Pesan Bung Karno dan Rujak Diponegoro
Bung Karno ingin para atlet mencontoh Diponegoro. Berjuang melawan Belanda meski hanya sarapan sederhana berupa rujak.
KENDATI upacara pembukaan Asian Games XVIII Jakarta-Palembang 2018 baru akan diresmikan 18 Agustus 2018 mendatang, beberapa cabang yang mengikutsertakan para atlet kita sudah digulirkan. Antara lain, sepakbola putra sejak 10 Agustus, bola tangan sejak 13 Agustus, dan basket 5x5.
Mereka berlaga dengan semangat penuh dengan diiringi pesan dari Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sepekan lalu, 8 Agustus 2018. Harapan terbesarnya, 938 atlet yang akan turun di 40 cabang mampu merealisasikan target minimal posisi 10 besar di klasemen akhir.
"Perolehan 16 medali emas adalah minimal, artinya kalau tambah banyak boleh, kurang satu pun tidak boleh, jelas itu," tegas Jokowi di halaman Istana Negara, Jakarta sebagaimana dikutip laman Kementerian Pemuda dan Olahraga, Rabu 8 Agustus 2018.
Baca juga: Kala K-pop Menggoyang Penutupan Asian Games
Selain prestasi, mantan Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu juga berpesan, para atlet agar selalu menjaga nama baik Indonesia sebagai tuan rumah. “Saya titip, kebanggaan negeri ini ada di saudara-saudara seluruh atlet yang akan berlaga dan yakinlah 263 juta masyarakat Indonesia berada di belakang dan mendoakan saudara-saudara semuanya untuk berkumandangnya lagu Indonesia Raya dan berkibarnya Merah-Putih setelah adanya kemenangan setelah saudara bertanding. Jagalah nama baik negara bertandinglah secara sehat dan fair. Selamat berjuang," tutup Jokowi sekaligus secara resmi melepas Kontingen Indonesia.
Pesan presiden senada dengan yang disampaikan Presiden Sukarno kala melepas para atlet nasional jelang Asian Games II 1954 di Manila, 30 April 1954.
Pesan Bung Karno Meneladani Diponegoro
Bung Karno berharap para atlet yang diberangkatkan bisa menjaga nama baik negara dengan sikap sportif dan kesederhanaan. Mengingat, di tahun itu republik belum lama lepas dari rongrongan Belanda namun masih direcoki Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di beberapa daerah. Bung Karno tak ingin ada sikap dari para atlet yang menimbulkan kecemburuan di tengah rakyat yang tengah susah. Terlebih, mereka diberi sejumlah fasilitas khusus demi menunjang prestasi.
“Agar kamu di Manila nanti dapat memberi prestasimu sebaik-baiknya. Baik individueel, maupun team, ya bahkan prestasi sebagai putera Indonesia. Jangan lupa, bahwa keberangkatanmu ke Manila itu oleh rakyat Indonesia dicantumkan pengharapan sebesar-besarnya kepadamu akan hasilnya pertandingan. Hendaknyalah nanti kamu dalam berjuang di Manila dengan bekal batin perjuangan,” cetus Bung Karno, dikutip majalah Aneka Nomor 7 Tahun V, 1 Mei 1954.
Baca juga: Seputar Maskot-Maskot Asian Games (Bagian I)
Bung Karno menyampaikan pesan itu di hadapan kontingen di Training Centre, Jakarta. Bung Besar menggarisbawahi sikap kesederhanaan yang dianalogikannya dengan sikap sederhana Pangeran Diponegoro sebelum berperang.
“Bahwa kita harus menjadi bangsa yang ekonomis weerbaar, militair weerbaar, dan geestelijk weerbaar. Saya tekankan, bahwa bangsa Indoensia mencapai kebesarannya justru di dalam kesederhanaan. Suatu contoh, Pangeran Diponegoro tidak pernah makan bestik. Tiap-tiap hari pagi beliau hanya minum kopi dicampur air santan kelapa. Dan jika Pangeran Diponegoro hendak ke medan peperangan, lebih dulu makan rujak. Dengan suam-suam ‘kepedesan’, Diponegoro menyerbu kubu-kubu pertahanan Belanda,” imbuhnya lagi.
Kemunduran Prestasi
Sayang, meski sudah dihujani pesan nan menggebu-gebu sampai mengungkit-ungkit kebiasaan Pangeran Diponegoro, para atlet Indonesia gagal memberi hasil lebih baik sebelumnya, di Asian Games I New Delhi 1951.
Di New Delhi, tulis buku Olahraga dalam Perspektif Sejarah: Periode 1945-1965 terbitan Ditjen Olahraga Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2004, para pejuang olahraga Indonesia mampu membawa pulang lima medali perunggu. Masing-masing dari Sudarmojo pada nomor lompat tinggi putra, Hendarsin pada lompat jangkit, Bram Matulessy pada lempar lembing, Annie Salamun pada lempar cakram putri, dan tim relay 400 meter putri (Darwati, Lie Djing Nio, Triwulan, Surjowati).
Di Asian Games II 1954 Manila, perolehan medali Indonesia justru menukik. Salah satu ofisial kontingen kala itu, Mangomban Ferdinand Siregar dalam biografinya, M. F. Siregar: Matahari Olahraga Indonesia, berkisah nahwa Indonesia hanya mampu pulang dengan tiga medali perunggu. Ketiganya dipetik Lukman Saketi dari cabang menembak nomor rapid fire pistol putra, Tio Ging Hwie dari angkat besi kelas ringan putra, dan tim polo air putra.
Posisi Indonesia di klasemen medali akhir kian terpuruk karena jumlah negara peserta bertambah. Di Asian Games I dengan sembilan negara kontestan, Indonesia bercokol di posisi tujuh, di bawah Ceylon (kini Sri Lanka), Filipina, Iran, tuan rumah India, dan Jepang sebagai juara umum. Sementara di Asian Games II, Indonesia berkubang di posisi 12 dari 13 negara peserta.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar