Perempuan Dobrak Patriarki Olimpiade
Di zaman kuno perempuan ikut atau sekadar nonton Olimpiade bisa dihukum mati. Budaya patriarkinya terbawa sampai ke Olimpiade modern.
OLIMPIADE Tokyo 2020 menjadi momen makin ditinggalkannya budaya patriarki. Keikutsertaan para atletnya yang imbang antara putra dan putri merupakan salah satu indikatornya. Selain itu, olimpiade kali ini juga menjadi yang pertama kali mengikutsertakan seorang transgender, yakni Laura Hubbard (Selandia Baru), yang bertanding di cabang angkat besi nomor +87 kg putri. Komite Olimpiade Internasional (IOC) juga memprogramkan, setiap kontingen diwajibkan membawa dua pengusung bendera, satu atlet putra dan satu putri, dalam defile upacara pembukaan.
“IOC berkomitmen terhadap kesetaraan gender di semua area, dari atlet-atlet yang bertanding maupun perempuan yang berperan dalam kepemimpinan di organisasi olahraga. Gerakan Olimpiade mulai bersiap menyongsong tonggak sejarah baru dalam upaya menciptakan dunia olahraga yang setara bagi semua gender –menjadi Olimpiade yang paling berimbang dalam sejarah,” ujar Presiden IOC Thomas Bach di laman IOC.
Mengutip laman resmi IOC, 8 Maret 2021, keikutsertaan atlet putri nyaris mencapai 48,8 persen dari keseluruhan 11.090 atlet yang berlaga. Angka tersebut naik dari Olimpiade Rio de Janeiro 2016 yang mencapai 45 persen. Kontingen China menjadi kontingen dengan atlet putri terbanyak. Dari 433 atlet yang ikut serta, 69 persennya adalah atlet putri.
Padahal, Olimpiade Tokyo 2020 sempat diwarnai kontroversi terkait diskriminasi gender. Mengutip Reuters, 22 Juli 2021, setidaknya ada dua kontroversi yang menyinggung kaum perempuan. Pertama, pernyataan presiden Komite Olimpiade Tokyo Yoshirō Mori pada 12 Februari 2021. Dia menyatakan perempuan terlalu banyak bicara jika ikut dalam rapat atau pertemuan. Akibatnya, dunia internasional mengecamnya. Mori mundur dari jabatannya dan digantikan tokoh olahraga perempuan, Seiko Hashimoto. Kedua, ulah kepala bidang kreatif Olimpiade Tokyo Hiroshi Sasaki pada 18 Maret 2021. Dia juga mundur setelah melontarkan komentar body shaming terhadap komedian Naomi Watanabe dengan mengatakan, ia bisa ikut jadi atlet “Olympig”.
Baca juga: Olimpiade Tokyo Punya Cerita
Patriarki Sejak Olimpiade Kuno
Budaya patriarki dalam olimpiade sejatinya sudah ada sejak Olimpiade kuno yang rutin digelar empat tahun sekali sejak 776 SM-393 M di Yunani. Walaupun ritual api Olimpiade disulut oleh para biarawati perawan, kaum perempuan tetap diharamkan terlibat lebih. Jangankan ikut serta dalam laga, untuk bisa menonton saja mereka sangat dilarang. Jika melanggar, bisa dijatuhi hukuman mati.
Pengecualian hanya dibuat untuk para biarawati Demeter, dewi kesuburan dan hukum suci. Demeter dianggap paling berperan dalam setiap musim panen dan pergantian musim dingin dan musim panas yang stabil di muka bumi.
“Itulah mengapa Demeter dipuja semua orang Yunani dan oleh karenanya para biarawati Demeter Chamune adalah perempuan yang hanya boleh hadir di Olimpiade. Mereka disediakan kursi dan altar khusus di stadion untuk bisa melakukan ritual-ritual persembahan untuk Dewi Demeter,” tulis Neil Faulkner dalam A Visitor’s Guide to the Ancient Olympics.
Baca juga: Mula Api dan Pawai Obor Olimpiade
Lantaran hanya mereka yang diizinkan, maka ketika seorang janda Kallipateira menyamar sebagai laki-laki demi mendampingi putranya, Peisirodos, bertanding dalam cabang tinju, ia menanggung akibatnya kendati banyak yang terkecoh dibuatnya.
“Saat putranya menang, ia meloncat pagar sampai pakaiannya tersingkap dan membongkar penyamarannya. Dia mestinya dihukum mati; tetapi karena ia adalah seorang putri dan saudari para juara Olimpiade sebelumnya, dia diampuni,” ungkap Nigel Spivey dalam The Ancient Olympics.
Baca juga: Sembilan Atlet di Antara Dua Gender (Bagian I)
Oleh karena itulah Olimpiade khusus perempuan diadakan terpisah. Dalam catatannya yang berjudul Hellados Periegesis (Description of Greece), penjelajah Yunani pada abad kedua Masehi bernama Pausanias mengungkapkan, di sekitar abad kedua ada sebuah festival olahraga perempuan empat tahunan untuk menghormati Dewa Hera bernama “Heraia” di kota Eleia (kini kota Elis).
“Pausanias memberikan penggambaran detail tentang pengaturan olahraganya, termasuk trek (atletik) di stadion diperpendek jaraknya dari 180 meter menjadi 160 meter. Perbedaan ini tak merefleksikan perbedaan kemampuan fisik namun karena pandangan kaum pria Yunani yang menganggap perempuan secara alamiah inferior dari kaum pria,” tulis Judith Swaddling dalam The Ancient Olympic Games.
Namun, setiap pemenang tetap berhak mendapat tanda kemenangan yang sama, berupa mahkota daun zaitun plus seekor sapi betina muda sebagai tumbal persembahan untuk Dewi Hera, dan sebuah patung perunggu berbentuk si atlet sendiri untuk dipajang di kuil Dewi Hera.
Gebrakan Perempuan di Olimpiade Modern
Kultur patriarki itulah yang tetap dibawa Baron Pierre de Coubertin, tokoh olahraga Prancis, kala menggagas Olimpiade modern. Ia menganggap kaum perempuan tidak pantas diikutsertakan dalam cabang olahraga apapun dalam Olimpiade modern pertama, Olimpiade Athena 1896.
“Walau seorang visioner dalam Olimpiade modern, Coubertin tak pernah mendukung partisipasi perempuan sampai ia wafat pada 1937. Ia mengatakan: ‘Betapapun tangguhnya seorang olahragawati, fisiknya secara biologis tidak cocok menahan benturan atau syok tertentu. Mestinya perempuan sekadar menyemangati putra atau suaminya yang bertanding semata. Mengikutsertakan perempuan dalam olahraga tidak akan praktis, menarik, estetik, dan pantas,’” ungkap Satpal Kaur dalam Glimpse of Women in Sport.
Kendati begitu, tetap saja ada perempuan yang berupaya ikut serta di Olimpiade tersebut. Adalah pelari Yunani Stamata Revithi yang bersikeras untuk ikut di cabang atletik nomor maraton 40 kilometer. Namun, upaya atlet yang oleh publik dijuluki “Melpomene”, merujuk pada penyanyi tragedi Yunani Kuno, itu tetap ditolak keikutsertaannya. Panitia beralasan ia terlambat mendaftar. Banyak pihak meyakini, penolakan terhadapnya karena isu gender.
Revithi tak terima. Sebagai bentuk protes, ia pun melakoni lari maraton 40 kilometer seorang diri.
“Stamata Revithi, seorang perempuan sekitar 30 tahun dari Piraeus, ibu dari seorang bayi berumur 17 bulan, berlari selama lima setengah jam pada 11 April, satu hari setelah perlombaan (maraton) resmi,” tulis Suratkabar Astion, 12 April 1896.
Baca juga: Akhir Tragis Atlet Putri Prancis
Dalam Olimpade Paris 1900, yang dihelat dalam rangka pameran dunia L’Exposition Universelle Internationale, IOC mulai membuka pintu buat para atlet putri. Meski Coubertin masih menentangnya, ia terpaksa melunak lantaran didesak beberapa negara anggota. Alhasil, 22 atlet putri ikut bertanding dengan 975 atlet putra dalam cabang-cabang olahraga golf, tenis, croquet, dan berlayar. Cabang-cabang olahraga elite dan kompetitif seperti atletik dan akuatik belum mengizinkan perempuan berpartisipasi.
Sejarah mencatat nama Hélène de Pourtalès sebagai perempuan pertama yang memenangi medali emas berlayar nomor “1 to 2 ton” yang dihelat 22-25 Mei 1900. Ia memenanginya dalam kategori “tim” untuk kontingen Swiss lantaran cabang itu dilakoninya bersama suaminya, Hermann, dan keponakan suaminya, Bernard.
Dua bulan berselang, Charlotte Cooper dari Inggris tampil sebagai atlet perempuan pertama yang menang medali emas di kategori individu. Charlotte juara di cabang olahraga tenis tunggal putri. Langganan kampiun Wimbledon itu juga merebut emas di nomor ganda campuran berpasangan dengan Reginald Doherty.
Seiring perjalanan waktu, keikutsertaan atlet putri mengalami pasang-surut. Di Olimpiade St. Louis 1904 hanya ada enam atlet putri berbanding 645 atlet putra. Di olimpiade ini cabang panahan mulai mengikutsertakan perempuan. Jumlah atlet putri yang berpartisipasi naik drastis menjadi 37 orang di Olimpiade London 1908. Kendati begitu, persentasenya masih kecil karena ada 1.971 atlet putra yang berpartisipasi. Selain berlaga di cabang tenis dan panahan, para atlet putri itu mulai ikut cabang baru, figure skating (seluncur indah). Di Olimpiade Stockholm 1912, sebanyak 47 atlet putri ikut serta dan mulai tampil dalam laga-laga akuatik.
Namun hingga awal 1920-an, isu tentang gender masih dipermasalahkan para pembuat kebijakan IOC dan IAAF (induk atletik amatir internasional). Upaya Alice Milliat, pendiri La Fédération Sportive Féminine Internationale (FSFI), sejak 1919 memperjuangkan atlet putri bisa diikutkan di cabang atletik melulu berbuah penolakan.
Baca juga: Atlet Anggar Putri di Olimpiadenya Hitler
Oleh karena itulah Milliat bersama Camille Blanc yang memimpin FSFI akhirnya menggelar Olimpiade tandingan khusus atlet putri secara berturut-turut pada 1921, 1922, dan 1923 di Monaco, dan pada 1924 di London. Olimpiade tandingan yang perlahan populer itu pun mulai membuka mata para petinggi IAAF hingga akhirnya bersedia memberi rekomendasi kepada IOC agar para atlet putri bisa berlaga di cabang atletik Olimpiade Amsterdam 1928.
“Meluasnya kepopuleran olimpiade wanita itu membuat IAAF mau melakukan pendekatan ke FSFI demi mencapai beberapa kesepakatan. Namun di balik itu IAAF sebenarnya tetap ingin mengontrol atletik putri. IAAF setuju mengikutkan perempuan di atletik hanya di lima nomor. Milliat bersikeras ingin semua nomor dan tim putri Inggris memprotes lebih keras dengan memboikot Olimpiade 1928,” ungkap Margarete Costa dan Sharon Ruth Guthrie dalam Women and Sport: Interdisciplinary Perspectives.
Olympisch Stadion di Amsterdam yang jadi venue atletik Olimpiade 1928 akhirnya jadi saksi bisu keikutsertaan atlet putri di cabang atletik dan senam. Olimpiade musim panas itu sendiri diikuti 277 atlet putri (berbanding 2.606 atlet putra). Sebanyak 95 atlet putri berlaga di lima nomor cabang atletik.
Baca juga: Aneka Cerita Menembak Sasaran di Olimpiade
Sprinter Amerika Serikat Betty Robinson tercatat jadi atlet pertama yang memenangi emas di nomor 100 meter putri. Lina Radke (Jerman) menguasai nomor 800 meter; kuartet Myrtle Cook, Ethel Smith, Bobbie Rosenfeld, dan Jane Bell (Kanada) di nomor estafet 4 x 100 meter; Ethel Catherwood (Kanada) di nomor lompat tinggi, dan Halina Konopacka (Polandia) di nomor lempar cakram. Sementara, cabang senam yang baru melibatkan nomor artistik beregu dimenangkan tim Belanda.
Pasca-Perang Dunia II, IOC perlahan membuka pintu lebih lebar buat keikutsertaan atlet putri. Semua cabang baru yang dilombakan di Olimpiade, termasuk bulutangkis dan sepakbola, mengizinkan kekutsertaan atlet putri.
“Untuk mendorong dan mendukung promosi terhadap kaum perempuan dalam olahraga pada semua level dan semua struktur dengan pandangan untuk mengimplementasikan prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan,” demikian bunyi butir 2.8 dalam Olympic Charter.
Baca juga: Asa yang Kandas di Olimpiade Tokyo
Tambahkan komentar
Belum ada komentar