Kisah Alan Shearer di Arena
Striker klasik Inggris terbaik. Disegani dan dihormati. Namanya yang pertama terpatri di Hall of Fame Liga Inggris.
UNTUK pertamakalinya Premier League atau Liga Inggris melahirkan Hall of Fame. Alan Shearer bersama Thierry Henry jadi dua pesepakbola legendaris pertama yang masuk jajaran kehormatan itu. Shearer dipilih langsung oleh pihak Premier League bukan tanpa alasan. Sepanjang karier profesionalnya pada 1988-2006, Shearer kondang sebagai sosok striker tengah klasik dan hingga saat ini pun namanya belum tergeser sebagai pengumpul gol terbanyak Liga Inggris dengan 260 gol.
“Jika Anda melihat para pemain hebat di Liga Inggris, setiap pekan, setiap tahun –saya merasa sangat terhormat bisa ada di Hall of Fame. Yang saya inginkan sejak dulu hanya jadi pemain profesional. Sudah jadi mimpi saya memenangkan trofi, mencetak gol di St. James’s Park, mengenakan seragam Newcastle United bernomor sembilan dan itu fantastis. Saya menikmati setiap menitnya,” tutur Shearer, dilansir BBC, 26 April 2021.
Baca juga: Kerikil Bernama Nobby Stiles
Newcastle United adalah klub idola yang diimpikan Shearer sejak dini. Butuh perjuangan berat melewati jalan berliku untuk mewujudkan mimpi itu. Walau trofi Liga Inggris didapatnya di klub lain, Shearer enggan melupakan mimpi masa kecilnya. Saking cintanya, ia sampai menolak pinangan klub Manchester United dan Real Madrid demi Newcastle.
Maklum, Shearer merupakan pria kelahiran kota tersebut. Lahir di Gosforth, Newcastle upon Tyne pada 13 Agustus 1970, Shearer tumbuh sebagaimana anak-anak sebayanya yang mengidolai Newcastle. Sejak umur tiga tahun sudah sering dipakaikan seragam Newcastle oleh ayahnya, Alan Shearer Sr., yang juga fans fanatik The Magpies.
Shearer dan seorang kakaknya hidup di tengah keluarga sederhana. Ayahnya hanya pekerja pabrik lembaran besi American Air Filters. Sedangkan ibunya, Anne, seorang pegawai rendahan dewan kota. Karena anak pertamanya perempuan, bernama Karen, Alan Sr. menaruh harapan besar pada si bungsu soal obsesinya terhadap sepakbola.
“Bersekolah di SMP dan SMA Gosforth, Alan tumbuh bermain bola di jalanan belakang rumahnya dan juga bermain untuk tim sekolahnya. Biasanya dia pilih posisi gelandang karena ia ingin terlibat lebih sering dalam permainan. Alan juga jadi kapten yang membantu Newcastle City Schools XI di turnamen tahunan di St. James’ Park, sebelum bergabung ke klub amatir Cramlington Juniors dan kemudian Wallsend Boys Club di usia 13 tahun,” ungkap Tony Matthews dalam Alan Shearer Fifty Defining Fixtures.
Kegilaan Shearer pada si kulit bundar akhirnya mempengaruhi prestasinya dalam pelajaran di sekolah. Beberapa kali ia ditegur guru meski tak pernah dianggapnya.
“Saya tak pernah tertarik pada pelajaran sekolah. Saya selalu tak sabar menunggu jam istirahat makan siang agar bisa bermain bola di luar. Saat guru-guru menjelaskan bahwa kecil kesempatan saya jadi pesepakbola, saya selalu mengabaikan. Di dalam hati saya tahu bahwa saya terlahir untuk sepakbola dan bukan yang lain,” kenang Shearer dikutip Euan Reedie dalam Alan Shearer: Portrait of a Legend, Captain Fantastic.
Lahirnya Striker Klasik
Di tim sekolah maupun Cramlington Juniors, Shearer terbiasa bermain di posisi gelandang tengah untuk membuka jalan serangan bagi timnya. Tetapi ketika pindah ke Wallsend Boys Club, pelatih Les Howey melihat potensi lain padanya dan mengubah posisi Shearer dari gelandang ke penyerang tengah, dan ternyata tepat.
Shearer kemudian mendapat tawaran trial dari West Bromwich Albion, Manchester City, Southampton, dan Newcastle United. Akan tetapi Shearer punya alasan mengapa ia belum mau membela klub masa kecilnya, Newcastle, dan justru memilih berlabuh ke klub Southampton pada 1986.
“Jack (Hixon, scout Southampton) mengajak saya ke The Dell Stadium meski saya mengidolai Newcastle. Saat harus memutuskan, kepala saya mendominasi hati saya untuk menandatangani kontrak dengan Southampton. Insting saya mengatakan bahwa itu keputusan tepat. Southampton klub yang lebih kecil dan saya ingin lebih dulu mengembangkan karier di luar sorotan,” imbuh Shearer.
Baca juga: Akhir Hayat Kiper Terbaik Inggris
Keputusan Shearer tepat. Hanya butuh dua tahun menimba ilmu di tim akademi Southampton, Shearer langsung promosi ke tim utama di bawah asuhan Chris Nicholl. Ia melakoni debut profesionalnya di Liga Inggris sebagai pemain pengganti dalam laga kontra Chelsea, 26 Maret 1988.
“Dua pekan setelahnya ia memulai Liga Inggris sebagai starter dan langsung jadi tajuk berita dengan mencetak hat-trick dalam kemenangan 4-2 The Saints (julukan Southampton) atas Arsenal di The Dell. Menjadikannya pemain termuda, di usia 17 tahun dan 240 hari, yang mencetak hat-trick di liga teratas, menggeser nama Jimmy Greaves yang sempat bertahan selama 33 tahun,” sambung Matthews.
Dalam sekejap namanya kondang di media-media hingga Nicholl berusaha keras melindungi striker mudanya itu agar tetap fokus. Nicholl juga mendesak manajemen memberi kontrak baru senilai 18 ribu pounds berdurasi tiga tahun jika Southampton tak ingin kehilangan Shearer.
Lewat performa apiknya di Southampton, Shearer pun menerima panggilan tugas ke timnas Inggris U-21 dan kemudian timnas senior. Namun selama kiprahnya di pentas internasional berseragam The Three Lions sepanjang 1990-2000, Shearer gagal mempersembahkan satu pun gelar.
Baca juga: Frank Lampard Legenda Bermental Baja
Juara di Blackburn dan Mimpi Newcastle
Dari musim ke musim Shearer selalu jadi rebutan klub-klub mapan Inggris. Pelatih Manchester United Alex Ferguson dan Blackburn Rovers Kenny Dalglish yang paling semangat merayu Southampton demi mendapatkan jasa striker klasik nan subur itu.
Pada Juli 1992, Dalglish akhirnya berhasil membawa Shearer ke Blackburn Rovers. Kepindahan Shearer merupakan buah deal Southampton dan Blackburn yang menukar tambah Shearer dengan David Speedie dengan nilai transfer 3,6 juta poundsterling, nilai termahal Liga Inggris saat itu.
Namun Shearer bisa tampil maksimal bersama Blackburn pada 1994 lantaran di musim perdananya lutut kanannya dibekap cedera ACL (anterior cruciate ligament). Berduet dengan Alan Sutton di lini depan, Shearer mengantarkan Blackburn memenangi Liga Inggris di hari terakhir musim 1994-1995 pasca-bertarung sengit lawan Manchester United.
Baca juga: Aston Villa Punya Cerita
Itu gelar liga pertama Blackburn setelah delapan dasawarsa. Shearer sendiri dinobatkan sebagai pemain terbaik versi Professional Footballers Association dan Golden Boot Liga Inggris. Dengan 37 golnya di musim itu ia lagi-lagi mematahkan rekor Jimmy Greaves (30 gol).
“Saya senang nama saya tercatat bersama seseorang sebesar Jimmy Greaves. Dia memberi contoh buat semua pemain soal bagaimana caranya mencetak gol. Nama saya yang disandingkan bersamanya adalah sebuah kehormatan dan keistimewaan. Saya tak pernah menargetkan rekor apa pun. Saya hanya ingin menikmati sepakbola saya setelah cedera lutut kanan,” ujar penghobi olahraga golf itu, dikutip Reedie.
Setelah semusim bertahan di Ewood Park usai juara, Shearer mewujudkan mimpinya bermain untuk Newcastle sekaligus memupuskan mimpi Manchester United dan Real Madrid yang mencoba meminangnya. Shearer resmi hijrah ke St. James’ Park pada 30 Juli 1996 di bursa transfer jelang musim 1996-1997 dengan nilai 15 juta poundsterling, rekor transfer dunia kala itu. Shearer tak peduli kritikan fans Blackburn.
“Beberapa pemain dikritisi karena dianggap tak punya loyalitas. Well, saya sudah lama ingin pulang dan bermain untuk klub yang selalu saya idolakan. Saya pikir itu bukanlah suatu tindak kejahatan,” kata Shearer kala meninggalkan Ewood Park.
Baca juga: Kontroversi Iringi Sejarah Arsenal
Cedera lutut kambuhan yang menghantuinya tak serta-merta mengurangi performanya di depan gawang. Shearer tetap jadi penyerang tengah klasik yang disegani tak hanya di Liga Inggris tapi juga di pentas Eropa.
Namun, Shearer gagal mempersembahkan satu gelar pun buat klub kesayangannya itu. Prestasi terbaiknya hanya mengantarkan Newcastle jadi runner-up liga di musim perdananya, 1996-1997.
Di kompetisi Eropa pun sama. Shearer gagal mengantarkan Newcastle lolos dari penyisihan Grup C Liga Champions musim 1997-1998. Namun di musim 2002-2003, Shearer sukses meloloskan Newcastle ke fase kedua. Newcastle sukses menekuk balik tiga tim yang mengalahkannya di penyisihan Grup E: Juventus, Dynamo Kyiv, dan Feyenoord.
Performa Shearer mengundang decak kagum banyak pihak. Salah satunya bomber AS Roma asal Argentina, Gabriel Omar Batistuta.
“Setelah pertandingan melawan Juventus saya bertemu Alex Del Piero yang juga punya kekaguman besar terhadap Shearer. Dia selalu bisa meneror bek-bek Juve ketika bertanding di Newcastle. Mereka mengakui bahwa dia adalah lawan yang paling sulit. Pelatih (Juventus) Marcello Lippi selalu memantau performa Shearer. Sampai-sampai para penyerangnya seperti Alex, David (Trezeguet), dan Marcelo (Salas) disuruh membawa pulang rekaman permainan Shearer untuk dipelajari,” kata Batistuta kepada Sky Sports pada Februari 2003.
Baca juga: Kiper Manchester Bekas Pemuda Hitler
Tetapi kisah Shearer di Newcastle tidak melulu manis. Shearer bertikai dengan pelatih Ruud Gullit sepanjang musim 1998-1999. Gullit berupaya merombak tim karena merasa pengaruh Shearer terlalu besar. Dalam laga derbi kontra Sunderland, Gullit nekat mencoret Shearer dan Duncan Ferguson dari Starting XI. Shearer dan Ferguson dimainkan hanya sebagai pemain pengganti. Anehnya, setelah kalah 1-2, Gullit justru menyalahkan Shearer dan Ferguson.
Gullit akhirnya didepak dari kursi kepelatihan. Shearer menyanggah punya peran dalam pemecatan Gullit.
“Ruud tak senang dengan pemain senior tapi ada satu orang yang takkan pernah bisa ia singkirkan dan tak lain saya sendiri. Dia berjudi dengan mencadangkan saya saat melawan Sunderland. Kami kalah dan Ruud menyalahkan saya dan Duncan yang masuk sebagai pengganti. Tidak lama setelah itu Ruud dipecat,” kenang Shearer kepada Chronicle Live, 13 Desember 2016.
Baca juga: Harry Gregg, Kiper Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Limabelas tahun setelahnya, Shearer tetap mengingatnya walau sudah memaafkan. Keduanya bertemu lagi untuk pertamakali di sebuah pesta dalam rangka Piala Dunia 2016.
“Di pesta itu saya perkenalkan dia kepada istri saya dan bilang bahwa inilah orang yang mencadangkan saya. Dia (Gullit) mengatakan: ‘Saya minta maaf. Saya orang Belanda yang masih muda dan arogan saat itu dan sekarang saya sudah jadi pribadi yang berbeda’. Dan sejak itu kami bersahabat baik,” lanjutnya.
Newcastle menjadi pilihan Shearer mengakhiri kariernya sebagai pemain. Cedera ligamen di lutut kirinya akhirnya memaksa Shearer gantung sepatu pada April 2006.
Sebagai bentuk apresiasi, klub membentangkan spanduk kehormatan setinggi 25 meter dan panjang 32 meter di tribun Gallowgate Stadion St. James’ Park selama 19 April hingga 11 Mei. Di hari terakhir itu, klub menggelar partai kontra Glasgow Celtic untuk partai perpisahan Shearer. Laga yang juga dijadikan sebagai laga amal itu dimenangi Newcastle 3-2. Shearer mendapat kepuasan mencetak sebutir gol dari titik putih di menit ke-93.
Gol itu disambut gemuruh puluhan ribu fans. Gemuruh tersebut terus menggema di akhir laga kala Shearer bersama istri dan anaknya melakoni lap of honour.
“Saya akan merindukan momen berjalan di lorong, 90 menit (pertandingan) dan adrenalin yang terpacu. Perasaan itu takkan pernah bisa tergantikan,” tukas Shearer.
Baca juga: Lautan Manusia di Stadion Wembley
Tambahkan komentar
Belum ada komentar