Pertarungan Terakhir Pahlawan Piala Uber
Tati Sumirah, single fighter di dalam maupun luar arena sampai akhir hayat. Digdaya di masa muda, merana di usia senja.
SUDAH sekira sembilan hari Tati Sumirah (beberapa sumber menyebutnya Taty Sumirah) dirawat di ruang gawat darurat RSUP Persahabatan, Rawamangun, Jakarta Timur. Namun ketika mentari baru sedikit mengintip pagi ini, Jumat (14/2/2020), kabar tak mengenakkan datang dari Regina Masli, srikandi bulutangkis Indonesia yang menjuarai Piala Uber 1975.
“Teman kami meninggal dunia tadi malam. Tati Sumirah, RIP,” tulisnya dalam pesan singkat kepada Historia.
Pada 5 Februari, Tati dilarikan ke rumahsakit dan bertarung melawan penyakitnya. Namun Tuhan Yang Maha Kuasa berkata lain dengan memanggilnya pada Kamis (13/2/2020) malam atau empat hari setelah ia genap menginjak usia 68 tahun. Almarhumah dimakamkan usai shalat Jumat di TPU Kemiri, Rawamangun, Jakarta Timur.
“Dia sakit darah tinggi dan gula. Memang kehidupannya memprihatinkan. Sepertinya habis tidak main lagi, tidak ada yang peduli. Saya sempat kaget lihat keadaan Bu Tati yang sangat kasihan,” sambung Regina yang sempat menyisipkan foto Tati saat masih dirawat yang didapatkannya dari keponakan Tati.
Sejak merintis karier bulutangkisnya, Tati hidup melajang. Ia sempat bekerja di apotek hingga di perusahaan oli nasional dengan penghasilan pas-pasan. “Dia memang tidak berkeluarga. Hidupnya selalu untuk merawat dan memperhatikan ibu dan adik-adiknya,” kata Regina yang sebagaimana Tati, juga sesama jebolan PB Tangkas.
Darah Atlet
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Tati yang lahir di Jakarta, 9 Februari 1952, sejak kecil sudah punya darah atlet dari ayahnya, MS Soetrisno, mantan petinju tingkat daerah. Masa kecil Tati sarat dengan kegiatan olahraga yang diajarkan ayahnya, semisal sepakbola dan tinju.
Persentuhannya dengan bulutangkis terjadi tak sengaja semasa ia sekolah dasar. Saat itu di dekat kediamannya sedang berlangsung pembangunan jalan bypass. Tati berkenalan dengan seorang pekerja kontraktor asal Amerika Serikat (AS) yang turut mengerjakan proyek itu. Orang ‘bule’ itulah yang memperlihatkan majalah-majalah olahraga yang banyak memuat foto pemain bulutangkis kepada Tati. Saat itu bulutangkis sedang jadi olahraga populer baru di AS.
Jatuh cinta pada pandangan pertama, hati Tati langsung kepincut bulutangkis. Ayahnya tetap mendukung walau Tati tak lagi berminat pada sepakbola atau tinju. Tidak hanya membelikan raket, ayahnya sampai membuatkan lapangan bulutangkis sederhana di halaman belakang rumah. Ayahnya pula yang menggenjot latihan fisik Tati hingga menjadi pemain muda tangguh.
“Papanya memang sangat keras melatih Bu Tati. Papanya mau supaya Bu Tati kalau main harus menang,” kata Regina mengenang.
Baca juga: Piala Uber demi Ibu Pertiwi
Alhasil sebelum masuk klub PB Tangkas pada 1971, Tati sudah jadi langganan juara Kejurda DKI sejak 1966. Pada 1969, Tati sudah masuk tim PON DKI.
Meski begitu, ada pengorbanan yang diambilnya menyangkut masa depan. Tati memilih menyeriusi bulutangkis dan meninggalkan pendidikannya meski sudah kelas 3 SMP.
“Meskipun berlatih secara mandiri dan tanpa dukungan pelatih, Tati dianggap memiliki tingkat kebugaran fisik di atas rata-rata. Semua itu berkat latihan tekun, disiplin, dan pantang menyerah. Berbekal kemampuan tersebut, ketika bergabung dengan PB Tangkas, Tati tinggal membenahi tekniknya,” tulis wartawan senior Broto Happy dalam Baktiku Bagi Indonesia.
Kenangan Piala Uber
Di PB Tangkas, ia digembleng pelatih M. Ridwan. S untuk menjadi pemain tunggal putri. Setahun kemudian, Tati berhasil masuk Pelatnas PBSI. Dari sekian “petualangan” di gelanggang olahraga tepok bulu, Tati menggoreskan namanya dengan tinta emas di Piala Uber 1975.
“Kalau mengenang kejayaan masa lalu itu sungguh indah,” cetus Tati dikutip Justian Suhandinata dalam Tangkas: 67 Tahun Berkomitmen Mencetak Jawara Bulutangkis.
Tahun 1975 menjadi tahun keemasan bulutangkis Indonesia. Untuk kali pertama para pebulutangkis Indonesia bisa mengawinkan Piala Thomas dan Piala Uber. Padahal di Piala Uber tim putri Indonesia sama sekali belum diperhitungkan bakal juara oleh banyak pihak. Maklum, tim putri Indonesia yang juga diperkuat Tati sebelumnya kandas di edisi 1969 dan 1972.
Baca juga: Raihan Uber Cup Seharga Kain Brokat
Di partai puncak yang dimainkan di Istora Senayan, 6 Juni 1975, Indonesia harus kehilangan poin di laga pembuka setelah Theresia Widiastuti kalah 7-11 dan 1-11 dari Hiroe Yuki. Indonesia menyeimbangkan kedudukan, 1-1, setelah di laga kedua Tati menaklukkan Atsuko Tokuda, 11-5 dan 11-2.
Indonesia akhirnya juara setelah menang 5-2 dari tujuh laga yang dimainkan. Prestasi itu jelas membanggakan para srikandi hingga diundang ke Bina Graha, tempat Presiden Soeharto berkantor.
“Waktu mau ketemu presiden, kita mau bilang supaya beliau kasih rumah untuk pemain Uber Cup 1975. Tapi Pak Sudirman (ketum PBSI, red.) bilang, jangan minta apa-apa ke presiden. Tapi anak (pemain, red.) sekarang hebat-hebat bonusnya. Makanya kasihan nasib Tati,” sambung Regina.
Seingat Regina, Tati bukan pribadi yang acap mengeluh. Sosoknya selalu fokus di lapangan meski ia tahu di masa itu pemain bulutangkis belum tentu bisa menjamin masa depan yang baik secara finansial.
“Bu Tati orangnya pendiam. Orangnya tertutup. Tapi dengan teman-teman bisa ngobrol, kok. Kalau sedang tidak latihan di pelatnas, kita biasa bareng-bareng juga sama Theresia dan Sri Wiyanti jajan mie bakso di Mayestik,” kata Regina mengenang pertemanannya dengan Tati.
Tati gantung raket pada 1981, baik di pelatnas maupun klub, lantaran bermunculannya talenta-talenta muda macam Ivana Lie atau Verawaty Fadjrin. Tapi perjuangannya di luar lapangan tetap berlanjut. Tati mesti mengais rezeki demi merawat ibunya. Kariernya di arena bulutangkis tak memberinya banyak materi. Sementara, pekerjaan layak sulit didapatnya lantaran ia SMP pun tak lulus.
“Tawaran melatih di PB Tangkas ditolaknya dengan alasan dia tidak berbakat jadi pelatih. Setelah pensiun, dia total meninggalkan bulutangkis,” sambung Broto Happy.
Baca juga: Ivana Lie, Srikandi yang Tak Diakui
Untuk menghidupi dirinya dan ibunya yang tinggal di Buaran, Jakarta Timur, Tati sampai harus menjual hadiah dari menjuarai ajang-ajang yang diikutinya. Selain skuter, mobil juga terpaksa dijualnya pada 1992.
Untuk memenuhi kebutuhan harian, ia bekerja jadi kasir di Apotek Ratu Mustika, Tebet, Jakarta Selatan. Pekerjaan itu dilakoninya hingga 2005. Setelah kisah masa senjanya yang memprihatinkan diangkat “Kick Andy” di Metro TV, Tati ditawari pekerjaan di perusahaan oli swasta nasional tempat legenda bulutangkis Rudy Hartono menjadi komisaris utamanya. Tati menerima tawaran itu. Pekerjaan sebagai pegawai bagian administrasi itu dilakoninya hingga pensiun pada 2016.
Setelah pensiun, Tati hanya mengandalkan pemasukannya dari tunjangan pensiun dan bantuan para keponakannya. Kesehariannya dia habiskan untuk merawat ibunya yang sakit dan menyelesaikan pekerjaan rumahtangga. Itu terus dikerjakanannya meski sejak 2017 lutut kirinya bermasalah gegara kecelakaan motor. Tati tak bisa operasi lantaran ketiadaan biaya. Obat yang mampu dibelinya pun hanya sejenis generik.
Tati akhirnya jatuh sakit pada awal Februari 2020. Penyakitnya itu akhirnya menghentikan perjuangan Tati di lapangan kehidupan.
Selamat jalan, pahlawan Uber Cup!
Statistik Prestasi Tati Sumirah:
Kejurda DKI
1966 – Emas (Tunggal Putri)
PON
1969 – Perunggu (Beregu Putri)
1973 – Emas (Tunggal Putri & Beregu Putri)
1977 – Emas (Beregu Putri); Perak (Tunggal & Ganda Putri)
Kejurnas
1974 – Emas (Tunggal Putri)
Singapura Terbuka
1972 – Perak (Tunggal Putri & Ganda Putri)
SEA Games
1977 – Emas (Beregu Putri)
1979 – Emas (Beregu Putri)
1981 – Emas (Beregu Putri)
Kejuaraan Asia
1971 – Perunggu (Tunggal Putri)
Asian Games
1974 – Perak (Beregu Putri)
Kejuaraan Dunia
1974 (Invitasi) – Perak (Tunggal Putri)
1980 – Perunggu (Tunggal Putri)
Piala Uber
1972 – Juara II
1975 – Juara I
1981 – Juara II
Tambahkan komentar
Belum ada komentar