Merobohkan Memori San Siro
Stadion ikonik kota mode Italia yang sempat dijadikan kandang kuda.
STADION gagah berkapasitas terbesar Italia, Giuseppe Meazza, sejak dua bulan silam tak lagi disemarakkan suporter fanatik dua klub sekota, Internazionale Milan dan AC Milan. Pandemi virus corona membuat calcio (sepakbola) di negeri itu terhenti. Kini bak jatuh tertimpa tangga, masa depan stadion yang kondang dengan nama Stadio San Siro bakal punah.
Stadion berusia 94 tahun itu hendak dirobohkan demi memberi lahan lebih luas untuk stadion anyar. Rencana pembangunan stadion baru di lokasi itu sejatinya sudah diajukan secara kompak manajemen Inter dan AC Milan sejak tahun lalu. Tetapi lantaran stadion itu milik pemerintah kota Milan, butuh waktu menunggu persetujuan walikota, Giuseppe Sala.
Rencana itu mulai mendapat lampu hijau setelah pihak Dinas Kebudayaan Lombardia menyatakan stadion berkapasitas 80 ribu orang itu tak punya status “cagar budaya”. Alasannya, bentuknya sudah tak lagi sama dengan bangunan pada awal dibangun, tahun 1926, akibat berulang-kali direnovasi.
“Properti atas nama ‘Stadion Giuseppe Meazza’ tak memiliki unsur budaya dan oleh karenanya tak memiliki ketentuan hukum yang melindunginya,” demikian pernyataan tertulis dinas kebudayaan itu, dilansir thelocal.it, 23 Mei 2020.
Baca juga: Stadion Terbesar Dunia Stadion Buruh
Pemerintah kota Milan pun mulai terbuka dengan proposal kerjasama dengan kedua tim. Untuk desain stadion baru pengganti San Siro, masih dalam tahap finalisasi oleh firma arsitektur Populous dan Manica-Cmr Sportium. Yang pasti, kedua klub menginginkan lapangannya disisakan kalaupun stadion lama dirobohkan untuk pembangunan stadion yang lebih modern di sebelahnya, sehingga lapangan tetap bisa digunakan untuk kepentingan publik.
Ada pula rencana untuk membangun museum di kompleks lahan di Distrik San Siro, enam kilometer sebelah barat pusat kota Milan, itu. Hingga kini belum pasti kapan stadion akan dirobohkan. Namun yang pasti, berjuta memori manis-pahit yang dialami Inter, AC Milan, dan timnas Italia tersimpan tak hanya di lapangannya tapi juga di bangunannya.
Kuil Sepakbola yang Ikonik
Sejak berdekade-dekade lalu, Milan selalu bersaing dengan Paris sebagai destinasi wisata favorit para elit Eropa. Beken dengan kuliner dan fesyennya, Milan menyempurnakannya dengan stadion ikonik: Stadio San Siro.
“Bukan hal berlebihan untuk mengatakan bahwa sepakbola, selain bisnis kulier dan fesyen, merupakan faktor pendongkrak kepopuleran Milan. Kota itu jadi rumah bagi dua klub ternama dunia. Monumen warisan Piero Pirelli sejak 1920-an ini ibarat katedral beton, baja, dan kaca yang modern dan spektakuler,” tulis Dan Colwell dalam Milan and the Italian Lakes.
Pirelli adalah sosok di balik hadirnya stadion megah itu. Ia supremo AC Milan kedua (1909-1928) setelah sebelumnya klub itu dinakhodai presiden asal Inggris Alfred Edwards. Sebelum masa kepemimpinannya berakhir, Pirelli ingin punya warisan tersendiri dan dicetuskanlah gagasan membangun stadion sendiri untuk menggantikan stadion kecil yang menjadi kandang lama klub, Campo di Viale Lombardia.
Baca juga: Stadion Metropolitano dan Warisan Masa Lalu
Tak hanya Rossoneri yang didirikan oleh orang Inggris, Pirelli juga sosok penggemar sepakbola Inggris. Maka ia menginginkan stadion yang berbeda dari markas klub Italia kebanyakan, yakni stadion tanpa trek atletik seperti kebanyakan stadion di Inggris. Sebelum San Siro dibangun, hanya ada satu stadion tanpa trek atletik di Italia, yakni Stadio Marassi (kini Stadio Luigi Ferraris) milik klub Genoa CFC yang dibangun pada 1911.
Diungkapkan Bo Kampmann Walther dalam “Sports History, Culture, and Practice in Europe” yang dimuat dalam Sports Around the World, stadion itu dibangun Pirelli dengan menelan dana lima juta lira. Pembangunannya dipercayakan pada arsitek Ulisse Stacchini dan insinyur teknik sipil Alberto Cugini. Pembangunannya memakan waktu 13 bulan (Agustus 1925-19 September 1926).
“Stadionnya dinamai Nuovo Stadio Calcistico San Siro karena berlokasi di distrik San Siro, Milan, bersebelahan dengan arena pacuan kuda milik Pirelli. Mulanya stadion hanya punya kapasitas 35 ribu kursi,” tulis Walther.
Baca juga: Stadion Rizal Memorial Dulu dan Kini
Rupa San Siro saat itu masih sangat tipikal stadion di Inggris. Selain tak ada trek atletik, yang berarti jarak penonton dan lapangan sangat dekat, stadion terdiri dari empat tribun terpisah bertingkat satu. Hanya salah satu tribunnya yang diberi atap. Beberapa fasilitas sederhana ditempatkan di masing-masing kolong tribun. Selain ruang ganti, ada kamar mandi, kantor manajemen, dan staf pelatih.
Karena lokasinya sangat berdekatan dengan arena pacuan kuda milik Pirelli, lucunya beberapa area di kolong tribun pun dijadikan istal kuda dan gudang makanan kuda.
Saat diresmikan pada 19 September 1926, laga perdana yang dihelat adalah derby AC Milan kontra Inter Milan. Tuan rumah kalah 3-6.
Markas AC Milan ini kemudian jadi salah satu markas timnas Italia. San Siro terpilih jadi venue semifinal Piala Dunia 1934, 3 Juni 1934, di mana Italia berhasil mengalahkan Austria 1-0.
Serangkaian Bedah Stadion
Pada 1935, stadion itu dijual ke pemerintah kota Milan dengan nilai yang hingga kini belum diketahui. Sejak saat itu San Siro mengalami beberapkali renovasi besar. Pemerintah kota merenovasinya pada 1935 dengan menambah tribun tingkat kedua di dua sektor sisi lapangan, serta tribun tambahan di empat sudut stadion. Semua tribunnya pun menyatu. Total, San Siro bisa menampung hingga 55 ribu penonton.
Mulai 1947, Inter Milan yang sebelumnya berkandang di Arena Civica, pindah ke San Siro. Hal itu menandai kedua tim sekota tersebut berbagi “rumah sewa”. Imbasnya, terjadi penambahan jadwal pertandingan. Jika sebelumnya pertandingan biasa digelar pada sore, bertambah ke malam hari. Pemerintah kota pun mesti menambah lampu tembak agar laga bisa dimainkan ketika matahari sudah terbenam.
Setahun pasca-Inter Milan ikut berkandang di San Siro, bedah stadion kembali diajukan, berupa penambahan tingkat ketiga di semua sektor tribun. Desainnya dikerjakan arsitek Ferruccio Calzolari dan pembangunannya dikomandi insinyur Armando Ronca. Bagian luar stadion juga ditambahkan 12 baris beton berbentuk spiral sebagai aksen anyar sekaligus menjadi akses baru menuju tribun atas.
“Rencananya stadion itu bisa menampung 150 ribu penonton. Tetapi dewan kota Milan menolak usulan proyek itu dan melarang kapasitas penonton yang melebihi 100 ribu penonton dengan alasan keamanan. Pada akhirnya renovasi baru berjalan pada 1955 dengan hanya dilakukan penambahan kapasitas di tribun tingkat kedua dengan total bisa menampung 85 ribu penonton,” sambung Walther.
Baca juga: Stadion Luzhniki Ikon Kejayaan Negeri Tirai Besi
Setelah bintang Inter dan AC Milan Giuseppe Meazza wafat pada 21 Agustus 1979 akibat penyakit pankreas, namanya diabadikan untuk menggantikan nama Stadio San Siro pada 2 Maret 1980. Tetapi meski nama resmi stadion sudah menjadi Stadio Giuseppe Meazza, publik Italia dan dunia masih sering menyebut stadion dengan San Siro.
Tujuh tahun kemudian, stadion itu kembali dibedah. Kali ini untuk kepentingan Piala Dunia 1990, di mana Italia jadi tuan rumah untuk kedua kalinya. Proyek bedahnya menghabiskan dana 60 juta dolar Amerika. Pengerjaannya dipercayakan kepada duet arsitek Giancarlo Ragazzi dan Enrico Hoffer, dan pembangunannya di bawah pimpinan Insinyur Leo Finzi.
Desain Ragazzi dan Hoffer mengubah total wajah stadion. Mereka menambahkan tribun tingkat ketiga di dua sudut stadion dan tribun sektor barat. Untuk menambah aksen dan memperkuat bangunan tribun tingkat tiga, Ragazzi-Hoffer menambahkan 11 menara penopang berbentuk silinder yang menyamai motif beton spiral di bangunan stadion. Empat dari 11 menara yang berada di masing-masing sudutnya juga berfaedah untuk menopang empat rangka atap baja raksasa menonjol berwarna merah.
San Siro pun bak benteng, ikonik, dan modern. Renovasi itu rampung pada 1990. Dengan kapasitas 80.018, ia menjadi stadion berkapasitas terbesar di Italia.
Laga perdana di San Siro usai renovasi yakni partai pembuka Piala Dunia 1990, yang mempertemukan Argentina dan Kamerun. Partai pembuka Grup B itu dimenangi Kamerun 1-0.
“Sejak saat itu atmosfer di San Siro begitu menggairahkan. Atmosfernya tercipta begitu intens dari fans yang berjarak sangat dekat dengan lapangan, sebagaimana di Inggris. Dari tribun teratas San Siro, Anda bisa melihat setiap sudut lapangan, ibarat permainan catur namun dengan intensitas yang kuat,” tandas John Foot dalam Calcio: A History of Italian Football.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar