Membidik Sejarah Olahraga Menembak
Dari hobi berburu hingga membidik sasaran, olahraga menembak mulai diperkenalkan dan populer di Indonesia pada awal abad ke-20.
RABU, 31 Maret 2021, Indonesia dihebohkan oleh serangan teroris ke Mabes Polri. Serangan itu terjadi sangat dekat dengan ruang kerja Kapolri. Perempuan pelaku teror akhirnya tewas diterjang timah panas aparat.
Dari identitas yang ditemukan, perempuan peneror itu bernama Zakiah Aini. Dari pemeriksaan terhadap jasad, ditemukan Kartu Tanda Anggota (KTA) dengan logo Perbakin (Persatuan Menembak Indonesia). Hal ini menjadi sorotan di masyarakat.
Menanggapi hal itu, Sekjen Perbakin Firtian Jusdiwandarta mengungkapkan bahwa pelaku bukan serta-merta anggota resmi Perbakin, melainkan sekadar anggota klub menembak Basis Shooting Club yang logonya tertera di bawah logo Perbakin dalam KTA tersebut. Klub menembak di KTA pelaku, kata Firtian, sudah lama dibubarkan Pengprov Perbakin DKI lantaran sudah melanggar banyak ketentuan.
Baca juga: Percasi dari Masa Revolusi
Anggota klub menembak tak otomatis jadi anggota Perbakin. Untuk jadi anggota resmi Perbakin, seorang individu mesti terlebih dulu direkomendasikan klubnya untuk ikut sertifikasi menembak.
“PB Perbakin Pusat anggotanya adalah Pengprov Perbakin seluruh Indonesia. Kemudian Pengprov masing-masing punya pengurus Perbakin Kabupaten/Kota. Pengurus Kabupaten/Kota punya klub menembak. Jadi setiap individu harus terdaftar di klub menembak terlebih dulu,” kata Firtian.
Hobi Berburu dari Zaman Belanda
Menembak sebagai olahraga, baik dalam berburu maupun bidik sasaran, mengawali kepopulerannya di Inggris pada abad ke-18 seiring dengan perkembangan senjata api. Di Indonesia, aktivitas ini dibawa masuk orang-orang Belanda dan dalam batas tertentu makin berkembang sejak Perang Kemerdekaan.
Sebagaimana di Inggris, aktivitas menembak sebagai rekreasi dibawa masuk orang Eropa ke Indonesia pada permulaan abad ke-20 dalam bentuk kegiatan berburu. Namun rekreasi itu berada di garis batas dengan aktivitas perburuan ilegal yang mengancam eksistensi fauna-fauna langka. Oleh karenanya untuk membatasi perburual ilegal, pada 21 Juni 1931 sekelompok elite Belanda dan Tionghoa mendirikan perkumpulan pemburu Nederlandsch-Indische Jagersgenootschap (NIJG). Mengutip Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 23 Juni 1931, NIJG didirikan dalam rapat besar di kediaman pengusaha Tionghoa, Tio Tek Hong, yang sekaligus menentukan para pengurusnya.
“Berdirinya Nederlandsche-Indische Jagersgenootschap ditetapkan di kediaman Tio Tek Hong di belakang tokonya (kini Toko Tio Tek Hong, Sawah Besar). AD/ART-nya langsung diratifikasi dalam rapat setelah adanya beberapa perubahan dan penambahan. Saat rapat turut dihadiri 49 anggota, di mana 29 di antaranya berasal dari luar Batavia seperti Solo, Serang, Pegadenbaru (Subang), Bogor dan beberapa kota lain,” tulis koran tersebut.
Baca juga: Permainan Kabaddi dalam Lorong Zaman
Rapat pendirian asosiasi itu menetapkan pemimpin pertamanya, J. Olivier, T.L. Tio Tek Hong, dan Ir. A.F. Wehlburg. Mereka lantas sepakat memilih J. Olivier sebagai presidennya dan Tio Tek Hong bersama Wehlburg sebagai sekretaris merangkap bendahara.
Selain memiliki senjata api, syarat yang ditetapkan untuk menjadi anggota NIJG ialah membayar uang pendaftaran sebesar tiga gulden –yang mulai dipungut pada 1 Juli 1931– dan uang iuran dengan besaran nilai yang sama untuk dibayarkan per empat bulan. Namun sudah menjadi anggota NIJG bukan berarti bisa berburu satwa semaunya. NIJG menetapkan program-program “Big Game” atau event musim berburu sebagaimana di Inggris.
“Ketua (J. Olivier) juga menjelaskan visi perkumpulannya, yakni mempromosikan pengetahuan tentang perburuan yang legal agar tidak bertolak-belakang dengan kepentingan pemerintah terkait perburuan ilegal. Setiap anggota wajib menaati tiga poin: Pertama, menentang praktik perburuan ilegal yang mengancam kehidupan satwa liar. Kedua, praktik umpan dengan organ hewan lain hanya diperbolehkan selama tak melanggar perundang-undangan. Ketiga, praktik berburu dengan asap di medan perburuan, di mana praktik-praktik ganjil itu sudah masuk ke dalam aturan terlarang,” lanjut suratkabar tersebut.
Baca juga: Membangkitkan Kasti yang Mati Suri
Dalam perjalanannya, NIJG tak hanya diikuti kaum elit namun juga diikuti para pelajar dan pakar kesehatan serta biologi. Bagi mereka, ikut aktivitas perburuan legal bisa sekaligus dijadikan penelitian. “Sambil menyelam minum air,” kata pepatah.
“Perkumpulan Pemburu Hindia Belanda berkembang pesat sampai awal 1942 ketika Perang Pasifik dimulai. Saat itu terdapat sekitar 2.250 anggota, banyak dari mereka anggota aktif di bawah kepresidenan pakar medis Dr. W.F. de Priester (1937-1942). Anggota lain di komitenya saat pecah perang adalah Dr. J.D.F. Hardenberg (dari Stasiun Biologi Kelautan di Tanjung Priok), B.R. Peelen, T. Tacoma, Tan Tjoan Hong, dan L. Wesselius,” ungkap J. H. Becking dalam Henri Jacob Victor Sody, 1892-1959: His Life and Work.
Dari PORPI hingga Perbakin
Pasca-pendudukan Jepang dan kembalinya Belanda ke Indonesia, pada November 1946, L. Wesselius dibantu J. Olivier mencoba menghidupkan lagi perkumpulan menembak dengan nama De Indische Jager. Tetapi perkumpulan itu bubar pada 1950 saat diketuai Letnan Kolonel A.A.F. Maurenbrecher.
Mengutip Olahraga Indonesia dalam Perspektif Sejarah: Perioed 1945-1965 terbitan Depdiknas 2004, sebagai pengganti untuk menampung para penghobi kegiatan menembak dan berburu, Didi Kartasasmita dibantu P.G.O. Noordraven, Said Suryanatanegara, Tan Wie Soen, dan dr. Moh Azil Widjajakusuma mendirikan Perhimpunan Olahraga Perburuan Indonesia (PORPI) di tahun itu juga.
Baca juga: Melacak Jejak Pencak Silat
Walau PORPI saat itu belum punya bidang menembak sasaran, anggotanya yang bernama Lukman Saketi sudah mewakili Indonesia dalam Asian Games II di Filipina pada 1954. Lukman bahkan menyumbang sekeping medali perunggu di nomor Rapid Fire Pistol 25 meter putra.
“Sampai pada 1958 selain ada bidang perburuan, dibentuk akhirnya pula bidang menembak sasaran. Pembentukan ini ada kaitannya dengan keinginan Indonesia aktif dalam olahraga menembak di tingkat internasional. Menjelang pemberangkatan serta persiapan tim observer ke Olimpiade Roma (1960), maka di Jakarta pada 25 Mei 1960 diadakan rapat pembentukan organisasi menembak sasaran. Ini dimaksudkan juga untuk mempersiapkan keikutsertaan Indonesia dalam Asian Games IV di Jakarta tahun 1962,” kata buku tersebut.
Anggota tim observer atau pemantau yang dimaksud adalah Soedjanoedji dan Kapten (Pnb) Sanusi Tjokroadiredjo. Kapten Tjokro bahkan ikut langsung jadi atlet menembak Indonesia pertama di olimpiade itu dengan mendaftarkan diri di nomor Free Pistol 50 Meter putra menggunakan nama Perbakin. Namun ia gagal lolos kualifikasi ke babak final.
“Sebenarnya saat itu secara resmi Perbakin belum terbentuk. Atas inisiatif (Mayjen) Soengkono, Bapak Soedirgo, dr. Alibasah Saleh, R.H. Poernomo, Soedjanoedji dalam pertemuannya di Cimahi bersamaan dengan diselenggarakannya PON V (30 September-8 Oktober) tahun 1961 didirikanlah Persatuan Menembak dan Berburu Seluruh Indonesia (Perbakin). Kongres Perbakin yang pertama di Porong, Jawa Timur pada 17 Juli 1963, menetapkan Bapak Soengkono sebagai ketua umum pertama masa bakti 1961-1967, juga menetapkan keikutsertaan di cabang menembak Asian Games IV,” sambung buku tersebut.
Baca juga: Asa yang Kandas di Olimpiade Negeri Sakura
Setelah para pengurusnya sudah paripurna, seiring Asian Games IV, Perbakin mendaftarkan diri ke South East Asia Shooting Association, Asian Shooting Confederation, dan International Shooting Union (ISU, kini International Shooting Sport Federation/ISSF).
Setelah itu, animo masyarakat pada olahraga menembak pun meningkat. Kendati siapapun boleh mengikuti olahraga, ia diatur ketat. Setiap orang yang bergelut di bidang itu juga mesti jadi anggota Perbakin (Persatuan Menembak Indonesia) dengan sokongan izin Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Pertahanan, Kepolisian RI, dan TNI. Mereka baru dapat diterima menjadi anggota setelah memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan. Mengutip Kumparan, Kamis (1/4/2021), Sekjen Perbakin Firtian Jusdiwandarta menyatakan, syarat untuk jadi anggota dan memperoleh KTA (Kartu Tanda Anggota) resmi tidaklah sembarangan demi mencegah senjatanya disalahgunakan. Setiap anggota juga dilarang menenteng senjata di muka umum.
Baca juga: SAMBO, Seni Beladiri dari Negeri Tirai Besi
Tambahkan komentar
Belum ada komentar