Karier Sepakbola Erdogan Penuh Tanda Tanya
Sebagai pemain serba bisa di masa muda, Erdogan mengaku nyaris direkrut klub top Fenerbahçe. Memicu perdebatan.
TAHUN 2020 seolah milik Recep Tayyip Erdogan. Setelah pada 10 Juli lalu resmi mengubah status Hagia Sophia dari museum menjadi masjid, kini ia mendapati klub sepakbola yang didukungnya, Başakşehir FK, menjuarai Süper Lig Turki yang tutup musim 2019/2020 pada Minggu (26/7/2020). Saking girangnya, putra kedua Presiden Erdogan, Necmettin Bilal Erdogan, sampai berlarian ke tengah lapangan untuk turut merayakan kemenangan.
Başakşehir merupakan klub plat merah milik Kementerian Pemuda dan Olahraga Turki, di dalamnya masih dikuasai Partai Pembangunan dan Keadilan Turki (AKP) yang mengusung Erdogan. Dibesut eks pemain timnas Okan Buruk, klub itu untuk kali pertama menjuarai liga Turki kasta teratas sejak promosi dari kasta kedua, TFF 1. League 11 tahun sebelumnya. Sukses Başakşehir via “jalur” Covid-19 itu sekaligus mematahkan dominasi “The Big Three”: Galatasaray SK, Beşiktaş JK, dan Fenerbahçe SK.
Ketiga raksasa Turki itu kebetulan juga tengah dibelit persoalan finansial gegara pandemi virus corona, utamanya setelah liga dihentikan sementara pada Maret lalu. Namun, tidak halnya dengan Başakşehir. Klub semenjana ini tak punya problem serupa. Gaji para pemain bintangnya seperti Robinho (eks-Real Madrid), Demba Ba (eks-Chelsea), Martin Škrtel (eks-Liverpool), Eljero Elia (eks-Juventus), Gökhan İnler (eks-Napoli), dan Gaël Clichy (eks-Arsenal) lancar.
Gelar juara tersebut paling ditunggu Erdogan sejak dua tahun silam. “Kami ingin Başakşehir menargetkan gelar juara di liga politik, sebagaimana di liga sepakbola. Jika kita tak berhasil di lapangan hijau, maka kita juga akan lemah dalam pertarungan politik,” kata Erdogan, dikutip Al-Monitor, 16 April 2018.
Baca juga: Erdogan mengubah Hagia Sophia dari museum menjadi masjid
Bukan rahasia bila Başakşehir dijadikan alat politik Erdogan. Klub yang berdiri pada 1990 itu laiknya cabang buat AKP sejak 2014 ketika diambilalih kepemilikannya dari pemerintah kota Istanbul. Presiden klub, Göksel Gumüşdağ, merupakan kader Partai AKP yang masih punya hubungan keluarga dengan istri Erdogan. Salah satu anggota dewan direksinya, Ahmet Ketenci, adalah ipar dari salah satu putra Erdogan.
Sebulan menjelang pemilihan presiden 2014, Erdogan rela tampil membelanya dalam sebuah laga eksebisi dalam rangka pembukaan stadion baru di Istanbul, 28 Juli 2014. Dalam laga yang turut diikuti beberapa pejabat, seniman, selebritis, dan sejumlah mantan atlet Turki itu, ia mencetak hattrick (tiga gol).
Erdogan kala itu mengenakan jersey oranye bernomor punggung 12 dengan emblem Başakşehir walau timnya bernama Turuncu Takim. Nomor punggung itu resmi dipensiunkan Başakşehir saat merayakan juara musim 2019/2020.
Sepakbola Sembunyi-Sembunyi
Lahir dari rahim Tenzile Mutlu pada 26 Februari 1954 di perkampungan miskin di Istanbul, Kasımpaşa, Erdogan kecil mesti sudah banting tulang karena keluarganya hidup pas-pasan. Nafkah keluarga hanya seadanya karena ayah Erdogan, Ahmet Erdogan, hanyalah anak buah kapal di feri-feri Istanbul.
Erdogan kecil sampai harus membantu ekonomi keluarga dengan menjadi pedangang asongan. Biasanya setelah pulang sekolah Erdogan menjajakan simit (roti khas Turki mirip donat) dan beragam minuman di jalan-jalan kota Istanbul. Satu-satunya kesenangan yang ia punya hanyalah sepakbola yang ia mainkan dengan teman-teman satu sekolahnya di waktu luang.
Erdogan mengenang masa lalu sepakbolanya ketika diwawancarai dalam program olahraga NTVSpor yang disitat Daily Sabah, 14 November 2017. Menurutnya, ia memulai petualangan sepakbolanya di usia 15 tahun. “Kami biasanya bermain dengan bola yang terbuat dari kertas di perkampungan kami. Sementara di klub amatir, Erokspor menyarankan saya bermain di Camialtı, salah satu klub amatir top di 1970-an,” tutur Erdogan.
Baca juga: Presiden Jago Tinju, Gulat Hingga Jiu-Jitsu
Meski sang ibu tak keberatan Erdogan punya angan-angan jadi pesepakbola, ayahnya tak mengizinkan. Akibatnya, sebagaimana dituliskan John McManus dalam Welcome to Hell? In Search of the Real Turkish Football, Erdogan sampai harus sembunyi-sembunyi untuk bisa tampil di lapangan membela Erokspor dan Camialtı SK di kompetisi amatir.
“Saya mencintai sepakbola. Itu menjadi hasrat saya. Angan itu selalu masuk dalam mimpi saya saat tidur malam. Tetapi ayah saya tak pernah memberi izin. Katanya: ‘Sepakbola takkan membuat perut kenyang.’ Tetapi Recep Tayyip muda selalu menentang ayahnya dengan menyembunyikan sepatu sepakbolanya di bunker batubara,” kata Erdogan mengenang, dikutip McManus.
Baca juga: Özil dan Perkara Peranakan Muslim Turki
Karena main di kompetisi amatir, Erdogan bisa menyambi sepakbolanya dengan sekolah. Walau tak terlalu pintar, Erdogan dikenal sebagai pelajar yang rajin dan punya nilai bagus di pelajaran agama Islam dan olahraga. Seorang tetangga Erdogan yang juga kapten tim semi-pro İETT Spor sampai merekomendasikannya untuk bergabung ke tim yang dimiliki İETT, badan usaha bidang transportasi milik Pemerintah Provinsi Istanbul.
Prospek itu benar-benar dipikirkan Erdogan. Pasalnya, sebagaimana dituliskan Patrik Keddie dalam The Passion: Football and the Story of Modern Turkey, Erdogan di bawah panji Camialtı berkembang dengan cukup baik. Dengan keunggulan posturnya, pemain jangkung 185 cm saat berusia sekolah menengah atas itu disebutkan menarik perhatian Fenerbahçe, klub yang diidolakannya sejak bocah. Erdogan termasuk pemain serba bisa lantaran mulanya ia ditempatkan sebagai penyerang, lalu gelandang, kemudian bek.
“Erdogan mengklaim bahwa saat bermain untuk Camialtı saat berlaga melawan Kasımpaşaspor di tahun 1973, ia dipantau oleh pelatih Fenerbahçe asal Brasil, Didi (Waldyr Pereira) dan klub memberikan tawaran (kontrak profesional, red). Tetapi Erdogan mengaku bahwa ayahnya tak membolehkan proses transfer –dia menginginkan putranya fokus pada studinya,” ungkap Keddie.
Tapi begitu lulus pada 1970-an dan sudah berhak menentukan jalan hidupnya, Erdogan menghadap ke sang ayah dan menyatakan akan tetap bermain bola di klub yang juga membolehkannya bekerja. Maka tawaran dari tetangganya di İETT Spor diterimanya. Jadi sembari bekerja sebagai karyawan İETT dengan gaji bulanan, Erdogan main untuk klub IETT.
“Saya menikmati lima gelar dalam tujuh tahun di İETT. Awalnya saya penyerang, kemudian main di tengah, lalu saya dipindah posisi di belakang sebagai sweeper. Selain posisi kiper, bisa dibilang saya mampu main di posisi mana saja. Sepakbola permainan keras. Tubuh saya terdapat beberapa luka jahit. Bekas lukanya masih tampak. Makanya setiap saya bercermin, saya mengingat masa-masa saya sebagai pesepakbola,” kata Erdogan mengenang.
Di Balik Karier Sepakbola
Karier sepakbola Erdogan harus berhenti pada 1980. Penyebabnya, Erdogan terlibat percekcokan dengan manajemen baru İETT. Di sisi lain, Erdogan makin sibuk dengan aktivitas politiknya. Sejak 1970-an, Erdogan ikut MTTB, sayap pemuda Partai Keselamatan Nasional (MSP) pimpinan Necmettin Erbakan.
Keputusan Erdogan itu disayangkan beberapa rekannya. Walau secara teknik tak menonjol, Erdogan punya kelebihan fisik dan kelugasan bermain yang dibutuhkan untuk menjegal setiap alur permainan lawan. Erdogan juga punya pengaruh besar terhadap penyiapan mental rekan-rekannya dengan acap mengajak shalat berjamaah.
“Dia selalu menggelar sajadah dan shalat di ruang ganti. Teman-teman setimnya menyebutnya hoca, guru agama. Seringkali Erdogan dan pelatihnya mengajak tim (shalat berjamaah) ke Masjid Sultan Eyüp dan sering menjadi imamnya. ‘Kami memenangi semua pertandingan yang dimainkan dekat (distrik) Eyüp. Keimanan adalah 50 persen dari kesuksesan’ katanya,” sambung McManus.
Sejak keputusan mundur itu, Erdogan benar-benar meninggalkan sepakbola. Ia hanya menikmati sepakbola lewat tontonan semata.
“Tetapi setelah kudeta militer di tahun itu juga, Erdogan vakum dari perpolitikan, mengingat MSP dibubarkan. Setelah meninggalkan İETT Spor, ia memilih bekerja di sektor swasta, di industri tekstil,” singkap Soner Çağaptay dalam The New Sultan: Erdogan and the Crisis of Modern Turkey.
Erdogan kemudian sempat menjalani wajib militer sebelum masuk kembali ke dunia politik. Karier politik Erdogan melejit sejak 1994 dengan menjadi walikota Istanbul. Ia mendaki tangga politik lebih tinggi dengan menjadi perdana menteri pada 2003, untuk kemudian menjadi presiden (2014).
Lantaran penggunaan sepakbola untuk urusan politiknya, gosip-gosip miring tentang benar-tidaknya soal karier sepakbola Ergodang pun bermunculan. Utamanya tentang tawaran dari klub Fenerbahçe yang diklaimnya urung ia ambil gegara tak diizinkan ayahnya.
Terdapat beberapa perbedaan detail tentang kariernya dari sumber-sumber berlainan. Oleh karenanya beberapa sumber mengambil “jalan tengah” dengan menyebut ia berkarier di era 1970-an.
Dalam wawancaranya dengan NTVSpor, disebutkan ia memulai di klub amatir Erokspor di usia 15 tahun yang berarti ia memulai kariernya di Erokspor pada 1969. Sementara, Keddie menuliskan Erdogan memulai karier amatir di Erokspor pada usia 13 tahun (1967) dan pada 1969 Erdogan baru tampil bersama Camialtı Spor.
Baca juga: Menggenjot Citra Fasis Lewat Sepakbola
McManus mengungkap Erdogan sudah ikut tim Erokspor di usia 11 tahun, seiring ia masuk Sekolah Imam Hatip. Beberapa sumber lain juga terbelah dalam hal usia Erdogan memulai karier amatirnya.
Mengenai isu Erdogan nyaris direkrut Fenerbahçe, Keddie menuliskan berdasarkan pernyataan Erdogan bahwa dia mendapat tawaran itu pada 1973 ketika masih membela Camialtı Spor. Pernyataan itu berbeda dari ketika Erdogan diwawancara suratkabar Miliyet jelang pemilihan walikota Istanbul pada 1994, di mana ia menyatakan Fenerbahçe ingin merekrutnya pada 1977 alias ketika ia sudah berseragam İETT Spor.
“Disebutkan (di Miliyet) bahwa dia masuk dalam daftar calon rekrutan Fenerbahçe pada 1977. Itu menguatkan keyakinan sejumlah penulis bahwa catatan historis tentang kariernya dilebih-lebihkan. Apalagi klaim tentang dia hampir bermain untuk The Canaries (julukan Fenerbahçe, red.) selalu diulang-ulang selama karier politiknya,” tambah McManus.
Narasi itu, sambung McManus, dikemas lagi dengan begitu apik lewat biografi karya Haci Hasdemir, jurnalis suratkabar pro-pemerintah Zaman, yang terbit pada 2005, Aman Babam Gormesin: Basbakan Erdogan’in Futbol Macerasi. Menariknya, Hayri Beşer, jurnalis Zaman lain, menyiratkan keraguan lewat tulisannya dalam pendahuluan di buku tersebut: “Ketika membacanya, beberapa orang mungkin berkesimpulan bahwa buku ini adalah anatomi seorang malaikat. Karena petualangan sepakbola Tayyip Erdogan sejak usia 15 nyaris tak bercela.”
“Jurnalis dan pemerhati olahraga Mustafa Hoş menyindir buku Hasdemir itu sebagai ‘kitab suci’, membandingkan masa-masa sepakbola Erdogan seperti mencoba membongkar bukti tentang sejarah yang terjadi 100 tahun lalu. ‘Semuanya ambigu dan kontradiktif’ katanya,” papar McManus.
Penulis Soner Yalçın dengan lantang menyebutkan bahwa cerita tentang Fenerbahçe terlalu dibuat-buat. Dari penelusurannya, semua sejarawan resmi Erdogan menuliskan tahun yang berbeda terkait kapan dia menerima tawaran transfer itu. Hal yang sama juga terjadi pada fakta siapa pelatih Fenerbahçe yang diklaim tertarik padanya: Waldyr Pereira Didi atau Tomislav Kaloperović.
“Yalçın juga mengklaim Erdogan menghabiskan dua tahun di Camıalti Spor sebenarnya hanya staf asisten perlengkapan dan dia bisa beralih ke lapangan sebagai pemain hanya karena tekanan seorang temannya yang berpengaruh di Kasımpaşa kepada pelatih. Hal-hal itu mencuatkan terbelahnya kepercayaan tentang karier sepakbola sang presiden. Tergantung dari mana Anda melihatnya, baik dia sebagai Pelé-nya Kasımpaşa atau penipu belaka,” tandasnya.
Baca juga: Lima Atlet Muslim Turki Pengabdi Jerman
Tambahkan komentar
Belum ada komentar