Macz Man, Pelopor Suporter Kreatif Anti-Barbar
Terinspirasi Aremania dan Pasopati, kelompok suporter terbesar PSM Makassar ini mengubah suporter primitif menjadi kreatif.
TABUHAN drum bertalu-talu mengiringi nyanyian dan gerak koreografis suporter saat laga PSM Makassar kontra Arema FC, Rabu, 16 Oktober 2019. Kehangatan di Stadion Andi Mattalatta itu kian terasa dengan bersahabatnya kelompok suporter kedua tim yang berlaga.
Kendati malam itu hampir segenap sudut stadion didominasi pendukung Juku Eja, julukan PSM, suporter tim tuan rumah itu tak sedikitpun menggunakan kedigdayaan untuk mengintimidasi Aremania, sebutan pendukung Arema FC, yang terselip di sektor tribun barat. Persahabatan itu membuat ratusan Aremania leluasa menyanyikan lagu-lagu penyemangat untuk timnya tanpa gangguan sehingga suaranya terdengar sampai ke tribun VIP Selatan yang Historia tempati.
“Sudah sejak lama kami bersahabat dengan Aremania. Makanya ini mereka sekitar 300-an datang ke sini, tentu kita jamu. Sebagai bentuk balas budi karena ketika kami bertamu ke Malang pun kami dijamu dengan baik,” tutur Mustafa Amri, sekjen Macz Man, kepada Historia.
Baca juga: PSM Makassar dalam Anging Sejarah
Suasana bersahabat seperti itu memang selalu dikedepankan oleh Macz Man, kelompok suporter PSM terbesar dan pelopor gerakan suporter kreatif. Entah terinspirasi Andi Mattalatta ketika hendak menyalurkan pemuda ke hal-hal positif atau bukan, Macz Man ingin mengajak para suporter menjauh dari anarkis sehingga mengikis perilaku barbar para suporter yang hingga kini masih acap muncul di laga-laga sepakbola tanah air.
Perintis Inisiatif Suporter Kreatif dan Atraktif
Macz Man yang baru eksis pada 2001 jelas bukanlah kelompok suporter PSM tertua. Sebelumnya, PSM sudah dikawal Mappanyukki dan Suporter Hasanuddin di awal 1990-an, dan Ikatan Suporter Makassar (ISM) sejak 1995.
Namun sebelum memasuki tahun 2000-an, suporter PSM termasuk salah satu suporter beringas. Perilakunya barbar. Lemparan benda-benda ke lapangan saat pertandingan, cacian rasis, hingga bentrok dengan suporter lawan menjadi ciri khas.
“Perilaku suporter tahun 2000 ke bawah belum ada yang bersentuhan dengan kreativitas di stadion. Masih primitif. Artinya, perilakunya yang barbar. Sebelumnya, suporter PSM musuh dengan Bonek. Tidak ada sejarahnya merah (suporter PSM) bisa masuk stadion Gelora 10 November. Begitupun sebaliknya,” lanjut Mustafa.
Baca juga: Bonek dan Stigma Kekerasan Suporter Fanatik
Hal itu menumbuhkan tekad Ocha Alim Bahri, pewarta foto cum fans PSM, untuk memberantasnya, terutama setelah PSM juara Liga Indonesia 1999-2000. Ocha sebelumnya mendapat “pencerahan” tentang suporter kreatif dari kiper PSM Hendro Kartiko.
“Hendro Kartiko jelang laga away ke Malang dan Solo bisik ke bang Ocha. Tentang apakah enggak bisa bikin suporter PSM seperti Aremania atau menjadi suporter modern lain seperti Pasopati (suporter Persis Solo),” imbuh pria asal Palopo itu.
Baca juga: Jakmania Setia Mengawal Persija
Sepulang dari menemani PSM tur ke Jawa, Ocha mendekati sejumlah dedengkot kelompok suporter macam Suporter Hasanuddin dan ISM. Ocha ingin mengajak mereka memutar pemahaman bahwa bukan lagi zamannya jadi suporter beringas dan sudah saatnya berubah jadi suporter yang modern laiknya Aremania dan Pasopati.
“Tapi kelompok-kelompok yang eksis saat itu tidak terima. Dibilangnya, bukan tipe (orang) Makassar itu. Kalau suporter Jawa boleh saja karena orangnya kan kalem-kalem. Makassar tidak bisa begitu. Karena tidak ada yang mau, makanya (Ocha) bikin kelompok sendiri,” sambung Mustafa.
Ocha lalu mengajak rekannya Amarullah Pase dan Iriantosyah Kasih untuk menggodok konsep wadah baru pendukung tim Ayam Jantan dari Timur itu pada Desember 2000. Ketiganya juga berhasil menggalang massa “perintis” dengan menggaet 14 orang suporter lain yang punya pemahaman sama.
“Mulai saat itu ikut bergabung 14 orang yang awalnya mereka anggota ISM kawasan Cilallang. Pak Ocha mulanya yang temui mereka dan kebetulan gayung bersambut dan sepaham dengan idenya Pak Ocha. Padahal kan ini anggota ISM. Jadi secara organisasi lembaga, tidak mau terima ide Macz Man untuk jadi suporter kreatif. Tetapi ada bagian dari kelompoknya yang mau terima dan itulah yang kemudian dibina,” tambahnya.
Baca juga: Viking, Antara Lawan dan Kawan
Ketiga inisiator sengaja tak mendeklarasikan kelompok suporternya karena ingin lebih dulu punya “modal” agar ditengok publik. Utamanya via media, mengingat Ocha merupakan salah satu pewarta senior di Makassar. Ocha lalu meminta bantuan Mayor Haristanto, dedengkot Pasopati, untuk melatih bernyanyi dan koreografi.
“Mulai latihan di Lapangan Karebosi, lalu berpindah-pindah di stadionnya UNM (Universitas Negeri Makassar). Lalu mulai bertambah anggota di situ sampai sekitar 100 orang. Karena dilatihnya sama Bung Mayor, makanya sampai sekarang yel-yel kita masih banyak pakai lagu pinjaman. Belum ada lagu lokal,” tutur Mustafa.
Setelah merasa “cukup” terlatih, Macz Man dideklarasikan pada 1 Februari 2001. Macz Man merupakan akronim Macazzart –pelesetan dari nama kota Makassar– Mania. Mustafa belum turut dalam “rombongan” perintis itu. Ia masih sekadar pendukung PSM tanpa organisasi.
Butuh waktu agak lama sampai Macz Man bisa debut di Stadion Andi Mattalatta. Macz Man, kata Mustafa, pertamakali hadir di laga kandang PSM kontra Pelita Solo, 24 Juni 2001. Saat itulah Mustafa terpesona Macz Man dan memutuskan bergabung. “Cikal-bakalnya banyak yang gabung dari situ. Termasuk saya.”
Baca juga: Jakmania Milik Semua Masyarakat Ibukota
Macz Man mulai dikenal publik via “kekuatan” media. “H+1 setelah debut itu, Macz Man muncul di media-media, bahkan media nasional ikut muat, tabloid Bola, karena ada rekan Pak Ocha, Sigit Nugroho,” kenang Mustafa.
Kemunculan Macz Man tentu menuai nyinyiran dari kelompok-kelompok yang lebih senior. “Awalnya mereka tidak anggap kita. Dibilang, ‘ah, Macz Man ini baru seumur jagung.’ Tapi karena sering ter-cover media, jumlah kita mulai besar. Baru tahun kedua kita mulai adakan silaturahim ke para senior. Kita sepakat bahwa sekalipun beda payung, beda organisasi, tapi tim yang kita dukung sama. Setelah itu mereka mulai mengerti,” ujarnya.
Salam Jabat Hati
Sebagai identitas, Macz Man punya logo dan slogan. Logonya, seekor ayam jantan, sesuai julukan PSM, merupakan hasil sayembara yang dimuat di Harian Fajar. Sementara slogannya adalah “Salam Jabat Hati”, dicetuskan Mustafa sendiri.
“Kebetulan ini slogan baru ada 2002 setelah kita tur ke Jawa. Ketemu dengan teman-teman Jakmania, Aremania, Bonek, sekaligus kita jalin persahabatan memperbaiki masa lalu. Di Aremania dikenal salam ‘Salam Satu Jiwa’. Bonek punya ‘Salam Satu Nyali, Wani!’. Nah pada saat itu kebetulan kita sepakat akan punya salam yang spesifik punya kita,” terang Mustafa.
Baca juga: Salam Satu Nyali, Wani!
Ide Mustafa terinspirasi dari kata-kata “Salam Jabat Hati” di sebuah siaran radio lokal di Palopo. “Saya ingat sejak SMA sering dengar radio swasta di Palopo. Sebelum rampung siaran, penyiarnya berslogan ‘Salam jabat hati untuk saudaraku di pulau ini.’ Ah, kayaknya bagus ini. Saya lempar ke teman-teman di forum, mereka oke. Jadi maknanya, sekalipun kita berjauhan tapi tetap nyambung. Makanya salam jabat hati agar lebih akrab, kira-kira begitu,” tambahnya.
Faktor slogan yang nyaris sama itu yang turut mengikat persahabatan Macz Man dengan Aremania dan bahkan Bonek, kendati dua suporter besar dari Jawa Timur itu saling bermusuhan. Soal ini, Macz Man tak mau pilih-pilih kawan.
“Karena sama-sama disambut ketika kita bertamu ke Surabaya maupun ke Malang. Sama Aremania memang kita paling dekat, selain sama Pasopati. Sudah seperti silsilah keluarga. Pasopati yang mengajari Arema. Lalu Pasopati mengajari Macz Man. Jadi istilahnya, Pasopati itu bapaknya Macz Man dan Arema ini neneknya, hahaha…”
Satu tradisi unik yang dimiliki Macz Man adalah tradisi memandikan patung legenda PSM Andi Ramang yang berdiri di Anjungan Losari dan menziarahi makam Ramang tiap merayakan hari jadi Macz Man 1 Februari. “Karena dia satu manusia langka orang bola di Indonesia. Satu-satunya pemain Indonesia yang diperingati saat wafatnya oleh FIFA. Dan memang ya itu (skandal suap) menghancurkan kariernya. Akhirnya dia pensiun, habis itu. Itulah… Padahal dia kan juga tidak akui terlibat skandal itu,” cetus Mustafa.
Macz Man diakui publik sebagai pelopor suporter kreatif di Makassar. Eksistensinya menginspirasi kemunculan sejumlah kelompok lain yang juga tak mau kalau atraktif dalam menyemangati PSM, seperti Laskar Ayam Jantan, Red Gank atau PSM Fans. Namun, Macz Man tetap masih yang terbesar. Dari data 2018, jumlah resmi pemegang kartu anggota mencapai 5.000 orang. ini belum termasuk para perantauan asal Makassar yang di luar Sulawesi.
Meski tak mendapatkan dispensasi apapun dari klub, Macz Man tetap setia menemani di manapun PSM berlaga. “Enggak ada dispensasi dari manajemen (klub). Orang umum didiskon (tiket) 10 persen, kita pun sama saja. Tur ke luar juga biaya sendiri. Betul-betul mandiri. Tak jarang ada cerita anggota kita gadaikan BPKB kendaraannya untuk ongkos ke luar kota,” sambung Mustafa.
Baca juga: Layar Terkembang PSM Makassar
Jelas bukan perkara mudah bagi pengurus untuk membuat Macz Man sesuai dengan angan di awal mengingat jumlah anggotanya begitu besar untuk ukuran di luar Jawa. Meski sudah “dididik” untuk menjadi suporter yang sportif dan kreatif, masih ada saja sisa-sisa perilaku barbar yang muncul. Insiden pelemparan terhadap para pemain Persija jelang final Piala Indonesia pada Agustus silam, contohnya.
“Sangat sulit mengatur mereka. Tiap kepala punya pikiran sendiri-sendiri. Tak ada pendekatan meritokratis yang mudah laku karena sebagian suporter sepakbola kita, saya sebut sebagai kumpulan useful idiots, himpunan kaum teroris yang dilegalkan untuk berhimpun di stadion-stadion yang tak pernah dihukum ketika berbuat onar,” ujar Bambang Haryanto, mantan Sekjen Asosiasi Suporter Seluruh Indonesi (ASSI), dikutip Anung Handoko dalam Sepakbola tanpa Batas: City of Tolerance.
Namun, para petinggi Macz Man tetap amat memperhatikan para anggotanya soal itu lantaran mewujudkan kelompok suporter kreatif sesuai angan tak secepat membalikkan telapak tangan. “Tidak jarang awal-awal kita bentrok dengan anggota kita karena ada yang mau lempar-lempar ke lapangan. Memang biasanya yang memantik brutalisme suporter adalah wasit. Walau kita sudah arahkan berperilaku kreatif, masih ada yang kambuh kalau terpancing. Memang butuh waktu,” tandas Mustafa.
Baca juga: Akar Seteru Suporter Oranye dan Biru
Tambahkan komentar
Belum ada komentar