pertandingan simultan dan juga menyebutkan bahwa Euwe sangat kelelahan karena perjalanan yang jauh," tulis Dutch Docu Channel di akun Facebook (10/3/2021).
Menurut Soebagijo, pada zaman itu, sekitar tahun 1930-an, ada dua orang pemuda Indonesia dibenarkan masuk kamar bola Belanda (societeit) sungguh suatu hal yang langka. Terlebih mereka berani bermain catur menghadapi juara dari negara yang dipertuan (Belanda). Lebih mengejutkan lagi, Sudiro dalam pertandingan simultan itu berhasil mengalahkan Max Euwe, sedangkan Ratib berhasil remis.
“Penulis dan seorang teman sekelas bernama Ratib beruntung sekali malam itu, karena penulis dapat mengalahkan sang juara, dan Ratib mencapai remis,” kata Sudiro.
Baca juga: Sudiro dan Asal-Usul Jalan Tol di Indonesia
Soebagijo menyebut bahwa kemenangan dua pemuda itu meskipun dalam pertandingan simultan menarik perhatian khalayak. Koran-koran termasuk koran milik Belanda memberitakan peristiwa yang cukup menggemparkan itu. Beritanya pun tersiar ke pelosok negeri.
“Koran-koran waktu itu menyambutnya dengan huruf-huruf besar: ‘2 Orang Murid Sekolah Menengah Berhasil Membela Kehormatan Kota Magelang’. Hal tersebut disebabkan karena kami berdua tidak dikalahkan oleh juara catur itu,” kata Sudiro.
“[Namun] Penelitian kami di database surat kabar Belanda (Delpher) tidak menyebutkan apa pun yang ditulis di atas,” tulis Dutch Docu Channel yang menekankan bahwa kekalahan Max Eeuwe dalam pertandingan catur simultan di Magelang karena kelelahan.
Dalam perjalanan hidupnya, Sudiro tidak berkarier sebagai pemain catur. Dia memilih terjun ke pergerakan kemerdekaan, menjadi guru dan kepala sekolah. Dia kemudian bekerja di pemerintahan sebagai wakil kemudian residen Surakarta, residen gerilya dan residen koordinator Solo-Madiun-Semarang-Pati, residen Madiun, gubernur Sulawesi, dan wali kota Jakarta Raya.
Lawan Si Tumbuk
Sementara itu, Alexandr Munninghoff menyebut bahwa dalam enam minggu tur, Max Euwe mencetak skor dengan cepat dan bagus: biasanya di setiap wilayah mencapai 90 persen.
“Dia sangat tertarik dengan pendekatan permainan orang Batak, yang memainkan bentuk catur mereka sendiri tetapi menunjukkan diri mereka mampu menangani variasi Barat dengan cukup baik juga,” tulis Munninghoff.
Menurut Munninghoff, Max Euwe menemukan bahwa kelompok ini (Batak) memiliki bakat luar biasa dalam bermain catur. Salah satu Batak yang melawan Max Euwe adalah Si Tumbuk, yang berhasil membuat remis baik dalam pertandingan simultan (lawan enam orang) maupun pertandingan dengan jam di Medan, yang pastinya lebih dari sekadar kebetulan.
Baca juga: Batak dalam Tanda Kutip
Sudiro menceritakan, ketika melawan Max Euwe, Si Tumbuk didampingi penerjemah karena tidak bisa berbahasa Belanda bahkan bahasa Indonesia (waktu itu disebut bahasa Melayu) pun tidak bisa. Satu-satunya bahasa yang dia pahami adalah bahasa daerahnya, yaitu bahasa Karo. Penerjemahnya adalah L. Hariandja, pemain catur ulung yang kelak menjadi sekretaris Sudiro ketika menjabat residen Surakarta.
Hariandja memberi tahu Si Tumbuk bahwa Max Euwe ingin bermain catur dengannya. Si Tumbuk menyampaikan dua syarat. Pertama, apabila dia harus duduk di kursi, supaya dibolehkan mengangkat kaki di atas kursi. Ini disebabkan kebiasaannya di rumah karena tidak punya kursi. Kedua, selama permainan berlangsung, supaya dibolehkan mengunyah sirih dan menghadap tempat berludah.
Tanpa dipenuhi dua syarat itu, Si Tumbuk tidak akan bermain dengan baik. Tuan kontrolir menolak syarat tersebut karena menganggapnya tidak sopan. Ternyata, Max Euwe tak keberatan dengan syarat Si Tumbuk: “Kenapa mesti dilarang? Kalau itu termasuk dalam adatnya, biarkalah dia betindak begitu!”
Baca juga: Lapo Tuak, Restonya Orang Batak
“Maka berlangsunglah pertandingan catur yang unik itu. Seorang doktor dalam ilmu matematika berhadap-hadapan dengan seorang buta huruf, yang mengunyah sirih dan menggunakan susur (tembakau) guna pembersih bibir. Dan hasil dari pertandingannya? Remis. Sama kuatnya,” kata Hariandja.
Menurut Hariandja, menarik sekali apa yang kemudian ditulis oleh Max Euwe dalam sebuah koran Belanda di Medan. Bunyinya kira-kira sebagai berikut: “Saya doktor dalam ilmu matematika telah bertanding melawan seorang pemain alam yang oleh bangsa-bangsa Barat dinyatakan sebagai orang yang masih primitif. Saya berpendapat, bahwa ‘primitif’ tidaklah sinonim dengan ‘rendah’. Tidak! Orang sebagai Tumbuk tidaklah lebih rendah dari kami! Dia hanyalah berbeda dari kami: Silakan rekan-rekan para sarjana di dunia Barat merenungkan kata-kata saya itu!”
Dutch Docu Channel mencari pernyataan yang sangat mencolok itu di database Delpher tapi tidak ditemukan.
Sementara itu, Munninghoff mencatat bahwa Max Euwe menyebut turnya ke Hindia Belanda sebagai “titik puncak karier catur saya.”
*Tulisan ini diperbarui pada 11 Maret 2021. Penulis berterima kasih kepada Dutch Docu Channel yang telah meriviu dengan menunjukkan sumber koran untuk memperbaiki tulisan ini.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar