Sepakbola Surabaya Punya Cerita
Perjuangan rakyat Surabaya untuk Indonesia lewat sepakbola. Melewati sekat-sekat rasial.
SEDARI masa pergerakan, Surabaya sohor sebagai “dapurnya” nasionalisme. Segala segi kehidupan arek-arek Suroboyo sejak 1930-an, termasuk sepakbola, hampir selalu mengacu pada “promosi” ke-Indonesia-an.
Sepakbola jadi alat perjuangan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Permainan si kulit bundar begitu efektif untuk mengundang massa dan merekrut simpatisan. Terlebih, untuk golongan kelas dua (Timur Asing: Arab, Tionghoa) dan kelas terbawah (Bumiputera).
Pertandingan-pertandingan bal-balan jadi “senjata” politik untuk menohok Nederlandsch Indische Voetbalbond (NIVB), induk sepakbola bentukan pemerintah Hindia Belanda. Sejak 1930, NIVB mendapat rival politis, PSSI. Setiap tim di bawah masing-masing federasi itu saling bersaing mencuri hati penggila bola di semua lapisan masyarakat.
Meski tak sama dengan kondisi di kota-kota lain, yang penuh kebencian, persaingan NIVB dan PSSI yang diwakili Soerabajasche Voetbalbond (SVB) dan Soerabajasche Indonesisch Voetbalbond (SIVB) di Surabaya tetap berjalan. “Yang menarik di Surabaya dan berbeda dengan klub-klub lain di luar Surabaya, SIVB justru memiliki hubungan yang baik dengan SIVB. Memang saling bersaing tapi juga bersanding dalam beberapa pertandingan, di mana mereka melakukan laga persahabatan,” cetus pengamat olahraga cum dosen Universitas Negeri Surabaya Rojil Nugroho Bayu Aji kepada Historia.
Baca juga: Kondisi Persepakbolaan Surabaya yang Harmonis antara Belanda, Tionghoa dan Bumiputera
Boikot
Namun, keharmonisan antara kubu NIVB dan PSSI sempat tercoreng oleh kerikil rasialis. Saat hendak menggelar putaran final perebutan gelar juara kompetisi Stedenwedstrijden (antarkota) di Surabaya, 13-16 Mei 1932, Bekker (wartawan Suratkabar d’Orient) selaku comite Lid. NIVB mengeluarkan kebijakan rasis.
Menurut HAA Achsien dalam Majalah Intisari edisi 5 Mei 1972, Bekker mengeluarkan keterangan pers bahwa wartawan etnis Tionghoa, Arab, India, dan Bumiputera tak diizinkan lagi datang ke laga-laga kompetisi di bawah NIVB. Alasannya, mereka kerap memberitakan hal-hal negatif tentang NIVB dan SVB.
Alhasil, kaum Bumiputera dan terutama Tionghoa langsung merespon kebijakan Bekker dengan boikot. Seruan boikot dicetuskan hoofdredacteur (pemred) Koran Sin Tit Po Liem Koen Hian bersama Comité van Actie Persatoean Bangsa Asia.
“Liem ini pendiri Partai Tionghoa Indonesia. Dia mengutarakan tentang nasionalisme Tionghoa harus merujuk pada Indonesia, bukan mengabdi pada China. Dia mengajak orang-orang Tionghoa lompat pagar untuk jadi golongan kelas tiga (bersama Bumiputera). Lahir dan besar di Indonesia, orang-orang Tionghoa harus ikut menguatkan ke-Indonesia-an. Ini yang menjadi gerakan di mana sepakbola jadi alat perjuangan bangsa di Surabaya,” lanjut Rojil.
Seruan itu menjalar ke seantero Surabaya via berbagai suratkabar Tionghoa, Arab, dan Bumiputera. Masyarakat pun tergerak dan emoh menonton laga-laga putaran final Kampioenswedstrijden, 13-16 Mei 1932. NIVB dan SVB merugi karena sepi penonton kendati tuan rumah menjadi juara setelah mengalahkan rival-rivalnya asal Batavia (Jakarta), Bandung, dan Blitar.
Di hari pembukaan Stedenwedstrijden, 13 Mei 1932, para pemboikot berhasil menarik massa memadati Lapangan Tambaksari (kini Stadion Gelora 10 November) untuk menyaksikan laga eksebisi Indonesia Marine vs Arabisch XI dan laga utama Tim “selection” Bumiputera kontra Tionghoa-Arab. Kedua tim berisi tokoh pergerakan hingga pemred suratkabar.
Laga yang dipimpin wasit perempuan Nyonya Sardjono itu berakhir 0-0. Namun setelah ditentukan pemenang lewat cara “soet”, tim Bumiputera dinyatakan menang.
Nahas, pasca-pertandingan, Liem Koen Hian dan sejumlah pemrakarsa boikot diciduk Politieke Inlichtingen Dienst. Mengutip laporan De Indische Courant, 20 Mei 1932, Liem ditahan dan baru dibebaskan tujuh hari berselang (19 Mei 1932). Liem dibebaskan pemerintah Hindia Belanda berkat protes Ketua Pemoefakatan Perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia MH Thamrin di Volksraad.
“Yang bisa dipetik dari kisah ini adalah rasa kebersamaan yang muncul tanpa membedakan SARA. Antara orang-orang Tionghoa, Arab, dan Bumiputera, mereka tinggal di Kota Surabaya pada masa itu dan atas dasar persamaan dan persaudaraan mereka bersatu melawan musuh bersama: kembalinya kolonialis itu ke Surabaya (pasca-Proklamasi 1945),” sebut penggiat sejarah Roodebrug Soerabaia Ady Setyawan dalam Surabaya: Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar