Hastomo Arbi, Legenda Pertama Hasil Audisi
Pahlawan Thomas Cup yang lahir dari audisi PB Djarum. Masih bugar mengayunkan raketnya di usia yang tak lagi muda
PB Djarum menyatakan akan menghentikan program Audisi Umum mulai 2020. Banyak pihak menyayangkan keputusan itu. Pasalnya, PB Djarum dalam 50 tahun terakhir berhasil berperan sebagai salah satu kawah candradimuka dalam melahirkan bintang-bintang bulutangkis Indonesia tingkat dunia.
Keputusan PB Djarum diambil menyusul adanya tuduhan miring dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Yayasan Lentera Anak. Kedua lembaga menyatakan Audisi Umum PB Djarum di bawah naungan Djarum Foundation telah mengeksploitasi anak demi bisnis rokoknya.
Baca juga: Yang Terbuang, Yang Gemilang
Entah berapa banyak pebulutangkis Indonesia yang berjaya di pentas internasional sudah dilahirkan PB Djarum. Kevin Sanjaya dan Tontowi Ahmad yang kini sedang berjaya pun “kelahiran” Audisi Umum. Keduanya hanya menjadi penerus estafet para juara yang dilahirkan PB Djarum, yang embrionya turut mengiringi usia setengah abad PB Djarum.
Prestasi Hastomo Arbi Bermula dari Audisi
Kendati Audisi Umum PB Djarum baru digelar secara kolosal dan terbuka mulai 2006, PB Djarum sudah punya “program audisi” sejak 1970 kendati masih semi-terbuka. Hastomo Arbi merupakan salah satu produk binaan kedua PB Djarum setelah legenda Liem Swie King.
“Saya masuk PB Djarum 1970. Swie King pertama, lalu ada Agus Susanto yang kemudian jadi kakak iparnya Swie King. Mulanya waktu saya ketemu Agus Susanto dan saya ngomong bahwa saya ingin gabung PB Djarum. Lalu kemudian saya memberanikan melamar, istilahnya,” kata Hastomo kepada Historia.
Hastomo yang lahir 5 Agustus 1958 di Kudus memang berasal dari keluarga bulutangkis. Ayahnya, Ang Tjin Bik, sering juara di kejuaraan lokal di Kudus. Maka, sejak kecil Hastomo sering diajak ayahnya berlatih dan bertanding dengan peralatan sederhana, raketnya masih raket kayu. “Hanya di Djarum saja yang raketnya besi,” sambung Hastomo.
PB Djarum yang berdiri pada 1969 memang berawal dari perkumpulan olahragara para karyawan. Perkumpulan itu baru menerima orang luar, Liem Swie King, lantaran pemilik PT Djarum Budi Hartono mengajak King berlatih di Brak Bitingan Lama.
Ketertarikan Hastomo pada PB Djarum tak lepas dari kiprah para karyawan Djarum yang juga turut berprestasi di ajang-ajang lokal. Terlebih saat itu di Kudus belum eksis perkumpulan bulutangkis yang menyediakan sarana dan prasarana laiknya PB Djarum.
Hastomo di usianya yang baru menginjak 12 tahun, jadi yang kedua lewat proses “audisi”. “Setelah melamar, saya dites oleh pelatih Pak Arisanto. Setelah dites saya baru boleh ikut gabung. Setelah saya ada dua lagi yang ikut tes, Bejo dan Suwandi. Jadi ada empat orang luar yang jadi binaan PB Djarum waktu itu (1970),” lanjut kakak kandung Hariyanto Arbi itu.
Hastomo tekun berlatih kendati aroma tembakau masih sangat kuat membaui tempat latihan. “Waktu itu lapangannya di Bitingan Lama. Itu tempat membuat rokok. Kalau pagi buat bikin rokok, kalau malam buat latihan. Alat-alatnya biasanya kita tepikan dulu, baru pasang net. Itu memang aromanya kuat sekali. Namun lama-lama jadi terbiasa. Kalau sudah selesai, kita tata lagi alat-alatnya untuk para karyawan bekerja besoknya,” kata Hastomo.
Perlahan tapi pasti prestasi pun berdatangan. Mengutip Setengah Abad PB Djarum: Dari Kudus Menuju Prestasi Dunia, gelar pertama Hastomo adalah kejuaraan lokal Munadi Cup 1977. Setahun kemudian, ia memetik medali emas PON untuk Jawa Tengah di nomor beregu hingga membawanya masuk Pelatnas PBSI pada 1979.
Di tahun itu juga Hastomo turut menyumbang dua emas untuk Indonesia di SEA Games 1979. Satu emas diraihnya dari nomor individu, satu lainnya dari nomor beregu putra.
Namun, prestasi paling berkesan baginya adalah ikut mengantarkan tim Indonesia, yang mayoritas pemainnya jebolan PB Djarum, merebut Thomas Cup 1984. Hastomo yang tidak diunggulkan justru jadi salah satu pahlawan paling dielu-elukan. Pasalnya, di final kontra Cina, dua andalan tunggal putra Indonesia, Liem Swie King dan Icuk Sugiarto, keok lebih dulu. Beruntung, King yang juga bermain di nomor ganda berpasangan dengan Hariamanto Kartono, berhasil menang. Pasangan Christian Hadinata/Hadibowo akhirnya mampu menyamakan kedudukan.
Baca juga: Gelar Juara Dunia yang Tak Disangka
Tinggallah Hastomo di partai terakhir harus menghadapi “raksasa” Han Jian. “Han Jian itu salah satu lawan paling sulit buat saya. Sebelumnya saya belum pernah menang lawan dia,” tambah Hastomo.
Namun sebagai underdog, Hastomo berhasil menjawabnya dengan kemenangan setelah melewati rubber set: 14-17, 15-6, 15-8. Banyak orang terperangah kagum ia bisa mengalahkan Han Jian. Indonesia pun membawa pulang Thomas Cup untuk kedelapan kalinya. Momen itu juga jadi klimaks buat Hastomo karena dua tahun kemudian ia pensiun dari pelatnas PBSI.
Setelah pensiun, Hastomo masih berkecimpung di dunia bulutangkis lewat PB Djarum. Hingga kini, ia masih giat membantu pembinaan PB Djarum di GOR Jati, Kudus.
Kendati usianya tak lagi muda, kondisi fisik dan staminanya masih prima. Bahkan pada 2015, Hastomo jadi juara dunia tunggal putra veteran usia 55+ di Helsingborg, Swedia.
“Ya masih suka jaga fisik kadang-kadang main (bulutangkis) habis bantu melatih dan mengawasi anak-anak. Di Djarum itu kekeluargaannya kental sekali. Biarpun sudah pensiun tapi kita masih diperhatikan. Arti PB Djarum buat saya? Kalau enggak ada PB Djarum saya enggak bisa hidup,” kata pria yang tidak merokok itu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar