Lautan Manusia di Wembley
Arsenal merayakan FA Cup tanpa euforia penonton di Wembley. Berbeda jauh dari suasana final di stadion ikonik itu 97 tahun silam.
ARSENAL akhirnya keluar sebagai juara FA Cup tahun ini setelah mengalahkan rival sekota, Chelsea FC 2-1. Laga final yang sengit antara kedua klub itu berlangsung Stadion Wembley, Inggris pada Sabtu (1/8/2020) lalu.
Dalam sejarahnya, FA Cup yang dikenal sebagai turnamen tertua di dunia itu acap menghadirkan sejarah anyar. Di final FA Cup ke-139 lalu, dua sejarah baru terukir di Stadion Wembley. Pertama, Arsenal menjadi klub pengoleksi trofi terbanyak (14 kali). Kedua, untuk kali pertama final FA tak dihadiri seorang pun penonton di stadion mengingat masih merebaknya pandemi corona.
Dalam statistik internal tim juga tercipta catatan baru. Arsenal menjadi klub paling banyak merumput di partai final (21 laga final), pembesutnya pun, Mikel Arteta, menjadi orang pertama di Arsenal yang menyabet titelnya sebagai pemain (musim 2013-2014 dan 2014-2015) dan pelatih (2019-2020).
Baca juga: Kala Arsenal Tak Berdaya di Surabaya
Namun, dwigol kemenangan Arsenal yang dicetak Pierre-Emerick Aubameyang hanya bisa dirayakan bersama rekan-rekannya tanpa respons fans. Walau panitia laga final menyetel gemuruh penonton lewat sound system di stadion, atmosfer final kemarin tetap terasa kurang.
Dalam sejarah, final FA Cup nyaris tak pernah sepi penonton. Bahkan, pada final FA Cup tahun 1923 jumlah penonton jauh melebihi kapasitas Stadion Wembley. Mereka sampai berdesak-desakan di lapangan, mengalahkan jumlah penonton di Stadion Utama Senayan (kini Stadion Utama Gelora Bung Karno) saat final Perserikatan 1985 antara Persib vs PSMS yang mecapai 150 ribu penonton.
“Pembaptisan” Wembley
Stadion Wembley yang acap jadi venue final FA Cup berlokasi di Wembley Park. Menukil Tony Rennick dalam “National Stadia” yang terhimpun dalam Encyclopedia of British Football, Wembley mulanya bernama British Empire Exhibition Stadium lantaran dibangun untuk menggelar British Empire Exhibition 1924.
Dibangun antara tahun 1922-1923, ia dirancang duet arsitek John William Simpson dan Maxwell Ayrton, dibantu insinyur Owen Williams. Rencana awalnya, stadion itu akan dirobohkan kelak setelah pameran selesai. Namun rencana itu dibatalkan berkat usul ketua panitia pelaksana pameran, Sir James Stevenson.
“Biaya pembangunannya mencapai 750 ribu poundsterling dan rampung empat hari sebelum West Ham United menghadapi Bolton Wanderers di duel klasik tim Utara vs Selatan pada laga pembuka, final FA Cup 1923. Sekretaris FA Sir Frederick Wall sangat bahagia: ‘Akhirnya kita punya stadion untuk semua orang bisa menyaksikan final (FA) Cup’,” tulis Rennick.
“Bahkan rilisan pers Wembley lebih antusias: ‘Stadion Empire yang baru sebesar kota Jericho dalam Alkitab. Seratus ribu orang pernah menyaksikan final di Crystal Palace, namun setengahnya tak bisa melihat dengan jelas. Sekarang senantiasa ada ruang untuk semua orang’,” sambungnya.
Baca juga: Kiper Legendaris Manchester Bekas Pemuda Hitler
Laga final FA Cup (28 April) 1923 jadi ajang “pembaptisan” stadion baru itu. Tiga final FA Cup sebelumnya dimainkan di Stadion Stamford Bridge. Pemberitaan media dan iklan-iklan yang dipasang FIFA untuk mempromosikan laga final di stadion baru itu lebih dari kata berhasil. Penonton tidak hanya dari Bolton dan London, banyak yang penasaran datang dari seantero negeri.
“Liputan-liputan media turut bertanggungjawab atas berita yang dibesar-besarkan hingga memberi kesan bahwa laga final itu penting dan jadi ajang yang glamor. Hasilnya menghadirkan ‘kerumunan raksasa’. Yang paling utama adalah slogan-slogan iklan tentang stadion baru itu, di antaranya: ‘sebuah monumen olahraga yang megah dan tak tertandingi’,” kata Jeffrey Hill dalam “The Day was an Ugly One: Wembley 28th April 1923” yang dimuat dalam Soccer and Disaster.
“Organisasi perkertaapian jadi salah satu alasan terbesar membludaknya penonton. Diperkirakan sampai ada 120 keretaapi yang khusus mengangkut para penonton yang tentu sangat terbantu posisi Wembley yang terdapat empat stasiun kecil yang dekat dengan stadion,” lanjutnya.
Billie si “Kuda Putih”
Disempurnakan dengan cuaca cerah, hasil dari pemberitaan dan promo itu adalah kerumunan calon penonton berbondong-bondong menyerbu Wembley. Meski gerbang stadion sudah dibuka pada pukul 11.30 siang atau tiga setengah jam sebelum kick off, petugas keamanan stadion syok melihat gelombang penonton yang masif itu sehingga memutuskan untuk menutup gerbang jam 13.45.
Polisi sampai menerjunkan sekitar 800 personil, termasuk 200 polisi berkuda, yang diminta pihak keamanan stadion untuk membantu mengatur ratusan ribu penonton yang berusaha masuk secara paksa dengan melompati gerbang stadion. Karena kalah jumlah, polisi pun tak berdaya membendung gelombang manusia itu. Para polisi itu justru pontang-panting membantu suporter di luar stadion untuk “meloloskan diri” di gerbang stadion demi mencegah barisan-barisan terdepan suporter itu terjepit karena terdesak oleh gelombang demi gelombang manusia yang tak hentinya berdatangan.
“Catatan resmi panitia pelaksana final, laga itu dihadiri 126.047 penonton. Namun kenyataannya perkiraan penonton yang sebenarnya berada di angka 240 ribu sampai 300 ribu orang,” ungkap Tony Matthews dalam Football Firsts.
Baca juga: Atmosfer Semu di Stadion Tanpa Penonton
Ketika gelombang masif penonton itu kian mendesak penonton lain yang sudah ada di tribun-tribun bawah, sejumlah besar orang di tribun terpaksa bergeser sampai ke lapangan dan bahkan sampai ke dalam garis lapangan demi menghindari terjepit pagar dan terinjak-injak. Meski tak terjadi chaos, desakan di tribun penonton menyebabkan 900 orang luka ringan dan 22 lainnya dilarikan ke rumahsakit.
Suasana tak kondusif itu membuat panitia hendak membatalkan laga. Tetapi ketika Raja George V datang dengan pengawalan ketat, kerumunan manusia itu spontan mengumandangkan lagu kebangsaan “God Save the King” sehingga diputuskan laga final itu tetap berjalan.
Namun, laga tertunda 45 menit gara-gara ratusan polisi berkuda harus lebih dulu meng-clear-kan lapangan dari penonton. Hal itu amat merepotkan petugas kepolisian, termasuk George Scorey yang menunggangi Billie si “Kuda Putih”.
Baca juga: Boxing Day, Tradisi Sepakbola Inggris
“Saat kuda saya berjalan ke tengah lapangan, saya hanya bisa melihat lautan kepala dan saya pikir, mustahil bisa diatur. Namun kemudian saya melihat sedikit celah dekat salah satu gawang. Kuda saya sangat pintar dan bisa mendesak mundur mereka perlahan dengan hidung dan ekornya sampai bisa membuat mereka mundur ke luar garis gawang,” tutur Scorey, dikutip Nigle Blundell dalam Wembley: The Historic of the Iconic Twin Towers and the Events They Witnessed.
“Kami (polisi berkuda) memperingatkan: ‘Apakah kalian ingin pertandingannya dimulai?’ Lalu kami perintahkan mereka (penonton) untuk ikut membantu mendesak mundur penonton lain selangkah demi selangkah. Lalu mereka duduk di tepi luar lapangan. Mungkin mereka menurut karena kudanya dan kami bersyukur para penonton mau bekerjasama,” tambahnya.
Laga yang dipimpin wasit David H. Asson itu akhirnya bisa dimulai. Di sepanjang laga, beberapakali insiden lucu terjadi. Ada penonton yang mencoba menendang bola ketika terjadi perebutan bola antarpemain di tepi lapangan, lalu ketika terjadi dua gol Bolton ke gawang West Ham, penonton yang kegirangan berhamburan lagi ke dalam lapangan. Mereka baru mundur setelah didesak polisi dengan susah payah.
Baca juga: Wenger dan Lima Pelatih Terawet Sejagat
Lantaran frustrasi karena situasi itu, kapten West Ham George Kay meminta wasit menghentikan laga. “Tapi kami baik-baik saja. Kami akan tetap bermain sampai langit gelap kalau perlu,” cetus Kapten Bolton Joe Smith yang merasakan hal sebaliknya dari situasi itu.
Wasit akhirnya tetap memimpin laga sampai dua kali 45 menit dan saat peluit akhir berbunyi, Bolton unggul 2-0 lewat gol David Jack (menit kedua) dan John Reid Smith (53’). Para pemain Bolton kemudian menerima trofi FA dari Raja George V di tribun Royal Box.
Saat itu lapangan penuh sesak oleh penonton yang merayakan kemenangan Bolton. Suasana itu berlainan sekali dengan yang dialami Arsenal 97 tahun kemudian pada akhir pekan lalu. Perayaan kemenangan trofi FA mereka di tengah lapangan tak dihadiri satupun fans berikut euforia mereka.
Baca juga: Lima Gebrakan Revolusioner Wenger di Arsenal
Tambahkan komentar
Belum ada komentar